Kembali ke kota asal, kembali ke kedai kopi favoriku. Nggak akan lengkap rasanya kalau nggak nongkrong di sini, di Café Daun. Sekalian untuk kembali mengenang jalan kenangan semasa aku sekolah disini. Hhmm…. Emang sih udah banyak yang berubah dari kota ini. Banyak bangunan baru yang dibangun disini sekarang. Tapi lebih banyak pohon yang ditanam di daerah sini, jadi semakin rindang. Wah, disini dulu aku memulai segala sesuatu. Hidupku, mimpiku dan cintaku (yang sudah usang untuk diceritakan pastinya).
Saat aku melangkah masuk ke dalam kedai ini, ada beberapa pelayan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Sepertinya mereka pegawai yang baru bekerja disini. “Olivia!” seru seseorang dari salah satu sudut ruangan. Ko Yongki, pemilik kedai kopi ini. Dia terlihat sedikit lebih dewasa dari lima tahun yang lalu. Tapi masih terlihat keren.
Aku mendekat ke arahnya sambil melambai. Sekian lama tidak bertemu, ternyata dia masih mengenaliku. “Hai, Ko…. Gimana kabar?” sapaku.
“Selalu luar biasa!” jawabnya sambil merangkulku berjalan menuju counter. “Wah, si maniak kopiku kembali kesini! Aku akan membuatkan sendiri kopimu. Apa favoritmu masih sama?”
“Masih. Apa harganya juga masih sama?” tanyaku menggoda Ko Yongki yang selalu baik padaku.
“Uh-oh tentu saja harganya sudah naik sejak beberapa tahun yang lalu,” kata Ko Yongki sambil tertawa.
Dia itu sudah seperti kakakku sendiri. Waktu aku masih sekolah di daerah sini, tempat inilah yang jadi tempatku menyepi. Kalau sedang banyak tugas yang nggak bisa kukerjakan sendiri, maka Ko Yongki lah yang membantuku menyelesaikannya. “Coffee Hot Chocolate!” serunya padahal aku hanya berjarak satu meter dari tempatnya berdiri.
Aku mekangkah ke kursi paling pojok dekat dengan vas bunga besar di belakang sana. Itu kursi favoritku dulu. Dari situ aku bisa melihat langsung ke arah taman kota dan tempat paling jelas untuk melihat band corner yang ada di sebelah kanan counter. Tidak banyak berubah dengan tata ruang tempat ini, hanya saja Ko Yongki menambahkan beberapa ornamen klasik yang membuat café ini lebih terlihat unik.
“Sendirian aja?” tanya Ko Yongki. Aku mengeryitkan dahi tanda tidak tau maksudnya. “Kamu nggak sama si Maniak Cappuchino?”
Oh, dia menanyakan Steven, seseorang yang selalu bersamaku dulu sekali setiap kali aku pergi kesini. Dia memang penggila Cappuchino. Setiap orang yang kenal sama dia pasti tau minuman favoritnya. Satu lagi kenangan kembali muncul di tempat ini. Orang itu, sudah kuduga juga Ko Yongki masih mengingat dia.
“Oh, Steven? Nggak.”
“Kalian nggak lagi ada masalah kan?” tanyanya serius.
Wah, matanya sedikit membuatku takut. Sepertinya dia belum mengetahui cerita kami.
“Jangan memandangku aneh begitu donk!” kataku sambil memandang ke arah lain.
Aku tidak menyangka harus menjawab pertanyaan semacam ini pada Ko Yongki. Tapi aku siap memberi komentar untuk hal itu seperti yang biasa kulakukan. Aku menarik nafas panjang untuk menjawabnya. “I broke up with him, after I entered the university. But we still keep in touch. We're good as a friend.”
“Oh, I’m sorry,” kata Ko Yongki. Dia mencoba untuk tidak membuatku merasa bersedih. “Sayang sekali. Padahal kalian terlihat sangat cocok. Banyak yang iri pada kalian. Bahkan aku sendiri waktu itu juga sempat iri saat hubunganku dengan Juju sedang ada masalah.”
“Terlihat cocok? Opini pribadimu saja, Ko. Entahlah. Yang penting semuanya baik-baik saja. Aku dan dia nggak musuhan,” jawabku sambil meminum sedikit kopiku.
Ko Yongki mengerti kalau aku tidak ingin membicarakannya. Kalau dipikirkan kembali tempat ini memiliki banyak sekali kenangan antara aku, kopi, hujan dan dia. Disinilah kami menghabiskan waktu ketika nggak ada sesuatu hal yang bisa kami kerjakan. Tempat yang tepat untuk bersembunyi saat membolos di jam pelajaran matematika. Tempat untuk memandangi hujan dan menghirup tanah yang basah favoritku yang lainnya selain kopi tentunya. Tempat kami merayakan ulang tahun masing-masing, dengan secangkir kopi dan sepotong tiramisu cake. Tempat ini juga menjadi tempat kami bertengkar ala anak sekolah, saling cemburu dan saling memaafkan, meninggalkan dan kembali datang, menangis dan tertawa, dan sebagainya, dan sebagainya. Aku seperti mengais kembali memori-memori yang sudah hampir hilang tertutup oleh hal-hal lain. Seakan memori itu telah menjadi puing-puing bersejarah yang berhasil ditemukan kembali. Lebay!
“Bumi menghubungi Olivia,” kata Ko Yongki, tangannya membentuk antena di kepala. Dia membuyarkan lamunanku.
“Eh, ada apa?” tanyaku terkejut belum terlalu sadar dengan yang dikatakannya.
“Barusan tadi pikiranmu seperti keluar jauh entah ke planet mana. Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Ko Yongki usil.
“Apaan sih. Bagaimana kabar Ce Juju?” tanyaku mengalihkan perbincangan.
“Dia sangat sibuk sekarang ngurusin bisnis online-nya. Ah, aku belum cerita padamu kalau kami sudah menikan setahun yang lalu kan?” Ko Yongki antusias mengatakan soal pernikahannya padaku.
“Iya, karena Koko terlalu semangat untuk mengorek masa laluku yang menakjubkan,” jawabku berpura-pura sinis. “Aku dari tadi melihat cincin yang melingkar di jari manismu itu. Tapi Koko nggak cerita-cerita.”
“Haha…. Maaf aku lupa. Aku juga mau menghubungimu dulu waktu aku mau menikah dengan Juju dulu, but you disappeared from this town.”
Kemudian dia menceritakan dari awal sampai akhir bagaimana dia dan Ce Juju menikah. Senang sekali mendengar cerita tentangnya. Aku tau bagaimana perjalanan mereka menjalani masa-masa menyenangkan saat masih berpacaran sampai tunangan. Benar-benar membuatku iri. Sementara aku sendiri? Memang benar kata orang, belum tentu hubungan yang terjalin lama bisa berhasil sampai ke puncaknya.
Haha aku hanya meringis mengingat diriku sendiri. Mungkin banyak orang menganggapku bodoh sampai hari ini. Aku mau melepaskan sesuatu yang mungkin pasti hanya untuk menunggu sesuatu yang tidak jelas dimana akhir ceritanya. Tapi yah, aku sudah memutuskan hal itu. Just be positive, it is not my time to find that kind happiness.
No comments:
Post a Comment