Mungkin dari judulnya Anda tidak tertarik untuk membaca postingan yang satu ini. Terlalu rohani atau mungkin bukan hal yang seru untuk diperbincangkan. But, trust me! Ini tidak akan terlalu membosankan untuk dibaca! Ceritanya lebih dramatis dibandingkan dengan sinetron televisi. Dan yang pasti ini bukan hanya fiktif belaka, tapi ini berdasarkan cerita nyata beberapa ribu tahun yang lalu. Kalau boleh saya sarankan jika Anda memiliki Alkitab di samping Anda, bacalah 2 Samuel 9:1-13 terlebih dahulu. Karena lebih indah kalau Anda menyaksikan ceritanya secara langsung dibandingkan hanya mendengar cerita dari orang lain. Kalau tidak ada Alkitab di samping Anda saat ini, baiklah mari kita membaca ceritanya di bawah ini.
Banyak ilustrasi indah tentang anugerah dalam Alkitab yang selalu membuat kita terpesona saat membacanya, termasuk yang terbesar diantaranya tentu Kristus yang menganugerahkan kita hidup kekal melalui pengorbanan diri-Nya di kayu salib. Namun kali ini saya ingin menceritakan kisah Daud dimasa-masa kejayaannya. Cerita ini melibatkan seorang pria yang tidak dikenal, bahkan namanya hampir tidak bisa dieja, Mefiboset (Mephibosheth). Menurut saya, kisah ini adalah kisah yang indah dan tidak terlupakan.
Alright, sebelumnya mari kita lihat apa arti kata anugerah. Kata grace atau anugerah dalam Bahasa Inggris memiliki beberapa pengertian. “Grace” bisa menunjuk kepada penari yang “lemah gemulai”. Rasa “ucapan syukur” kita pada waktu makan. Bisa berarti juga “semarak” seorang raja atau ratu. Dan lebih umum juga dikenal sebagai kata yang menunjuk kepada “martabat” dan “keagungan”. Tetapi yang terpenting, “anugerah” (grace) dapat berarti kasih karunia yang tidak terukur, kemurahan istimewa yang diberikan kepada seorang yang tidak layak mendapatkannya, yang tidak berusaha mendapatkannya, dan tidak sanggup untuk membalasnya.
Pada pasal sebelumnya diceritakan kehidupan Daud yang damai dan tenang menikmati semua berkat yang dimilikinya. Di hari-hari tenang itulah mungkin Daud mulai mengingat masa lalu dan kasihnya kepada Yonatan, sahabatnya. Teringatlah Daud akan janjinya kepada sahabatnya itu (see: 1 Samuel 20:13-16). Kemudian dia berkata kepada bawahannya,
”Masih adakah orang yang tinggal dari keluarga Saul? Maka aku akan menunjukkan kasihku kepadanya oleh karena Yonatan.” (2 Sam 9:1)
Biasanya ketika seorang raja dari dinasti baru mengambil alih tahta, maka seluruh keluarga dari dinasti lama akan dimusnahkan untuk menghindari kemungkinan terjadinya pemberontakan (setidaknya seperti itu yang saya baca dari buku atau lihat di tv). Tapi Daud mengingat janjinya dan hal itu menggerakkan hatinya untuk menganugerahkan kasihnya. Perlu dicatat Daud tidak berkata,”Masih adakah seorang yang layak?” atau “masih adakah seseorang yang memenuhi syarat?” Si pria hebat ini tidak peduli siapapun atau bagaimanapun mereka, tapi yang dia tanyakan hanya SESEORANG tanpa embel-embel apapun. Dan ya, mereka mengenal seseorang.
“Adapun keluarga Saul mempunyai seorang hamba, yang bernama Ziba. Ia dipanggil menghadap Daud, lalu raja bertanya kepadanya: “Engkaukah Ziba?” Jawabnya: “Hamba tuanku.” Kemudian berkatalah raja: “Tidak adakah lagi orang yang tinggal dari keluarga Saul? Aku hendak menunjukkan kepadanya kasih yang dari Allah.” Lalu berkatalah Ziba kepada raja: “Masih ada seorang anak laki-laki Yonatan, yang cacat kakinya.” Tanya Raja kepadanya: “Dimanakah ia?” Jawab Ziba kepada raja: “Dia ada di rumah Makhir bin Amiel, di Lodebar.” (2 Sam 9:2-4)
Mungkin si Ziba ingin menasihatkan kepada Daud kalau orang itu tidak pantas berada di sekitar istana untuk mendapatkan anugerah karena dia cacat. Daud tidak bertanya,”Separah apakah dia?” Tetapi raja yang bijaksana ini bertanya, “Dimanakah dia?” Itulah sifat anugerah. Tidak memilih-milih. Anugerah tidak mencari hal-hal yang telah diperbuat sehingga layak mendapatkannya. Anugerah ialah Allah memberikan diri-Nya sendiri sepenuhnya kepada seseorang yang tidak layak menerimanya dan tidak pernah berusaha dan tidak akan pernah memapu untuk membalasnya. Inilah yang menjadikan kisah Daud dan Mefiboset menjadi mengesankan. Seorang raja besar yang terkenal membungkuk kepada seseorang yang sama sekali tidak berarti di masyarakat. Mefiboset adalah seorang yang tinggal dalam pelarian. Tinggal di tempat yang jauh, tandus dan mungkin tidak tercatat di peta, untuk bersembunyi menghindari raja baru yang mungkin saja juga akan memusnahkannya suatu hari.
