Si Popeye Suka Makan Bayam

"I AM JUST A LITTLE GIRL WHO NEVER STOP DREAMING"

August 27, 2022

A GRACE IN THE MIDDLE OF CHAOS

        Setelah entah berapa tahun saya nggak mampir buat nulis-nulis di sini, akhirnya hari ini saya kembali. Sudah lama mau menulis lagi, tapi ragu karena selain udah terlanjur lama hiatus, juga karena bingung apa yang hal yang relevan dengan keadaan saat ini yang bisa saya ceritakan. Jujurly, kalo mau nulis soal cinta kayaknya udah nggak cocok sama saya hahaha.... Jadi saya memutuskan untuk menulis kesaksian saya yang sudah lama saya ingin bagikan tapi selalu tertunda karena berbagai hal. So, here is my story, my journey with Him. Enjoy!

        Beberapa waktu lalu saya mengikuti pelatihan karyawan baru di tempat saya bekerja. Hari kedua saya mengikuti pelatihan itu, saya merasa sangat antusias dengan materi yang disampaikan. Saya bukan orang yang sangat religius sebetulnya, tapi diskusi tentang hal-hal rohani, kesaksian tentang bagaimana Tuhan itu baik, bahkan cerita-cerita Alkitab di sekolah minggu selalu membuat saya tertarik. Pada dasarnya saya memang menyukai hal-hal yang berhubungan dengan iman dan Tuhan, dalam konteks keingintahuan saya mengenai hal-hal rohani supranatural yang terjadi kepada beberapa orang.

        Hari itu kami diminta untuk membaca dan merenungkan sebuah artikel tentang dimensi iman. Awalnya saya malas mau membacanya. Cuma karena itu adalah perintah dan keharusan, maka saya melakukannya. Ternyata isinya not bad pada bagian awal. Saya lanjut baca sampai akhirnya saya selesaikan artikel itu. Pertama, stage 0/1: the rise of imagination. Kedua, stage 2: making meaning. Ketiga, stage 3: forming identity. Keempat, stage 4: reflective faith. Kelima, stage 5:connective faith. Keenam, stage 6: embraced and embracing faith.

        Setelah membacanya, saya sendiri jadi mempertanyakan pada tahap dimensi yang mana iman saya berada. Apakah hanya rutinitas cukup sejauh saya aktif melayani di gereja, berlaku baik di lingkungan dan pekerjaan atau memang spiritualitas saya itu sudah menjadi natural dan nafas hidup. Pengalaman berjalan dengan Tuhan pasti ada, tapi saya kembali me-review bagian mana yang membuat saya benar-benar menyadari bahwa saya butuh Tuhan dan Tuhan hadir dalam setiap aspek kehidupan saya. 

        Dengan kerendahan hati setelah panjang saya berpikir dan merenung, mungkin saya berada pada Stage Five: Connective Faith. Mengapa saya mengkategorikan diri saya pada tahap tersebut? Sedikit kesaksian; pandemi membuat saya belajar banyak mengenai iman dan pengharapan dalam Tuhan. Saya kembali ke tempat kerja saya sekarang ini setelah satu tahun saya "belajar" di tempat lain merupakan suatu anugerah tersendiri buat saya. 

        Singkat cerita, di tahun 2020, tahun dimana saya tidak pernah membayangkan akan terjadi sesuatu hal yang dasyat di seluruh dunia. Pandemi datang mengubah wajah dunia. Semua aspek sosial dan ekonomi terkena imbas. Banyak lapangan kerja ditutup, karyawan diberhentikan, dan "sialnya" hal itu juga terjadi kepada saya. Karena saya masih terhitung pegawai kontrak, maka mau tidak mau saya pun ikut di-cut dari tempat kerja. Padahal satu bulan kemudian seharusnya saya akan diangkat sebagai pegawai tetap saat itu. Tapi sekali lagi, manusia berencana, Tuhan yang melaksanakannya.

        Saya keluar dari tempat ini saat itu dengan rasa yang campur aduk. Saya bingung, sedih, marah, kecewa, tapi saya tidak tau harus menyalahkan siapa. Saya sempat bertanya dan protes sama Tuhan. Saya sudah mulai settle di tempat itu, kenapa Tuhan suruh saya pergi dari sana? Apa Tuhan tidak tau situasi saya? Apa Tuhan tidak peduli pergumulan saya? Dan masih banyak 'apa Tuhan, apa Tuhan' yang lainnya. Tapi puji Tuhan, saya ditempatkan di antara orang-orang yang luar biasa dimana mereka tidak hanya menguatkan saya tetapi juga membukakan pikiran saya bahwa Tuhan itu tetap baik mau apapun yang terjadi. 

        Saya mulai menerima keadaan dan situasi saya, tentu setelah beberapa waktu dengan pergumulan yang menguras emosi dan pikiran. Yang saya pegang adalah janji Tuhan bahwa Dia tidak pernah tinggalkan saya dalam keadaan terburuk sekalipun. Saya menjalani waktu-waktu saya dengan ucapan syukur dan tetap percaya pada penyertaan Tuhan. Dan Tuhan buktikan kesetiaan-Nya, saya tidak kekurangan damai sejahtera dalam hidup saya. 

        Lewat info dari teman saya, saya langsung masukkan lamaran ke satu tempat. Tanpa berpikir, tanpa prasangka, bahkan tanpa emosi saat itu. Saya sedikit paksa Tuhan waktu saya mau kirim surat lamaran itu. Saya bilang, "Tuhan, ini saya nggak masukin lamaran kemana-mana selain tempat ini. Pokoknya Tuhan buka jalan supaya saya diterima disana. Saya butuh kerja, saya janji kalo diterima disana, I will love that place as much as I love this place." Dan singkatnya ternyata betul saya diterima. Prosesnya cepat nggak pake ribet. Selesai kontrak saya di tempat lama, saya langsung masuk ke tempat baru. 

        Saya jalani hari-hari saya di tempat baru dengan ucapan syukur. Saya bukan orang yang mudah adaptasi sebetulnya, tapi Tuhan ajari saya untuk belajar membuka diri dan membaur dengan sekitar saya. Saya belajar banyak sekali hal disana. Dan yang terpenting setelah semuanya berlalu, saya pikir adalah saya lebih bersandar sama Tuhan dan merendahkan diri saya serendah yang saya bisa di hadapan-Nya. Ternyata betul, saya ini bukan siapa-siapa, pengalaman saya means nothing, bahkan kecerdasan itu tidak bisa mempertahankan posisi saya ketika menghadapi virus kecil yang nggak terlihat tiba-tiba menginvasi bumi. Disitulah saya yakin, bahwa pandemi ini tidak hanya terjadi begitu saja. Tapi Tuhan ijinkan terjadi supaya kita belajar sesuatu untuk mengenal Dia lebih dalam.

