Pernah berkata kepada Papamu, “Maaf aku sudah bersalah”? Ku
kira itu adalah kata-kata yang indah yang mungkin harus kita katakan kepada
orang tua kita untuk sesuatu hal yang kita lakukan tetapi tidak menyenangkan
buat mereka.
Aku ingat
cerita ‘Anak yang Terhilang’. Bisa kubayangkan mungkin papa anak itu tensinya
sudah sampai 210 karena memikirkan kelakuan anak bungsunya –yang sebenarnya
maaf- ga bisa diuntung. Hanya anak durhaka yang berani minta warisan sementara
orang tuanya masih hidup sehat segar bugar.
Bungsu : “Papa, aku minta harta warisanku
sekarang!” (sambil menodongkan pistol mainan)
Papa : “Tapi Papa sekarang kan masih
hidup, dan kamu juga belum berumur 17 tahun. Kamu kan masih ‘ababil’ gitu loh.”
Bungsu : “Pokoknya aku mau sekarang.”
Tapi karena papanya mengasihi dia tanpa syarat akhirnya dia memberikan warisan
yang menjadi bagiannya si Bungsu.
Setelah
pergi berfoya-foya barulah si Bungsu menyesali semua yang telah ia lakukan
(mungkin juga tentang masalah warisan itu). Dia jadi melarat dan hanya bisa
makan bersama dengan babi-babi milik seorang kaya yang menjadi majikannya saat
itu. Bayangkan betapa joroknya perjamuan kasih bersama babi-babi (atau bahkan
berbagi makanan dengan para babi yang rakus itu). Kemudian ia berpikir
seandainya dia pulang kerumah maka dia ga perlu lagi makan barengan sama
babi-babi tambun itu.
Bungsu : “Lebih baik aku pulang saja ke
rumah Papa, kemudian aku akan minta maaf lalu minta kerjaan apapun yang bisa ku
kerjakan. Aku menyesal sekarang.” (menangis tersedu-sedu)
Babi2 : “Chiyyyuuuuzzz?? Masalah buat
gue? Masalah buat temen-temen gue gitu?” (Hahaha Cuma bayangan gue aja si babi
bakalan ngomong kayak begini)
Kalo aku
jadi si bungsu pasti ga ada nyaliku untuk pulang atau bahkan sekedar
menunjukkan mukaku di depan Papaku setelah semua kegilaan yang aku lakukan. Tapi
hal yang indah terjadi disaat anak itu kembali.
Bungsu : “Papa, aku sudah berdosa
terhadap Tuhan dan terhadap Papa. Aku ga pantas lagi disebut anak Papa. Aku
pulang cuma untuk minta pekerjaan sama Papa. Aku bisa bersih-bersih rumah, cuci
baju Papa, atau jadi sopir Papa pun ga apa-apa.”
Kalau saat itu aku ada disana kukira Papanya itu akan menendang dia lalu
memanggil satpam untuk mengusirnya (logikanya karena dia sudah durhaka). Tapi ternyata
aku ga mengerti apa yang ada dalam hati Papanya itu. Dia malah tergerak oleh
rasa belas kasihan kepada anak bungsunya yang berengsek itu. Dengan lembut dia
memeluk anak bungsunya yang kumal itu dan berkata, “Nak, kamu pasti lelah setelah perjalanan jauh. Apa kamu lapar? Ayo kita
makan bersama, Papa sudah siapakan ayam kremes kesukaanmu. Kemudian nanti malam
undanglah teman-temanmu untuk datang kemari dan buatlah pesta yang besar. Papa
mengasihimu.” Dan akhirnya aku sebagai penulis cerita nangis banjir bandang
setelah membayangkan reuni papa dan anak ini.
