Siang yang
sangat cerah. Saking cerahnya jadi panas banget rasanya. Makanya aku nongkrong
di café sambil ngopi. Lagi suntuk nih, nggak ada temen ngobrol. Kayak orang
bego gitu setengah jam cuma diam aja memandangi jalan raya dan orang-orang yang
lalu lalang dari tadi.
Sesekali sambil melirik ke arah kopi di tanganku.
“Mikirin
apaan kamu?” datang sudah makhluk astral tiba-tiba.
“Eh,
aku kok nggak tau kamu datang? Sama siapa kesini?” tanyaku agak terkejut sambil
celingak-celinguk memastikan dia datang sama siapa.
“Ah,
kamu aja yang keasikan ngelamunin orang. Sampe ga sadar ada aku disini,”
balasnya langsung duduk gitu aja di kursi depanku. “Aku datang sendirian. Kebetulan
aja aku lewat sini tadi, panas banget makanya mampir.”
Aku
sih cuek. Sambil masih memandangi jalanan yang ramai dengan kendaraan, sebentar
lagi pasti macet pikirku. Barusan aja aku kepikiran bosen nggak ada temen
ngobrol, eh datang dia ini. Lumayan lah.
“Tumben
kamu beli minuman kayak gitu?” tanyanya sedikit mengernyitkan keningnya.
“Kayak
gitu? Maksudmu ini?” tunjukku ke cangkir kopi di tanganku.
“Iya.
Nggak biasanya kamu beli Caffe Americano? Sejak kapan kamu ganti selera?” ujarnya
lagi.
Hanya kutanggapi
dengan gelengan kepala saja. Sepertinya dia tidak puas dengan ekspresiku. Aku tau
dia memang seperti itu. “Atau lagi galau nih sampai-sampai beralih ke kopi
jenis begituan? Triple-shot espresso lagi,”
Dia memang banyak tanya. Sejak kapan Caffe Americano jadi kopinya orang-orang
galau? Memang menurutnya maniak Caffe Americano cuma sekumpulan orang galau? Dasar!
“Sempit sekali
pikiranmu, Saudari?” jawabku malas. “Memangnya sampai mati aku harus jadi
maniak cappuccino?”
“Kan aku cuma
tanya. Nggak usah sensitive juga kenapa?” ujarnya sambil manyun. “Tapi biasanya
kan kalo orang minum kopi pahit begitu kalo nggak lagi galau ya lagi depresi. Kamu
yang tipe mana nih?”
Ah, memanglah
orang satu ini. Dapat filosofi dari mana dia? “Bagaimana kabarmu? Maksudku masalahmu
dengan dia?” tanyanya sekali lagi.
“Aku nggak ada
masalah sama dia kok,” jawabku dengan sedikit nada naik.
“Cih, pintar
sekali mengelak. Lalu kenapa bisa sampai sakit begitu kemarin kalo nggak ada
masalah? Ku bilang juga apa, kopimu itu sudah mengatakan kalo kamu nggak lagi
baik-baik saja. Ayo ceritakan bagaimana kabarmu?” desaknya hampir merengek. Memangnya
aku sakit karena apa? Sok tau.
“Seriuslah,”
ujarku malas sambil memandangi kopi yang mulai mendingin itu. “Ya sudah, aku
begini aja. Aku nggak apa-apa, nggak ada yang special terjadi.”
“Lalu setelah
sekian lama gini, kamu melepaskan dia gitu aja?” desaknya.
“Melepaskan
apaan? Selama ini aku kan nggak pernah memiliki dia. Jadi apa yang aku
lepaskan?” jawabku sekali lagi dengan nada yang datar banget. Sebenarnya berat
juga sih bilang begitu. Tapi ya udah lah.
“Aneh banget sih
kamu? Ngapain lah kalo gitu kamu jatuh bangun sekian lama berlari-lari cuma buat
dia? Ujung-ujungnya juga berhenti.”
“Aku nggak
berhenti ya…. Aku cuma nggak mau jadi penguntit aja terus-terusan hahaha,”
jawabku basa-basi. Asal tau aja untuk tertawa seperti itu aku harus menguras
separuh tenagaku. “Sudah saatnya aku membiarkan dia bernafas dengan lega. Selama
ini mungkin aku membuatnya nggak nyaman bahkan untuk bernafas aja. Kalo terus
seperti itu aku merasa sangat egois hahahaha.”
“Dasar bodoh!
Mana ada yang begitu?”
“Sssshhhh,
lagipula menyukai seseorang tanpa sepengetahuannya sama aja mencuri. Kayak kamu
diam-diam mengingini milik sesamamu. Dosa tau!”
“Masih bisa
bercanda lagi,” gerutunya. “Lalu apa rencanamu? Apa kamu yakin bisa melupakan
dia?”
“Mana mungkin
kamu bisa melupakan seseorang yang membuatmu baru memikirkannya saja kamu bisa
tertawa?” jawabku kali ini serius. “Aku nggak berniat melupakannya. Rasanya mau
mati. Semakin mau melupakan, semakin nggak bisa lupa.”
Ada keheningan
sejenak diantara kami secara tiba-tiba. Sudah nggak ada kata-kata lagi yang
bisa diutarakan. Aku meneguk kopiku lagi dan berkata,”Cara termudahnya adalah
tetap mengingat dia sebagai kenangan yang layak untuk diingat.”
“Kamu memang
aneh,” sahutnya sambil menggeleng dan tersenyum.
Aku memang nggak
berniat melupakkannya. Biar aja kenangan itu tertimbun dengan hal-hal baru
dalam petualanganku yang selanjutnya. Dengan begitu akan lebih mudah bagiku
menetralkan semuanya. Lagipula kasih itu kan memberi, bukan merampok. Aku nggak
pergi, cuma menggeser pandangan ke sisi yang lain. Kata orang aku aneh. Baru kusadari
kalo aku memang benar-benar aneh!
But everything is gonna be alright. Just keep smiling! :D
No comments:
Post a Comment