        Dan pertengahan 2021 saya kembali dipanggil ke tempat kerja saya yang lama dengan hati yang baru. Well, bukan berarti saya tidak mengasihi tempat kerja saya sebelumnya, tapi saya punya ikatan tersendiri dengan tempat kerja saya disini sejak awal. Saya bersyukur Tuhan ijinkan saya sempat belajar di ladang yang lain dimana saya bisa belajar melihat anugerah Tuhan dari sisi yang lain juga. Tuhan tetap baik, bahkan ketika keadaan sangat tidak baik. 

        Mungkin cerita saya adalah hal biasa bagi beberapa orang, tapi buat saya pengalaman yang satu ini membawa saya kepada satu tingkat lebih tinggi dalam pengenalan akan Tuhan. Bukan apa kata orang, tapi saya benar-benar merasakan God is good all the time, and all the time God is good. Sehingga ketika saya kembali ke tempat ini, saya lebih siap untuk melayani sepenuh hati dan mensyukuri apa yang Tuhan sudah berikan untuk saya kembangkan dalam pelayanan saya di tempat ini. Saya belajar untuk menghargai segala sesuatu yang ada disekeliling saya saat ini. Baik itu sahabat-sahabat saya, komunitas, keluarga, pekerjaan bahkan waktu yang ada. Karena ketika salah satunya hilang, barulah saya mengerti seberapa besar artinya buat saya.

        Oh ya, satu lagi untuk menutup kesaksian online saya ini. Saya bersyukur untuk keluarga yang saya miliki. Terutama Papi saya yang saya baru paham bahwa di dalam dirinya yang kaku itu, dia sangat mengasaihi dan memperhatikan anak-anaknya tentu dengan caranya sendiri yang agak nyentrik. Jadi waktu saya diberhentikan dari kerjaan saya saat itu, saya telfon orang tua sambil nangis-nangis. Saya merasa bersalah dan menjadi beban buat mereka. Saya bilang ke papi,"Sorry ya Pi, aku bikin kecewa Papi sama Mami. Tapi sekarang ini aku takut, pandemi begini aku harus ngapain kalo aku nggak bisa langsung dapet kerjaan baru?" Dengan ademnya Papi jawab,"Nggak apa-apa. Kamu nggak bikin kecewa kok. Kamu pulang. Kita berdoa. Kalo orang lain Tuhan perhatikan, masak iya anak-Nya nggak Tuhan tolong? Nggak usah takut. Papi tanggung seumur hidupmu!"

        Bagian akhir dari kata-kata papi itu yang buat saya tergugah, God loves me so much so He gave me everything I need. I have my family that support me. I have a community that strengthen me. I have God who never gives up on me when others possibly do. Jadi buat temen-temen yang mungkin saat ini sedang mengalami pergumulan yang berat, percaya ada Tuhan yang memperhatikanmu. Tetap berharap sama Tuhan dan terus bersyukur meskipun berat. Hati yang bersyukur akan selalu mengetuk hati Tuhan untuk membuka jalan buat masalah kita. Mungkin saat ini kita tidak melihat sesuatu yang baik dalam prosesnya, tapi setelah semuanya selesai kita akan bisa tersenyum melihat maksud Tuhan dalam mengajari kita lewat masalah yang kita alami saat ini.

Be faithful! God bless you!

November 08, 2016

APAKAH MIMPIMU TERLALU BESAR?

Beberapa hari yang lalu, ada seorang missionaris dari India datang ke tempat kami. Seorang pastor muda yang sederhana. Namanya orang dari luar Indonesia, pastinya dia nggak bisa bahasa Indonesia. Kebetulan saya mengajar bahasa Inggris di sekolah. Maka akhirnya saya sedikit berguna juga menjadi penerjemah dadakannya si Pastor.

Dia membawakan renungan pagi untuk anak-anak di sekolah. Anak-anak antusias mendengarkan khotbahnya. Mereka tertarik dengan orang baru yang berbeda bahasa dengan mereka. Si pastor bercerita bagaimana keadaan negaranya dan beberapa hal lainnya. Setiap perkataan yang disampaikannya menunjukkan bahwa hidup manusia itu ada di tangan Tuhan. Berulang kali beliau menyampaikan pesan tersebut.

Hampir seharian penuh kami bercerita dan sharing tentang Firman Tuhan, karena kebetulan hari itu jadwal saya kosong. Kemudian saya diberi tahu oleh orangtua rohani saya kalau pada sore harinya si Pastor akan mengisi khotbah di ibadah youth di salah satu gereja di sini dan saya yang diminta menjadi penerjemahnya. Tidak tau kenapa badan saya langsung menggigil. Saya bukan orang yang percaya diri menghadapi orang banyak, apa lagi menerjemahkan pendeta berkhotbah belum pernah saya lakukan sebelumnya. Saya mulai panik.

Sore pun tiba, saya tidak tau harus ngapain. Saya blank sama sekali. Bahkan saat si Pastor mulai berbicara, konsentrasi saya belum bisa terkumpul kembali ke dalam diri saya. Yang saya pikirkan adalah bagaimana pandangan orang terhadap saya saat itu. Saya lupa tentang hal lainnya. Apa lagi respon orang dalam pandangan saya saat itu seperti tidak puas dengan keberadaan saya. Pikiran saya mulai negatif, dan saya menyadari bahwa pesan yang ingin disampaikan si Pastor tidak tersampaikan dengan baik kepada jemaat yang ada. Saya benar-benar malu dan menyalahkan diri saya sendiri.

Lalu seselesainya ibadah, ada seorang ibu mendatangi saya. Beliau adalah salah satu pengurus di gereja tersebut. Dia berkata kepada saya,"Tidak apa-apa. Ini adalah langkah yang baik. Kamu sudah mencoba. Jangan patah semangat."

Saya tau maksud beliau menyemangati saya. Tapi saya tidak mengerti dengan benar inti dari kata-kata tersebut. Kemudian saya berkata,"Saya nggak bisa berpikir apa pun tadi di depan. Saya tau saya sudah gagal. Bukannya mengerti, tapi orang-orang malah bingung dengan ucapan saya."

Si Ibu tersebut menanggapi dengan senyuman,"Dek, kalau kamu jadi penerjemah, posisikan diri kamu itu sebagai pengkhotbahnya. Kamu bukan hanya sekedar menerjemahkan. Tapi Tuhan juga menaruh kuasa di setiap kata-katamu. Kamu juga harus menjadi dampak."

Saya terdiam mendengarkan perkataan beliau.