Kubayangkan
yang ada dalam cerita itu adalah aku. Kasih mulia Bapa Surgawi terhadap manusia
bodoh seperiku. Entah (kata temenku) karena aku berbakat ‘menggombali’ Tuhan
atau memang Tuhan yang senang kugombali (hahahaha karena kenyataannya hampir
seperti itu), hampir setiap kali aku merengek minta maaf untuk sesuatu hal yang
sudah kulakukan maka dengan lemah lembut hanya kasih-Nya yang bisa kuingat. Ga
ada yang lain dan yang lain ga lagi penting. Kalo boleh kubayangkan dengan akal
dangkalku mungkin saat aku datang dengan merengek-rengek, Dia hanya tersenyum
memandangiku berkeluh kesah ini-itu.
Aku :
“Tau nggak, Bapa? Selama ini aku telah menggunkan
talenta yang Kau berikan untuk berkeliling ke beberapa negara. Mereka memiliki
kebudayaan yang sangat luar biasa. Negara-negara itu sangat kaya. Ada yang mengekspor
minyak bumi, ada yang mengekspor kain sutra, ada yang memperjualbelikan susu,
hewan ternak, anggur, dan bahkan manusia.”
Bapa : “ Lalu?” (dengan tersenyum
lembut)
Aku ; “Aku begitu kagum dengan
mereka. Sampai aku lupa pulang kesini.”
Bapa : “Apa kau menikmati
perjalananmu?” (masih dengan tersenyum lembut)
Aku : “Awalnya iya, tapi kini tidak
lagi. Aku sudah menghabiskan semua talentanya. Sekarang aku miskin. Aku menyesal
telah meninggalkan-Mu begitu lama dan bersenang-senang sendiri. Sekarang aku datang
kemari untuk minta maaf. Aku tau seharusnya aku malu untuk menunjukkan wajahku
di hadapan-Mu lagi. Tapi sejujurnya aku tidak memiliki tempat untuk kembali.
Tidak ada yang mau menerimaku.”(mulai menangis)
Bapa : “…………………………” (hanya diam dengan
ekspresi yang sama, lembut dan damai)
Aku : “Aku tidak mengharapkan lebih
dari kepulanganku kembali. Aku tau Kau sangat kecewa terhadapku. Tetapi bisakah
Kau memberiku pekerjaan agar aku bisa bertahan hidup? Berapapun gaji yang Kau
akan berikan dan pekerjaan apapun itu akan aku lakukan.”
Setelah capek aku bercerita kesana-kemari kemudian Dia hanya memeluku
dan berkata, “Kemana saja engkau pergi,
anak-Ku? Aku sudah menunggumu untuk makan malam. Aku tau engkau sedang lapar
dan lelah. Oleh sebab itu sudah kusiapkan pakaian bersih untukmu. Gantilah
pakaianmu dan mari makan bersama-Ku, setelah itu istirahatlah. Aku
merindukanmu. Aku mengasihimu.”
Mungkin sama sepertiku, kita semua sering jatuh bahkan
terjatuh di tempat yang sama. Tetapi seberapa burukpun keadaan kita ketika kita
mencoba kembali, Dia selalu ada di ujung sana menanti dengan penuh kerinduan.
Saat kita mencoba untuk merangkai kata-kata, membuat berbagai alasan, Dia sudah
tau semuanya, Dia sudah melihat hati kita. Ketika kita seharusnya layak untuk
mendapat makian dan amarah-Nya, tetapi Dia datang dengan senyuman dan
kasih-Nya. Yah, ga akan pernah ada kata-kata yang bisa melukiskan bagaimana
rasanya ketika kembali datang dan Dia menerima kita dengan hati yang terbuka.
NB: Suatu
hari dalam perjalananku kembali,
Aku : “Bapa, aku tau aku salah dan
aku menyesal. Tapi apakah hukumanku bisa dihilangkan?”
Bapa : “Hmmm….. (tertawa kecil). Segala
sesuatu yang kita kerjakan memiliki konsekuensi, Sayang-Ku. Tapi Aku janji
kalau kau tidak akan sendiri melewati semua hal itu. Aku ada disini bersamamu.”
(menggandeng tanganku lalu meneruskan perjalanan kami)