Suatu saat saya sedang merindukan seseorang yang seharusnya sudah lama saya lepaskan. Bukan hal yang mudah, sangat sulit sekali. Ada air mata yang harus dicurahkan, ada tawa yang harus dikorbankan dan ada hati yang harus dihancurkan.
Setelah beberapa lama mempertahankan kekuatan untuk membuang semuanya, pada satu titik akhirnya batu yang kokoh dalam hati saya itu runtuh juga. Saya mulai kembali mengarahkan mata saya lagi kepadanya. Ada satu kerinduan yang begitu besar yang benar-benar mendesak saya ingin berlari menghampirinya dan memeluknya erat-erat. Saat mengetahui bahwa hal itu tidak mungkin terjadi, hanya tangisan yang saya miliki.
Dalam kekalutan seperti itu saya melupakan satu hal, bukan hanya ada dua orang yang berperkara dalam hal ini, aku dan dia. Tapi sebetulnya ada tiga orang, yaitu aku, dia dan Bapa di sorga. Mungkin orang lain tidak tau kalau diam-diam mata ini mengawasinya, tapi ada satu pribadi yang tidak bisa saya bohongi, Bapa. Saya bisa bersembunyi-sembunyi dari manusia, tapi tidak dengan-Nya.
Begitu seringnya saya menggombali Tuhan dengan mengatakan, "Ku b'ri yang terbaik bagi-Mu. Ku relakan segalanya." Tapi sejujurnya saya tidak tau bagaimana caranya merelakan yang terbaik dan yang terindah dalam hidup saya untuk-Nya. Kalau seandainya saya jadi Tuhan pasti saya sudah bosan mendengar keluh kesah orang seperti saya yang suka berkata-kata manis tapi tidak pernah ditepati.
Yang saya sadari saat itu adalah bagaimana mungkin saya memandang orang lain setelah baru saja berkata kepada Bapa bahwa saya hanya akan memandang Dia saat ini. Mungkin Tuhan lihat (dan pasti Dia lihat) saat saya memandangi orang itu. Yang muncul dalam benak saya seketika adalah, "Bagaimana perasaan Bapa saat saya memandang orang lain dengan tatapan seperti itu? Sementara saya mungkin belum pernah memandang Bapa dengan tatapan yang penuh arti seperti yang sedang saya lakukan padanya saat itu." Kalau saya di posisi-Nya, saya pasti sakit hati. Mungkin di saat yang sama Tuhan berkata, "Anakku, kapan engkau akan memandang-Ku seperti yang kau lakukan padanya?" Atau mungkin Tuhan juga berkata, "Aku juga rindu untuk memelukmu seperti engkau rindu memeluknya."
Betapa saya sangat mementingkan diri saya sendiri saat itu. Saya tidak memikirkan bagaimana perasaan Tuhan terhadap saya dan janji-janji saya yang saya buat sendiri untuk-Nya. Yang saya pikirkan hanyalah hati saya. Padahal Tuhan juga sedang menunggu saya, "Sesungguhnya, Aku hendak mencurahkan isi hati-Ku kepadamu." Saya baru menyadari betapa egoisnya saya.
Bukan soal saya berdosa dengan perasaan saya, tapi soal bagaimana fokus saya sama Tuhan saat ada orang lain yang saya lihat 'lebih indah'. Lagi pula bagaimana mungkin saya bisa menjamin bisa mengutamakan dia, kalau saya saja tidak bisa mengutamakan Dia untuk saat ini? Bapa hanya menginginkan waktu yang ekslusif dengan saya (dan mungkin juga dengan Anda) sebelum saya memiliki hal lain yang akan membuat waktu saya berkurang. Dia ingin mengajari saya untuk berfokus kepada-Nya dan menantikan waktu-Nya, sambil mengerjakan apa yang Dia ingin saya kerjakan untuk-Nya. That's it!
Bukan saya yang merindukan Dia, tetapi Bapa lah yang dengan segenap hati merindukan saya (dan juga Anda) untuk memandang-Nya dengan penuh kerinduan. Tuhan hanya minta satu hal, "Relakan semuanya. Biarkan hanya tersisa engkau dan Aku, maka engkau akan mendapatkan segalanya." Yes, Lord!
So, what should we do after this? Take His hands and let His love hugs you into His eternity. Together we shout, "It is only about You and me, Lord!"