"Saya tau kamu grogi tadi sampai blank begitu. Tapi ingat, Tuhan sudah memberi kuasa kepada kamu. Jangan lupa. Jangan memikirkan diri sendiri, pikirkan bahwa ada sesuatu yang ingin Tuhan sampaikan kepada mereka melalui kamu. Minta hikmatnya Tuhan, jangan hikmat kamu sendiri. Kamu terbatas. Pandang kepada Tuhan saja. Nggak usah mikirin pandangan orang tentang kamu, pikirin aja kira-kira Tuhan mau ngomong apa sama mereka. Dengar-dengaran sama Tuhan biar nggak miss. Oke!" Lanjut Ibu tadi.

Saya baru sadar kalau saya sudah menyangkal kuasa Tuhan secara tidak langsung. Saya pakai akal saya sendiri saat itu. Saya minta ampun sama Tuhan. Semalaman saya mempersiapkan diri untuk ibadah keesokan harinya di dua tempat berbeda, dan saya masih didaulat untuk menjadi penerjemah lagi. Semalaman juga saya nggak bisa tidur nyenyak. Kalau yang saya terjemahkan turis biasa sih nggak masalah, lha ini khotbah pendeta kalau sampai salah terjemahkan bisa bahaya saya pikir.

Malam berlalu dan saya siap-siap ibadah di gereja A. Saya lihat jemaatnya kebanyakan mbah-mbah. Saya agak santai karena jemaatnya juga tidak terlalu banyak. Tapi ketika pujian dinaikan, saya mulai sedikit gemetar lagi. Ada intimidasi dalam diri saya yang mengingatkan kejadian malam sebelumnya dimana saya gagal menyamaikan pesan Firman Tuhan oleh pastor tersebut. Tapi saya ingat kata-kata Ibu yang menasihati saya semalam. Bukan kekuaanku, tapi Dia yang mengutus aku.

Satu menit, dua menit saya enjoy menerjemahkan si Pastor berkhotbah. Dia ceritakan pengalamannya. Saya puas dengan diri saya sendiri saat itu. Saya bisa. Saya pikir saya bisa. Sampai akhirnya giliran saya harus mempersiapkan diri kembali untuk melayani di gereja B yang semalam sebelumnya saya jadi penerjemah gagal. Tubuh saya gemetar tidak karuan lagi. Hawa dingin merayap dari kaki sampai kepala. Saya kembali ketakutan. Saya mulai melihat jumlah jemaat. Terlalu banyak. Saya tidak siap. Semua yang saya pikirkan adalah diri saya sendiri. 

Saya seperti kehilangan kendali atas pikiran saya. Saya lupa lagi bahwa saya tidak boleh memakai kekuatan saya sendiri. Saya menemui Ibu Gembalanya, saya bilang,"Oma, saya gemetar. Saya nggak bisa. Saya nggak siap."

"Kamu kenapa? Nggak apa-apa ada Tuhan yang menolong kamu. Kamu nggak lihat?" kata Ibu Gemala.

Saya beralasan ini dan itu. Saya mendengar lagu penyembahan sudah dimulai dan itu semakin membuat saya berkeringat dingin. Saya terus gemetar, takut, tidak percaya diri. "Lha bagaimana? Apa saya yang gantikan? Saya kasihan sama kamu. Tapi kan Tuhan sudah mempercayakan kepada kamu pelayanan ini. Dia memberi kesempatan kepada kamu. Pikirkan dengan tenang dulu," sambung beliau.

Saya berpikir panjang. Di saat yang sama saya memikirkan diri sendiri, tapi saya juga memikirkan tentang Tuhan Yesus. Saya ingin lari menyelamatkan diri, tetapi saya masih berpikir bagaimana mungkin saya mengecewakan Tuhan saya? Tuhan bisa pakai orang lain selain saya bahkan mereka yang jauh lebih bagus dan berpengalaman, tapi apakah saya harus mundur hanya karena takut jika dilihat jelek oleh orang lain? Saya benar-benar menjadi orang egois yang hanya memikirkan diri sendiri.

"Bukankah kamu kalau berdoa minta next level? Lha ini sudah dikasih kesempatan sama Tuhan lho. Jangan mengukur kekuatanmu sendiri, kamu akan gagal. Tapi lihat kepada Tuhan Yesus. Jangan kamu maju karena cuma ingin dilihat orang atau formalitas saja. Lakukan karena kamu mengasihi Tuhan. Pandang Tuhan Yesus, jangan pandang dirimu. Gimana? Bisa?" ujarnya lagi.

Setelah beberapa saat saya berpikir dan bisa menenangkan diri akhirnya saya bilang,"Ya , Oma. Saya siap. Oke. Saya yang terjemahkan."

Kami berdoa dulu sebelum memulai. Ibu Gembala mendoakan saya. Saya berdoa benar-benar minta kekuatan Tuhan. Karena saya tidak mampu lagi, tidak tau apa yang harus saya kerjakan. Saya meminta hikmat dari Tuhan supaya saya benar-benar bisa menjadi penyambung lidah Allah, bukan cuma sekedar menerjemahkan saja. Cuma satu hal yang saya doakan saat itu, saya mau menjadi perantara antara Tuhan dan jemaat-Nya.

Akhirnya Pastor mulai berkhotbah dan saya menerjemahkan. Masih sedikit gemetar tapi tidak lagi ketakutan. Saya benar-benar merasakan jamahan Tuhan saat itu. Hanya karena anugerah Tuhan, saya bisa melakukannya dan jemaat mengerti apa yang ingin Tuhan sampaikan melalui pastor tersebut.

Saya baru menyadari ketika saat itu saya berdiri di mimbar di depan banyak orang, bahwa saya pernah meminta hal ini kepada Tuhan waktu saya masih sekolah enam atau tujuh tahun yang lalu. Saya pernah berdoa kepada Tuhan kalau suatu hari saya ingin Tuhan pakai untuk bisa menjadi seorang interpreter, terlebih untuk seorang hamba Tuhan. Saya bahkan sudah hampir lupa kalau saya pernah meminta hal itu, tapi Tuhan masih ingat dan Dia menggenapi apa yang menjadi kerinduan saya. He is amazing!

Kita mungkin sering berfikir bahwa mimpi kita terlalu besar. Tidak mungkin mimpi yang terlalu muluk bisa menjadi kenyataan. Satu hal yang saya pelajari adalah tidak ada mimpi yang terlalu besar atau pun terlalu mustahil jika Tuhan sendiri yang menaruh mimpi itu dalam hati kita. Hanya butuh keberanian untuk menanggapi mimpi itu. Bukankah kita diciptakan untuk menggenapi firman-Nya? Salah satunya adalah lewat mimpi kita dimana Tuhan bisa berkarya dan nama-Nya dipermuliakan lewat hidup kita.

