Beberapa hari yang lalu, ada seorang missionaris dari India datang
ke tempat kami. Seorang pastor muda yang sederhana. Namanya orang dari luar
Indonesia, pastinya dia nggak bisa bahasa Indonesia. Kebetulan saya mengajar bahasa
Inggris di sekolah. Maka akhirnya saya sedikit berguna juga menjadi penerjemah
dadakannya si Pastor.
Dia membawakan renungan pagi untuk anak-anak di sekolah. Anak-anak
antusias mendengarkan khotbahnya. Mereka tertarik dengan orang baru yang
berbeda bahasa dengan mereka. Si pastor bercerita bagaimana keadaan negaranya
dan beberapa hal lainnya. Setiap perkataan yang disampaikannya menunjukkan
bahwa hidup manusia itu ada di tangan Tuhan. Berulang kali beliau menyampaikan
pesan tersebut.
Hampir seharian penuh kami bercerita dan sharing tentang
Firman Tuhan, karena kebetulan hari itu jadwal saya kosong. Kemudian saya
diberi tahu oleh orangtua rohani saya kalau pada sore harinya si Pastor akan
mengisi khotbah di ibadah youth di salah satu gereja di sini dan
saya yang diminta menjadi penerjemahnya. Tidak tau kenapa badan saya langsung
menggigil. Saya bukan orang yang percaya diri menghadapi orang banyak, apa lagi
menerjemahkan pendeta berkhotbah belum pernah saya lakukan sebelumnya. Saya
mulai panik.
Sore pun tiba, saya tidak tau harus ngapain. Saya blank sama
sekali. Bahkan saat si Pastor mulai berbicara, konsentrasi saya belum bisa
terkumpul kembali ke dalam diri saya. Yang saya pikirkan adalah bagaimana
pandangan orang terhadap saya saat itu. Saya lupa tentang hal lainnya. Apa lagi
respon orang dalam pandangan saya saat itu seperti tidak puas dengan keberadaan
saya. Pikiran saya mulai negatif, dan saya menyadari bahwa pesan yang ingin
disampaikan si Pastor tidak tersampaikan dengan baik kepada jemaat yang ada.
Saya benar-benar malu dan menyalahkan diri saya sendiri.
Lalu seselesainya ibadah, ada seorang ibu mendatangi saya. Beliau
adalah salah satu pengurus di gereja tersebut. Dia berkata kepada
saya,"Tidak apa-apa. Ini adalah langkah yang baik. Kamu sudah mencoba.
Jangan patah semangat."
Saya tau maksud beliau menyemangati saya. Tapi saya tidak mengerti
dengan benar inti dari kata-kata tersebut. Kemudian saya berkata,"Saya
nggak bisa berpikir apa pun tadi di depan. Saya tau saya sudah gagal. Bukannya
mengerti, tapi orang-orang malah bingung dengan ucapan saya."
Si Ibu tersebut menanggapi dengan senyuman,"Dek, kalau kamu
jadi penerjemah, posisikan diri kamu itu sebagai pengkhotbahnya. Kamu bukan
hanya sekedar menerjemahkan. Tapi Tuhan juga menaruh kuasa di setiap
kata-katamu. Kamu juga harus menjadi dampak."
Saya terdiam mendengarkan perkataan beliau.
"Saya tau kamu grogi tadi sampai blank begitu.
Tapi ingat, Tuhan sudah memberi kuasa kepada kamu. Jangan lupa. Jangan
memikirkan diri sendiri, pikirkan bahwa ada sesuatu yang ingin Tuhan sampaikan
kepada mereka melalui kamu. Minta hikmatnya Tuhan, jangan hikmat kamu sendiri.
Kamu terbatas. Pandang kepada Tuhan saja. Nggak usah mikirin pandangan orang
tentang kamu, pikirin aja kira-kira Tuhan mau ngomong apa sama mereka.
Dengar-dengaran sama Tuhan biar nggak miss. Oke!" Lanjut Ibu
tadi.