“Yonatan, anak Saul, mempunyai seorang anak laki-laki, yang cacat kakinya. Ia berumur lima tahun, ketika datang kabar tentang [kematian] Saul dan Yonatan dari Yizreel. Inang pengasuhnya mengangkat dia pada waktu itu, lalu lari, tetapi karena terburu-buru larinya, anak itu jatuh dan menjadi timpang. Ia bernama Mefiboset.” (2 Sam 4:4)
Menyedihkan bukan? Akibat dari jatuh tersebut ia menjadi cacat selamanya dan terus bersembunyi dalam ketakutan. Seorang cucu raja terdahulu yang pernah hidup berkelimpahan, harus menyembunyikan dirinya di tanah asing. Tidak memiliki apa-apa, tidak layak mendapat apa-apa, bahkan tidak berani menunjukkan keberadaannya ke hadapan dunia, Bisa bayangkan betapa sangat suramnya hidup orang ini? Seberapa burukpun situasi Anda, pasti tidak akan lebih buruk dari keadaan pria malang ini. Dan saat utusan raja mengetuk pintunya, bisa bayangkan betapa terkejutnya Mefiboset? Ia mungkin menatap wajah tentara-tentara Daud yang berkata kepadanya, “Raja ingin bertemu denganmu.” Pasti dia berikir, “Inilah akhirnya. Aku pasti mati.” Kemudian orang-orang itu membawa si timpang ke Yerusalem untuk bertemu langsung dengan raja.
“Dan Mefiboset bin Yonatan bin Saul masuk menghadap Daud, ia sujud dan menyembah. Kata Daud: “Mefiboset!” jawabnya: “Inilah hamba tuanku.” Kemudian berkatalah Daud kepadanya: “Jangan takut, sebab aku pasti akan menunjukkan kasihku kepadamu oleh karena Yonatan, ayahmu; aku akan mengembalikan kepadamu segala ladang Saul, nenekmu, dan engkau akan tetap makan sehidangan dengan aku.” (2 Sam 9:6-7)
Saya suka adegan ini. Alkitab menjelaskan dengan sangat jelas saat indah itu. Pria cacat ketakutan ini bersujud di hadapan raja yang memiliki segala hak berkuasa, bahkan atas hidupnya. Seandainya saya di posisi Mefiboset, saya tidak akan bisa membayangkan hal indah yang mungkin terjadi. Pastilah yang muncul adalah kemungkinan yang paling buruk. Mungkin dia membayangkan tiba-tiba pedang menancap di lehernya. Tetapi yang didengarnya adalah kata-kata penerimaan yang menyejukkan dari Raja Daud. Bayangkan seakan tumpukan beban yang selama ini Anda pikul tiba-tiba lenyap hanya dengan satu hembusan nafas. Keadaannya semakin membaik. Lihatlah!