Saya juga benar-benar disadarkan kembali untuk yang kesekian kalinya bahwa bukan karena kekuatan saya, semua karena anugerah Tuhan. Tidak ada hak saya untuk menyombongkan diri, karena hanya Tuhan Yesus saja yang layak menerima pujian. Bukan saya yang bisa, tapi Dia yang memberi kekuatan kepada saya. Tuhan Yesus benar-benar merontokkan kekuatan saya, pengetahuan saya, kesombongan saya, bahkan rasa percaya diri saya supaya saya benar-benar mengandalkan Dia saja bukan yang lain.

Kesaksian saya ini bukanlah untuk membanggakan diri saya sendiri. Saya menulisnya untuk mengingatkan bahwa hidup kita ada di tangan Tuhan. Dia sudah merencanakan masa depan kita. Bahkan apapun juga yang menjadi impian kita jika itu baik di hadapan-Nya, Dia sanggup membuatnya menjadi nyata. Semua mimpi yang pernah kita doakan jika itu digunakan untuk kemuliaan nama Tuhan, pasti digenapi-Nya. Asal kita mengutamakan Dia dalam segala hal yang kita kerjakan. Tanpa Dia, rusaklah hidup kita.

Saya bersyukur mengalami hal-hal yang menakjubkan ini bersama dengan Dia yang mengaruniakan hidup kekal kepada kita. Dan saya masih menunggu mimpi-mimpi yang mana lagi yang akan digenapi oleh Tuhan.

“Bukan dengan keperkasaan dan bukan dengan kekuatan, melainkan dengan roh-Ku, firman Tuhan semesta Alam.” – Zakharia 4:6

God is good all the time and all the time God is good.

September 26, 2016

MULAI MERAGUKAN TUHAN?

Hari-hari yang panas dan melelahkan. Bukan hanya soal cuacanya, tapi suasana diri juga sedang panas. Terjadi percekcokan dalam diri seorang manusia. Ia merasakan kadang kala mempercayai Tuhan itu sulit, meskipun tidak sesulit mempercayai manusia. Sampai satu titik ia benar-benar menyerah. Hanya bisa diam mendengarkan otaknya menyumpahi diri sendiri. Logikanya menghakimi diri seenaknya sampai puas. 

Si Otak berseru,"Kesalahan ini ada padamu! Dari awal sudah tidak ada yang beres! Pertolongan Tuhan pun nggak sampai-sampai. Mana?"

Si Logika menambahi,"Kalaupun ditolong, pasti sudah salah kaprah. Lihat bagaimana pandangan orang padamu saat ini?!"

Mereka berdebat masing-masing, saling menyalahkan, saling menuduh. Di sisi netral, ada sebuah hati yang dari tadi hanya memperhatikan tanpa ikut angkat suara. Ia merasa kasihan pada si Logika dan si Otak. Mereka adalah satu, tapi bagaimana mungkin mereka berbeda keyakinan. Mempertanyakan dimana kesetiaan dan kuasa Tuhan. 

Saat sudah tidak ada lagi kata-kata umpatan dan penghakiman yang terucap, si Hati mulai berpendapat,"Tidak ada orang lain yang membuat kesalahan ini. Semua salah kita sendiri dan sudah terjadi. Tapi apa gunanya menyalahkan diri saat ini? Apa juga gunanya meragukan otoritas Tuhan sekarang? Toh tidak ada orang lain lagi yang mampu menolong."

Si Logika membela diri,"Tapi gengsi dong ngaku sama Tuhan kalo kita yang salah."

Si Otak ikut menambahi,"Lagi pula sudah sejak awal kita sok pintar tidak mengikutsertakan Tuhan dalam urusan ini. Terus tiba-tiba setelah urusannya runyam begini, kita mau merengek sama Tuhan? Mau ditaruh mana muka kita?!"

Si Hati hanya tersenyum. Dia pun mengerti memang malu mengakuinya. Tapi dengan bijak dia berkata,"Memang wajar kita malu. But it is okay to apologize first. He knows us well. Tidak ada yang lebih mengenal pribadi kita selain Tuhan kok. Apa menurutmu Tuhan tidak tau masalh ini kalau kita tidak bilang?"

Si Otak dan si Logika serempak menjawab,"Ya pasti tau sih."

"Apa menurutmu Tuhan akan menghakimi dan menghukum kita kalau kita salah? Never! Seharusnya Dia sudah menghajar kita sejak pertama kita berbuat salah. Dia kan maha tau. Tapi kenyataannya tidak. Dia menunggu sampai kita datang mengaku. Merendahkan diri."

Semua terdiam.

"Kawan, Tuhan pun tau kalau kita gengsi mengakui kesalahan kita. Apapun yang tersembunyi, yang kita rasakan, Tuhan mengerti semua. Apa kita masih mau berbohong di depan orang yang sudah tau semua? Jangan menganggap diri kita pandai. Dia lebih tau cara apa yang harus dipakai. Kita ikut saja," lanjut si Hati menasehati.

"Lalu bagaimana memulainya? Kita semua punya masalah untuk memulai sesuatu. Apalagi untuk mengaku sama Tuhan," kata Otak.

Si Hati tersenyum dan menjawab dengan lembut,"Gampang. Tinggal bilang saja 'Tuhan aku salah. Tidak usah kuceritakan pun Tuhan pasti sudah tau. Tapi kalau boleh aku mau curhat begini dan begitu. Aku sudah lakukan caraku tapi semuanya gagal. Sekarang aku tidak tau lagi harus berbuat apa selain berseru kepada-Mu'. Sudah cerita gitu aja sama Tuhan. Dia pasti dengarkan dan kasih solusi."

Logika dengan cemberut berkata,"Segampang itu? Lalu bagaimana kalau Dia tidak membantu?"

"Tidak mungkin Dia tidak membantu. Bahkan dalam keadaanmu yang paling berdosa pun, tangan Tuhan itu tidak pernah melepaskanmu. Dia hanya menunggu sampai kita menyerah bertumpu pada usaha sia-sia kita sendiri."

Logika dan Otak menundukkan kepala mereka. Memang benar juga apa yang dikatakan oleh Hati itu.

"Bahkan ketika Tuhan kelihatan diam dan tidak melakukan apa-apa, Dia sedang melakukan rencana yang peling indah untuk kita. Hanya sejauh mana kita bisa mempercayai kesetiaan Tuhan dalam hidup ini."

Si Logika bertanya,"Darimana kamu tau?"

"Aku mengenal Dia dengan baik. Dia selalu menolong dan memberikan jalan keluar yang terbaik. Kalaupun tidak ada jalan keluar, itu tetap yang terbaik. Karena Dia tidak akan meninggalkan kita dalam keadaan kita yang terburuk pun. Dalam kesesakan yang paling parah pun Dia ada disana untuk kita. Rencana-Nya adalah rencana damai sejahtera," ungkap si Hati.