Saya baru sadar kalau saya sudah menyangkal kuasa Tuhan secara
tidak langsung. Saya pakai akal saya sendiri saat itu. Saya minta ampun sama
Tuhan. Semalaman saya mempersiapkan diri untuk ibadah keesokan harinya di dua
tempat berbeda, dan saya masih didaulat untuk menjadi penerjemah lagi.
Semalaman juga saya nggak bisa tidur nyenyak. Kalau yang saya terjemahkan turis
biasa sih nggak masalah, lha ini khotbah pendeta kalau sampai salah terjemahkan
bisa bahaya saya pikir.
Malam berlalu dan saya siap-siap ibadah di gereja A. Saya lihat
jemaatnya kebanyakan mbah-mbah. Saya agak santai karena jemaatnya
juga tidak terlalu banyak. Tapi ketika pujian dinaikan, saya mulai sedikit
gemetar lagi. Ada intimidasi dalam diri saya yang mengingatkan kejadian malam
sebelumnya dimana saya gagal menyamaikan pesan Firman Tuhan oleh pastor
tersebut. Tapi saya ingat kata-kata Ibu yang menasihati saya semalam. Bukan
kekuaanku, tapi Dia yang mengutus aku.
Satu menit, dua menit saya enjoy menerjemahkan si
Pastor berkhotbah. Dia ceritakan pengalamannya. Saya puas dengan diri saya
sendiri saat itu. Saya bisa. Saya pikir saya bisa. Sampai akhirnya giliran saya
harus mempersiapkan diri kembali untuk melayani di gereja B yang semalam
sebelumnya saya jadi penerjemah gagal. Tubuh saya gemetar tidak karuan lagi.
Hawa dingin merayap dari kaki sampai kepala. Saya kembali ketakutan. Saya mulai
melihat jumlah jemaat. Terlalu banyak. Saya tidak siap. Semua yang saya
pikirkan adalah diri saya sendiri.
Saya seperti kehilangan kendali atas pikiran saya. Saya lupa lagi
bahwa saya tidak boleh memakai kekuatan saya sendiri. Saya menemui Ibu
Gembalanya, saya bilang,"Oma, saya gemetar. Saya nggak bisa. Saya nggak siap."
"Kamu kenapa? Nggak apa-apa ada Tuhan yang menolong kamu.
Kamu nggak lihat?" kata Ibu Gemala.
Saya beralasan ini dan itu. Saya mendengar lagu penyembahan sudah
dimulai dan itu semakin membuat saya berkeringat dingin. Saya terus gemetar,
takut, tidak percaya diri. "Lha bagaimana? Apa saya yang gantikan? Saya
kasihan sama kamu. Tapi kan Tuhan sudah mempercayakan kepada kamu pelayanan
ini. Dia memberi kesempatan kepada kamu. Pikirkan dengan tenang dulu,"
sambung beliau.
Saya berpikir panjang. Di saat yang sama saya memikirkan diri
sendiri, tapi saya juga memikirkan tentang Tuhan Yesus. Saya ingin lari
menyelamatkan diri, tetapi saya masih berpikir bagaimana mungkin saya
mengecewakan Tuhan saya? Tuhan bisa pakai orang lain selain saya bahkan mereka
yang jauh lebih bagus dan berpengalaman, tapi apakah saya harus mundur hanya
karena takut jika dilihat jelek oleh orang lain? Saya benar-benar menjadi orang
egois yang hanya memikirkan diri sendiri.
"Bukankah kamu kalau berdoa minta next level? Lha
ini sudah dikasih kesempatan sama Tuhan lho. Jangan mengukur kekuatanmu
sendiri, kamu akan gagal. Tapi lihat kepada Tuhan Yesus. Jangan kamu maju
karena cuma ingin dilihat orang atau formalitas saja. Lakukan karena kamu
mengasihi Tuhan. Pandang Tuhan Yesus, jangan pandang dirimu. Gimana?
Bisa?" ujarnya lagi.