“Lalu sujudlah Mefiboset dan berkata: “Apakah hambamu ini, sehingga engkau menghiraukan anjing mati seperti aku?” Lalu raja memanggil Ziba, hamba Saul itu, dan berkata kepadanya: “Segala sesuatu yang adalah milik Saul dan milik seluruh keluarganya kuberikan kepada cucu tuanmu ini. Engkau harus mengerjakan tanah baginya, engkau, anak-anakmu dan hamba-hambamu, dan harus membawa masuk tuaiannya, supaya cucu tuanmu itu ada makanannya. Mefiboset, cucu tuanmu itu, akan tetap makan sehidangan dengan aku.” Ziba mempunyai lima belas orang anak laki-laki dan dua puluh orang hamba. Berkatalah Ziba kepada raja: “Hambamu ini akan melakukan tepat seperti yang diperintahkan tuanku raja kepadanya.” Dan Mefiboset makan sehidangan dengan Daud sebagai salah seorang anak raja. Mefiboset mempunyai seorang anak laki-laki yang kecil, yang bernama Mikha. Semua orang yang diam di rumah Ziba adalah hamba-hamba Mefiboset. Demikianlah Mefiboset diam di Yerusalem, sebab ia tetap makan sehidangan dengan raja. Adapun kedua kakinya timpang.” (2 Sam 9:8-13)
Suatu kisah yang luar biasa bukan?! Ilustrasikan sendiri kehidupan Mefiboset selanjutnya di istana Daud. Makan sehidangan bersama seluruh keluarga raja. Saat jam makan malam tiba, semua anak-anak Raja Daud, pangeran-pangeran kerajaan yang semarak, datang bersamaan mengerumuni meja. Ada Amnon yang pandai dan cerdas. Kemudian Absalom yang tampan dan mewah dari ujung kepala sampai ujung kakinya. Diikuti oleh Salomo yang ramah dan bijaksana. Tentu saja disana juga ada Tamar, putri Daud yang cantik dan lembut. Serta anak-anak Raja Daud yang lainnya. Semua tampak sempurna luar biasa. Tetapi kemudian mereka mendengar suara gedebak-gedebuk dari Mefiboset! Ia berjalan terpincang-pincang menggunakan penopang menuju meja makan. Ia tersenyum dan dengan rendah hati dia duduk di kursi di antara para pangeran dan putri sebagai salah seorang putera raja! Wah, pemandangan unik yang sangat indah bukan?!
Cerita ini tidak berakhir begitu saja. Masih berlanjut dan direfleksikan sampai ke kehidupan kita saat ini. Kita yang dulu pernah sangat dekat dengan Allah, tiba-tiba harus melarikan diri dari hadapan-Nya karena kecacatan spiritual kita. Terlibat dalam hidup yang sia-sia, berpindah dari pengalaman yang salah kepada pengalaman yang lain, menghabiskan hari-hari yang membingungkan, sambil bertanya-tanya kemana semua ini akan memimpin kita. Kita putus asa karena tidak bisa menawarkan apa-apa kepada Allah. Tidak memiliki apapun untuk diberikan kepada-Nya. Tetapi Sang Raja mengarahkan hati-Nya kepada kita. Ia menganugerahkan pengampunan yang tidak bisa kita usahakan, tidak layak kita terima dan tidak akan sanggup kita bayar. Saat Dia menemukan kita, Dia berkata, “Sekarang kau adalah milik-Ku. Aku mengambilmu sebagaimana adanya engkau. Pincang, disia-siakan, dalam kelemahan dan sebagainya.” Cukuplah kasih karunia-Nya bagi kita.
Kecacatan Mefiboset merupakan peringatan yang terus-menerus akan anugerah kasih karunia. Ia tidak memiliki apapun, cacat dan tidak layak, tetapi ia diangkat menjadi anak raja. Begitu juga dengan kita. Kesulitan dan kelemahan kita merupakan peringatan akan karunia kasih-Nya. Jika bukan karena anugerah, bahkan saat ini jantung kita sudah berhenti berdetak. Jika bukan karena anugerah, tidak ada hari ini buat kita. Jika bukan anugerah, postingan ini pun tidak akan memberkati saya dan sodara.
Kalau Mefiboset makan sehidangan dengan anak-anak Raja Daud, mari kita juga menunggu waktu dimana kita akan makan dalam satu meja dengan Allah dan anak-anak yang dikasihi-Nya. Bayangkan Anda duduk berhadapan dengan Paulus dan Petrus. Mungkin Anda meminta Yohanes untuk mengambilkan ayam goreng. Atau mungkin tertawa bersama Ester, Musa, Samuel dan juga Daud? Berbagi sambal dengan Timotius? Ngopi bareng Abraham? Saya sangat menantikan saat-saat itu terjadi. Hanya anugerah-Nya yang mampu melakukannya. Dia memulihkan keadaan kita yang hina dan sama sekali tidak layak, membawa kita ke dalam kekekalan bersama-sama dengan Dia untuk selamanya.
Saya akhiri cerita yang panjang lebar ini dengan satu senyuman. Satu ungkapan yang bisa saya sampaikan, “Terima kasih, Bapa, karena menemukanku ketika aku tidak sedang melihat. Karena mengasihiku ketika aku bahkan tidak berani mengharapkannya. Dan menjadikan aku milik-Mu meski aku tidak layak menerimanya. Anugerah-Mu benar-benar menakjubkan.”
No comments:
Post a Comment