Akhirnya mereka semua menyadari bahwa tidak ada satu hal pun yang tersembunyi dari pandangan Tuhan. Mau sepandai apapun kita menyembunyikannya. Kadang Tuhan membiarkan kita melakukan kesalahan untuk membuat kita sadar bahwa kita ini tidak sempurna. Kita selalu memerlukan anugerah Tuhan setiap mili detik dalam hidup ini.

Saat kita melakukan kesalahan, Tuhan tau. Saat kita jatuh tersungkur, Tuhan lihat. Saat kita menjauh dari-Nya karena kita malu mengekui kesalahan kita, Dia mengerti. Yang terkadang tidak kita pahami adalah Tuhan itu selalu ada di dekatmu bahkan dalam keadaanmu yang paling kotor sekalipun. Yang paling parahnya, kita bisa mempercayai manusia untuk menyelesaikan masalah kita, tapi kita tidak mempercayai Tuhan sanggup memulihkan keadaan kita.

Masalah kita terkadang membuat kita lupa bahwa kesetiaan Tuhan itu tidak pernah putus. Pikiran negatif kita mulai meracuni dengan asumsi-asumsi bahwa kesalahan kita terlalu besar, Tuhan tidak akan menolongmu. Atau logikamu yang terlalu gengsi untuk datang kembali sama Tuhan, minta Tuhan yang kembali sama kita. Lho? Tuhan itu selalu datang sama kita, tapi kita yang selalu menolak.

Tidak ada tempat paling aman untuk berbagi cerita selain sama Tuhan. Orang lain mungkin bisa memberi solusi, tapi mereka tidak akan pernah bisa mengembalikan keadaanmu seperti semula. Hanya Tuhan yang bisa. Kalau kita saja bisa mempercayai manusia, kenapa kita tidak bisa lebih mempercayai Tuhan yang sudah menebus hidup ini?

Oke, ini hanya basa-basi. Tapi intinya bukan basa-basi. Masalahmu tidak akan pernah membuat Tuhan Yesus menjauh darimu. Dia ada di sampingmu selalu. Kita hanya perlu memandang keatas melihat kepada kasih karunia-Nya dan semua akan beres.

God is good all the time and all the time God is good.

April 04, 2016

PUING-PUING MEMORI DI CAFÉ DAUN

Kembali ke kota asal, kembali ke kedai kopi favoriku. Nggak akan lengkap rasanya kalau nggak nongkrong di sini, di Café Daun. Sekalian untuk kembali mengenang jalan kenangan semasa aku sekolah disini. Hhmm…. Emang sih udah banyak yang berubah dari kota ini. Banyak bangunan baru yang dibangun disini sekarang. Tapi lebih banyak pohon yang ditanam di daerah sini, jadi semakin rindang. Wah, disini dulu aku memulai segala sesuatu. Hidupku, mimpiku dan cintaku (yang sudah usang untuk diceritakan pastinya).

Saat aku melangkah masuk ke dalam kedai ini, ada beberapa pelayan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Sepertinya mereka pegawai yang baru bekerja disini. “Olivia!” seru seseorang dari salah satu sudut ruangan. Ko Yongki, pemilik kedai kopi ini. Dia terlihat sedikit lebih dewasa dari lima tahun yang lalu. Tapi masih terlihat keren.

Aku mendekat ke arahnya sambil melambai. Sekian lama tidak bertemu, ternyata dia masih mengenaliku. “Hai, Ko…. Gimana kabar?” sapaku.

“Selalu luar biasa!” jawabnya sambil merangkulku berjalan menuju counter. “Wah, si maniak kopiku kembali kesini! Aku akan membuatkan sendiri kopimu. Apa favoritmu masih sama?”

“Masih. Apa harganya juga masih sama?” tanyaku menggoda Ko Yongki yang selalu baik padaku.

“Uh-oh tentu saja harganya sudah naik sejak beberapa tahun yang lalu,” kata Ko Yongki sambil tertawa. 

Dia itu sudah seperti kakakku sendiri. Waktu aku masih sekolah di daerah sini, tempat inilah yang jadi tempatku menyepi. Kalau sedang banyak tugas yang nggak bisa kukerjakan sendiri, maka Ko Yongki lah yang membantuku menyelesaikannya. “Coffee Hot Chocolate!” serunya padahal aku hanya berjarak satu meter dari tempatnya berdiri.

Aku mekangkah ke kursi paling pojok dekat dengan vas bunga besar di belakang sana. Itu kursi favoritku dulu. Dari situ aku bisa melihat langsung ke arah taman kota dan tempat paling jelas untuk melihat band corner yang ada di sebelah kanan counter. Tidak banyak berubah dengan tata ruang tempat ini, hanya saja Ko Yongki menambahkan beberapa ornamen klasik yang membuat café ini lebih terlihat unik.

“Sendirian aja?” tanya Ko Yongki. Aku mengeryitkan dahi tanda tidak tau maksudnya. “Kamu nggak sama si Maniak Cappuchino?”

Oh, dia menanyakan Steven, seseorang yang selalu bersamaku dulu sekali setiap kali aku pergi kesini. Dia memang penggila Cappuchino. Setiap orang yang kenal sama dia pasti tau minuman favoritnya. Satu lagi kenangan kembali muncul di tempat ini. Orang itu, sudah kuduga juga Ko Yongki masih mengingat dia. 

“Oh, Steven? Nggak.”

“Kalian nggak lagi ada masalah kan?” tanyanya serius. 

Wah, matanya sedikit membuatku takut. Sepertinya dia belum mengetahui cerita kami.

“Jangan memandangku aneh begitu donk!” kataku sambil memandang ke arah lain. 

Aku tidak menyangka harus menjawab pertanyaan semacam ini pada Ko Yongki. Tapi aku siap memberi komentar untuk hal itu seperti yang biasa kulakukan. Aku menarik nafas panjang untuk menjawabnya. “I broke up with him, after I entered the university. But we still keep in touch. We're good as a friend.

Oh, I’m sorry,” kata Ko Yongki. Dia mencoba untuk tidak membuatku merasa bersedih. “Sayang sekali. Padahal kalian terlihat sangat cocok. Banyak yang iri pada kalian. Bahkan aku sendiri waktu itu juga sempat iri saat hubunganku dengan Juju sedang ada masalah.”

“Terlihat cocok? Opini pribadimu saja, Ko. Entahlah. Yang penting semuanya baik-baik saja. Aku dan dia nggak musuhan,” jawabku sambil meminum sedikit kopiku.