Setelah beberapa saat saya berpikir dan bisa menenangkan diri
akhirnya saya bilang,"Ya , Oma. Saya siap. Oke. Saya yang
terjemahkan."
Kami berdoa dulu sebelum memulai. Ibu Gembala mendoakan saya. Saya
berdoa benar-benar minta kekuatan Tuhan. Karena saya tidak mampu lagi, tidak
tau apa yang harus saya kerjakan. Saya meminta hikmat dari Tuhan supaya saya
benar-benar bisa menjadi penyambung lidah Allah, bukan cuma sekedar
menerjemahkan saja. Cuma satu hal yang saya doakan saat itu, saya mau menjadi
perantara antara Tuhan dan jemaat-Nya.
Akhirnya Pastor mulai berkhotbah dan saya menerjemahkan. Masih
sedikit gemetar tapi tidak lagi ketakutan. Saya benar-benar merasakan jamahan
Tuhan saat itu. Hanya karena anugerah Tuhan, saya bisa melakukannya dan jemaat
mengerti apa yang ingin Tuhan sampaikan melalui pastor tersebut.
Saya baru menyadari ketika saat itu saya berdiri di mimbar di
depan banyak orang, bahwa saya pernah meminta hal ini kepada Tuhan waktu saya
masih sekolah enam atau tujuh tahun yang lalu. Saya pernah berdoa kepada Tuhan
kalau suatu hari saya ingin Tuhan pakai untuk bisa menjadi seorang interpreter,
terlebih untuk seorang hamba Tuhan. Saya bahkan sudah hampir lupa kalau saya
pernah meminta hal itu, tapi Tuhan masih ingat dan Dia menggenapi apa yang
menjadi kerinduan saya. He is amazing!
Kita mungkin sering berfikir bahwa mimpi kita terlalu besar. Tidak mungkin mimpi yang terlalu muluk bisa menjadi kenyataan. Satu hal yang saya pelajari adalah tidak ada mimpi yang terlalu besar atau pun terlalu mustahil jika Tuhan sendiri yang menaruh mimpi itu dalam hati kita. Hanya butuh keberanian untuk menanggapi mimpi itu. Bukankah kita diciptakan untuk menggenapi firman-Nya? Salah satunya adalah lewat mimpi kita dimana Tuhan bisa berkarya dan nama-Nya dipermuliakan lewat hidup kita.
Saya juga benar-benar disadarkan kembali untuk yang kesekian
kalinya bahwa bukan karena kekuatan saya, semua karena anugerah Tuhan. Tidak
ada hak saya untuk menyombongkan diri, karena hanya Tuhan Yesus saja yang layak
menerima pujian. Bukan saya yang bisa, tapi Dia yang memberi kekuatan kepada
saya. Tuhan Yesus benar-benar merontokkan kekuatan saya, pengetahuan saya,
kesombongan saya, bahkan rasa percaya diri saya supaya saya benar-benar
mengandalkan Dia saja bukan yang lain.
Kesaksian saya ini bukanlah untuk membanggakan diri saya sendiri.
Saya menulisnya untuk mengingatkan bahwa hidup kita ada di tangan Tuhan. Dia
sudah merencanakan masa depan kita. Bahkan apapun juga yang menjadi impian kita
jika itu baik di hadapan-Nya, Dia sanggup membuatnya menjadi nyata. Semua mimpi
yang pernah kita doakan jika itu digunakan untuk kemuliaan nama Tuhan, pasti
digenapi-Nya. Asal kita mengutamakan Dia dalam segala hal yang kita kerjakan.
Tanpa Dia, rusaklah hidup kita.
Saya bersyukur mengalami hal-hal yang menakjubkan ini bersama
dengan Dia yang mengaruniakan hidup kekal kepada kita. Dan saya masih menunggu
mimpi-mimpi yang mana lagi yang akan digenapi oleh Tuhan.
“Bukan dengan keperkasaan dan bukan dengan kekuatan, melainkan dengan roh-Ku, firman Tuhan semesta Alam.” – Zakharia 4:6
God is good all the time and all the time God is good.