Ko Yongki mengerti kalau aku tidak ingin membicarakannya. Kalau dipikirkan kembali tempat ini memiliki banyak sekali kenangan antara aku, kopi, hujan dan dia. Disinilah kami menghabiskan waktu ketika nggak ada sesuatu hal yang bisa kami kerjakan. Tempat yang tepat untuk bersembunyi saat membolos di jam pelajaran matematika. Tempat untuk memandangi hujan dan menghirup tanah yang basah favoritku yang lainnya selain kopi tentunya. Tempat kami merayakan ulang tahun masing-masing, dengan secangkir kopi dan sepotong tiramisu cake. Tempat ini juga menjadi tempat kami bertengkar ala anak sekolah, saling cemburu dan saling memaafkan, meninggalkan dan kembali datang, menangis dan tertawa, dan sebagainya, dan sebagainya. Aku seperti mengais kembali memori-memori yang sudah hampir hilang tertutup oleh hal-hal lain. Seakan memori itu telah menjadi puing-puing bersejarah yang berhasil ditemukan kembali. Lebay!

“Bumi menghubungi Olivia,” kata Ko Yongki, tangannya membentuk antena di kepala. Dia membuyarkan lamunanku.

“Eh, ada apa?” tanyaku terkejut belum terlalu sadar dengan yang dikatakannya.

“Barusan tadi pikiranmu seperti keluar jauh entah ke planet mana. Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Ko Yongki usil.

“Apaan sih. Bagaimana kabar Ce Juju?” tanyaku mengalihkan perbincangan.

“Dia sangat sibuk sekarang ngurusin bisnis online-nya. Ah, aku belum cerita padamu kalau kami sudah menikan setahun yang lalu kan?” Ko Yongki antusias mengatakan soal pernikahannya padaku.

“Iya, karena Koko terlalu semangat untuk mengorek masa laluku yang menakjubkan,” jawabku berpura-pura sinis. “Aku dari tadi melihat cincin yang melingkar di jari manismu itu. Tapi Koko nggak cerita-cerita.”

“Haha…. Maaf aku lupa. Aku juga mau menghubungimu dulu waktu aku mau menikah dengan Juju dulu, but you disappeared from this town.” 

Kemudian dia menceritakan dari awal sampai akhir bagaimana dia dan Ce Juju menikah. Senang sekali mendengar cerita tentangnya. Aku tau bagaimana perjalanan mereka menjalani masa-masa menyenangkan saat masih berpacaran sampai tunangan. Benar-benar membuatku iri. Sementara aku sendiri? Memang benar kata orang, belum tentu hubungan yang terjalin lama bisa berhasil sampai ke puncaknya. 

Haha aku hanya meringis mengingat diriku sendiri. Mungkin banyak orang menganggapku bodoh sampai hari ini. Aku mau melepaskan sesuatu yang mungkin pasti hanya untuk menunggu sesuatu yang tidak jelas dimana akhir ceritanya. Tapi yah, aku sudah memutuskan hal itu. Just be positive, it is not my time to find that kind happiness.

March 24, 2016

ANUGERAH: MELIHAT SEBUAH CONTOH LAIN

Mungkin dari judulnya Anda tidak tertarik untuk membaca postingan yang satu ini. Terlalu rohani atau mungkin bukan hal yang seru untuk diperbincangkan. But, trust me! Ini tidak akan terlalu membosankan untuk dibaca! Ceritanya lebih dramatis dibandingkan dengan sinetron televisi. Dan yang pasti ini bukan hanya fiktif belaka, tapi ini berdasarkan cerita nyata beberapa ribu tahun yang lalu. Kalau boleh saya sarankan jika Anda memiliki Alkitab di samping Anda, bacalah 2 Samuel 9:1-13 terlebih dahulu. Karena lebih indah kalau Anda menyaksikan ceritanya secara langsung dibandingkan hanya mendengar cerita dari orang lain. Kalau tidak ada Alkitab di samping Anda saat ini, baiklah mari kita membaca ceritanya di bawah ini.

Banyak ilustrasi indah tentang anugerah dalam Alkitab yang selalu membuat kita terpesona saat membacanya, termasuk yang terbesar diantaranya tentu Kristus yang menganugerahkan kita hidup kekal melalui pengorbanan diri-Nya di kayu salib. Namun kali ini saya ingin menceritakan kisah Daud dimasa-masa kejayaannya. Cerita ini melibatkan seorang pria yang tidak dikenal, bahkan namanya hampir tidak bisa dieja, Mefiboset (Mephibosheth). Menurut saya, kisah ini adalah kisah yang indah dan tidak terlupakan.

Alright, sebelumnya mari kita lihat apa arti kata anugerah. Kata grace atau anugerah dalam Bahasa Inggris memiliki beberapa pengertian. “Grace” bisa menunjuk kepada penari yang “lemah gemulai”. Rasa “ucapan syukur” kita pada waktu makan. Bisa berarti juga “semarak” seorang raja atau ratu. Dan lebih umum juga dikenal sebagai kata yang menunjuk kepada “martabat” dan “keagungan”. Tetapi yang terpenting, “anugerah” (grace) dapat berarti kasih karunia yang tidak terukur, kemurahan istimewa yang diberikan kepada seorang yang tidak layak mendapatkannya, yang tidak berusaha mendapatkannya, dan tidak sanggup untuk membalasnya.

Pada pasal sebelumnya diceritakan kehidupan Daud yang damai dan tenang menikmati semua berkat yang dimilikinya. Di hari-hari tenang itulah mungkin Daud mulai mengingat masa lalu dan kasihnya kepada Yonatan, sahabatnya. Teringatlah Daud akan janjinya kepada sahabatnya itu (see: 1 Samuel 20:13-16). Kemudian dia berkata kepada bawahannya,

”Masih adakah orang yang tinggal dari keluarga Saul? Maka aku akan menunjukkan kasihku kepadanya oleh karena Yonatan.” (2 Sam 9:1)

Biasanya ketika seorang raja dari dinasti baru mengambil alih tahta, maka seluruh keluarga dari dinasti lama akan dimusnahkan untuk menghindari kemungkinan terjadinya pemberontakan (setidaknya seperti itu yang saya baca dari buku atau lihat di tv). Tapi Daud mengingat janjinya dan hal itu menggerakkan hatinya untuk menganugerahkan kasihnya. Perlu dicatat Daud tidak berkata,”Masih adakah seorang yang layak?” atau “masih adakah seseorang yang memenuhi syarat?” Si pria hebat ini tidak peduli siapapun atau bagaimanapun mereka, tapi yang dia tanyakan hanya SESEORANG tanpa embel-embel apapun. Dan ya, mereka mengenal seseorang.

“Adapun keluarga Saul mempunyai seorang hamba, yang bernama Ziba. Ia dipanggil menghadap Daud, lalu raja bertanya kepadanya: “Engkaukah Ziba?” Jawabnya: “Hamba tuanku.” Kemudian berkatalah raja: “Tidak adakah lagi orang yang tinggal dari keluarga Saul? Aku hendak menunjukkan kepadanya kasih yang dari Allah.” Lalu berkatalah Ziba kepada raja: “Masih ada seorang anak laki-laki Yonatan, yang cacat kakinya.” Tanya Raja kepadanya: “Dimanakah ia?” Jawab Ziba kepada raja: “Dia ada di rumah Makhir bin Amiel, di Lodebar.” (2 Sam 9:2-4)

Mungkin si Ziba ingin menasihatkan kepada Daud kalau orang itu tidak pantas berada di sekitar istana untuk mendapatkan anugerah karena dia cacat. Daud tidak bertanya,”Separah apakah dia?” Tetapi raja yang bijaksana ini bertanya, “Dimanakah dia?” Itulah sifat anugerah. Tidak memilih-milih. Anugerah tidak mencari hal-hal yang telah diperbuat sehingga layak mendapatkannya. Anugerah ialah Allah memberikan diri-Nya sendiri sepenuhnya kepada seseorang yang tidak layak menerimanya dan tidak pernah berusaha dan tidak akan pernah memapu untuk membalasnya. Inilah yang menjadikan kisah Daud dan Mefiboset menjadi mengesankan. Seorang raja besar yang terkenal membungkuk kepada seseorang yang sama sekali tidak berarti di masyarakat. Mefiboset adalah seorang yang tinggal dalam pelarian. Tinggal di tempat yang jauh, tandus dan mungkin tidak tercatat di peta, untuk bersembunyi menghindari raja baru yang mungkin saja juga akan memusnahkannya suatu hari.

“Yonatan, anak Saul, mempunyai seorang anak laki-laki, yang cacat kakinya. Ia berumur lima tahun, ketika datang kabar tentang [kematian] Saul dan Yonatan dari Yizreel. Inang pengasuhnya mengangkat dia pada waktu itu, lalu lari, tetapi karena terburu-buru larinya, anak itu jatuh dan menjadi timpang. Ia bernama Mefiboset.” (2 Sam 4:4)

Menyedihkan bukan? Akibat dari jatuh tersebut ia menjadi cacat selamanya dan terus bersembunyi dalam ketakutan. Seorang cucu raja terdahulu yang pernah hidup berkelimpahan, harus menyembunyikan dirinya di tanah asing. Tidak memiliki apa-apa, tidak layak mendapat apa-apa, bahkan tidak berani menunjukkan keberadaannya ke hadapan dunia, Bisa bayangkan betapa sangat suramnya hidup orang ini? Seberapa burukpun situasi Anda, pasti tidak akan lebih buruk dari keadaan pria malang ini. Dan saat utusan raja mengetuk pintunya, bisa bayangkan betapa terkejutnya Mefiboset? Ia mungkin menatap wajah tentara-tentara Daud yang berkata kepadanya, “Raja ingin bertemu denganmu.” Pasti dia berikir, “Inilah akhirnya. Aku pasti mati.” Kemudian orang-orang itu membawa si timpang ke Yerusalem untuk bertemu langsung dengan raja.

“Dan Mefiboset bin Yonatan bin Saul masuk menghadap Daud, ia sujud dan menyembah. Kata Daud: “Mefiboset!” jawabnya: “Inilah hamba tuanku.” Kemudian berkatalah Daud kepadanya: “Jangan takut, sebab aku pasti akan menunjukkan kasihku kepadamu oleh karena Yonatan, ayahmu; aku akan mengembalikan kepadamu segala ladang Saul, nenekmu, dan engkau akan tetap makan sehidangan dengan aku.” (2 Sam 9:6-7)

Saya suka adegan ini. Alkitab menjelaskan dengan sangat jelas saat indah itu. Pria cacat ketakutan ini bersujud di hadapan raja yang memiliki segala hak berkuasa, bahkan atas hidupnya. Seandainya saya di posisi Mefiboset, saya tidak akan bisa membayangkan hal indah yang mungkin terjadi. Pastilah yang muncul adalah kemungkinan yang paling buruk. Mungkin dia membayangkan tiba-tiba pedang menancap di lehernya. Tetapi yang didengarnya adalah kata-kata penerimaan yang menyejukkan dari Raja Daud. Bayangkan seakan tumpukan beban yang selama ini Anda pikul tiba-tiba lenyap hanya dengan satu hembusan nafas. Keadaannya semakin membaik. Lihatlah!

“Lalu sujudlah Mefiboset dan berkata: “Apakah hambamu ini, sehingga engkau menghiraukan anjing mati seperti aku?” Lalu raja memanggil Ziba, hamba Saul itu, dan berkata kepadanya: “Segala sesuatu yang adalah milik Saul dan milik seluruh keluarganya kuberikan kepada cucu tuanmu ini. Engkau harus mengerjakan tanah baginya, engkau, anak-anakmu dan hamba-hambamu, dan harus membawa masuk tuaiannya, supaya cucu tuanmu itu ada makanannya. Mefiboset, cucu tuanmu itu, akan tetap makan sehidangan dengan aku.” Ziba mempunyai lima belas orang anak laki-laki dan dua puluh orang hamba. Berkatalah Ziba kepada raja: “Hambamu ini akan melakukan tepat seperti yang diperintahkan tuanku raja kepadanya.” Dan Mefiboset makan sehidangan dengan Daud sebagai salah seorang anak raja. Mefiboset mempunyai seorang anak laki-laki yang kecil, yang bernama Mikha. Semua orang yang diam di rumah Ziba adalah hamba-hamba Mefiboset. Demikianlah Mefiboset diam di Yerusalem, sebab ia tetap makan sehidangan dengan raja. Adapun kedua kakinya timpang.” (2 Sam 9:8-13)

Suatu kisah yang luar biasa bukan?! Ilustrasikan sendiri kehidupan Mefiboset selanjutnya di istana Daud. Makan sehidangan bersama seluruh keluarga raja. Saat jam makan malam tiba, semua anak-anak Raja Daud, pangeran-pangeran kerajaan yang semarak, datang bersamaan mengerumuni meja. Ada Amnon yang pandai dan cerdas. Kemudian Absalom yang tampan dan mewah dari ujung kepala sampai ujung kakinya. Diikuti oleh Salomo yang ramah dan bijaksana. Tentu saja disana juga ada Tamar, putri Daud yang cantik dan lembut. Serta anak-anak Raja Daud yang lainnya. Semua tampak sempurna luar biasa. Tetapi kemudian mereka mendengar suara gedebak-gedebuk dari Mefiboset! Ia berjalan terpincang-pincang menggunakan penopang menuju meja makan. Ia tersenyum dan dengan rendah hati dia duduk di kursi di antara para pangeran dan putri sebagai salah seorang putera raja! Wah, pemandangan unik yang sangat indah bukan?!

Cerita ini tidak berakhir begitu saja. Masih berlanjut dan direfleksikan sampai ke kehidupan kita saat ini. Kita yang dulu pernah sangat dekat dengan Allah, tiba-tiba harus melarikan diri dari hadapan-Nya karena kecacatan spiritual kita. Terlibat dalam hidup yang sia-sia, berpindah dari pengalaman yang salah kepada pengalaman yang lain, menghabiskan hari-hari yang membingungkan, sambil bertanya-tanya kemana semua ini akan memimpin kita. Kita putus asa karena tidak bisa menawarkan apa-apa kepada Allah. Tidak memiliki apapun untuk diberikan kepada-Nya. Tetapi Sang Raja mengarahkan hati-Nya kepada kita. Ia menganugerahkan pengampunan yang tidak bisa kita usahakan, tidak layak kita terima dan tidak akan sanggup kita bayar. Saat Dia menemukan kita, Dia berkata, “Sekarang kau adalah milik-Ku. Aku mengambilmu sebagaimana adanya engkau. Pincang, disia-siakan, dalam kelemahan dan sebagainya.” Cukuplah kasih karunia-Nya bagi kita.

Kecacatan Mefiboset merupakan peringatan yang terus-menerus akan anugerah kasih karunia. Ia tidak memiliki apapun, cacat dan tidak layak, tetapi ia diangkat menjadi anak raja. Begitu juga dengan kita. Kesulitan dan kelemahan kita merupakan peringatan akan karunia kasih-Nya. Jika bukan karena anugerah, bahkan saat ini jantung kita sudah berhenti berdetak. Jika bukan karena anugerah, tidak ada hari ini buat kita. Jika bukan anugerah, postingan ini pun tidak akan memberkati saya dan sodara.

Kalau Mefiboset makan sehidangan dengan anak-anak Raja Daud, mari kita juga menunggu waktu dimana kita akan makan dalam satu meja dengan Allah dan anak-anak yang dikasihi-Nya. Bayangkan Anda duduk berhadapan dengan Paulus dan Petrus. Mungkin Anda meminta Yohanes untuk mengambilkan ayam goreng. Atau mungkin tertawa bersama Ester, Musa, Samuel dan juga Daud? Berbagi sambal dengan Timotius? Ngopi bareng Abraham? Saya sangat menantikan saat-saat itu terjadi. Hanya anugerah-Nya yang mampu melakukannya. Dia memulihkan keadaan kita yang hina dan sama sekali tidak layak, membawa kita ke dalam kekekalan bersama-sama dengan Dia untuk selamanya.

Saya akhiri cerita yang panjang lebar ini dengan satu senyuman. Satu ungkapan yang bisa saya sampaikan, “Terima kasih, Bapa, karena menemukanku ketika aku tidak sedang melihat. Karena mengasihiku ketika aku bahkan tidak berani mengharapkannya. Dan menjadikan aku milik-Mu meski aku tidak layak menerimanya. Anugerah-Mu benar-benar menakjubkan.”


March 23, 2016

IN LOVING MEMORY

Aku baru saja kehilangan satu lagi orang yang berarti dalam hidupku. Kakekku. Setelah dia bergumul dengan sakitnya selama beberapa tahun terakhir ini, akhirnya Tuhan membawanya pulang kembali ke tempat darimana dia berasal. Tentu saja hati kami bersedih dengan kepulangan Kakek tercinta ke rumah Bapa, tapi kesedihan itu tidak membuat kami terlarut dalam duka. Adalah momen yang sangat mengharukan ketika kita bisa mendampingi salah satu orang yang kita kasihi pergi dalam damai.

Hari itu, hari dimana kami harus melepaskannya pergi, aku melihat senyum simpul di wajah kakek. Aku bersyukur memiliki kesempatan untuk merawatnya selama ini. Aku bersyukur aku bisa menungguinya, memegang tangannya dan menyeka keringatnya disaat terakhirnya. Kami memang tidak bisa menggantikan rasa sakitnya, tapi paling tidak ketika kami ada di samping kakek, dia bisa merasakan bahwa dia dikasihi.

Aku akui diantara semua anggota keluarga yang lain mungkin akulah yang paling sering membuat kakekku itu jengkel sewaktu dia masih hidup. Dari kecil kakeklah yang mengurusku. Aku adalah cucu yang paling dekat dengannya. Semua hal pertama yang aku lakukan, aku pelajari dari dirinya. Semua cerita-cerita yang menginspirasiku, dialah yang menceritakannya padaku. Dia bukan orang yang sempurna sama sekali. Dia bahkan orang yang paling bisa membuat jengkel kami semua. Tapi dia tetap menjadi bagian terpenting dari kami yang sangat kami kasihi.

Waktu kondisinya semakin menurun, ada banyak hal yang tidak masuk akal yang dia katakan pada kami. Dia punya tas ransel yang selalu ditaruh di samping ranjangnya. Tidak seorangpun boleh membuka atau menyentuhnya. Kami pikir ada barang berharga apa di dalam situ sampai kami tidak boleh mendekatinya sama sekali. Aku sendiri jadi berpikir betapa pelit kakek ini. Tapi setelah dia meninggal, baru kami merasa sangat konyol sendiri. Ternyata di dalam tas itu hanya ada satu agenda kosong dan sebuah Alkitab. Aku senang melihat hanya ada Alkitab di tas itu, bukan hal yang lain.

Hal terakhir yang bisa ku lakukan untuk kakek hanyalah memakaikan jas dan merapikan dasi pada jenazahnya. Satu hal yang aku sesali adalah aku tidak mengatakan bahwa aku sangat mengasihinya meski aku tau kakek sendiri mengetahuinya. Waktu sudah terbaring seperti itulah baru aku menyadari satu frasa “aku mengasihimu” bisa menjadi sangat penting untuk dikatakan. Selama masih ada kesempatan untuk mengatakannya, akan sangat lebih baik dikatakan sebelum semuanya terlambat.

Satu pengharapan yang kami miliki adalah suatu hari kami akan berjumpa kembali dengan kakek di tempat yang penuh kemuliaan. Hidup dan kematiannya sangat indah. Kami melepaskannya pergi, kembali ke tempat seharusnya dia berada. Tidak ada lagi sakit, air mata dan duka cita. Semuanya sempurna bagi kakek. Dia sudah mengalami sendiri rasanya makan sehidangan dengan Musa, Abraham, Paulus dan bahkan Tuhan Yesus sendiri. Dan kami disini, menantikan hal yang sama terjadi pada kami pada waktunya nanti.

Good bye, Grandpa. Your love will be in our heart as always. Thank you for being part of our life. God loves you more than we do. We believe that you deserve a better place in the heaven, to be part of His family. See you soon in eternity.