Si Popeye Suka Makan Bayam

"I AM JUST A LITTLE GIRL WHO NEVER STOP DREAMING"

January 05, 2014

The Next Parable


Pernah berkata kepada Papamu, “Maaf aku sudah bersalah”? Ku kira itu adalah kata-kata yang indah yang mungkin harus kita katakan kepada orang tua kita untuk sesuatu hal yang kita lakukan tetapi tidak menyenangkan buat mereka.

Aku ingat cerita ‘Anak yang Terhilang’. Bisa kubayangkan mungkin papa anak itu tensinya sudah sampai 210 karena memikirkan kelakuan anak bungsunya –yang sebenarnya maaf- ga bisa diuntung. Hanya anak durhaka yang berani minta warisan sementara orang tuanya masih hidup sehat segar bugar.
Bungsu : “Papa, aku minta harta warisanku sekarang!” (sambil menodongkan pistol mainan)
Papa    : “Tapi Papa sekarang kan masih hidup, dan kamu juga belum berumur 17 tahun. Kamu kan masih ‘ababil’ gitu loh.”
Bungsu : “Pokoknya aku mau sekarang.”

Tapi karena papanya mengasihi dia tanpa syarat akhirnya dia memberikan warisan yang menjadi bagiannya si Bungsu.

Setelah pergi berfoya-foya barulah si Bungsu menyesali semua yang telah ia lakukan (mungkin juga tentang masalah warisan itu). Dia jadi melarat dan hanya bisa makan bersama dengan babi-babi milik seorang kaya yang menjadi majikannya saat itu. Bayangkan betapa joroknya perjamuan kasih bersama babi-babi (atau bahkan berbagi makanan dengan para babi yang rakus itu). Kemudian ia berpikir seandainya dia pulang kerumah maka dia ga perlu lagi makan barengan sama babi-babi tambun itu.
Bungsu : “Lebih baik aku pulang saja ke rumah Papa, kemudian aku akan minta maaf lalu minta kerjaan apapun yang bisa ku kerjakan. Aku menyesal sekarang.” (menangis tersedu-sedu)
Babi2   : “Chiyyyuuuuzzz?? Masalah buat gue? Masalah buat temen-temen gue gitu?” (Hahaha Cuma bayangan gue aja si babi bakalan ngomong kayak begini)
Kalo aku jadi si bungsu pasti ga ada nyaliku untuk pulang atau bahkan sekedar menunjukkan mukaku di depan Papaku setelah semua kegilaan yang aku lakukan. Tapi hal yang indah terjadi disaat anak itu kembali.
Bungsu : “Papa, aku sudah berdosa terhadap Tuhan dan terhadap Papa. Aku ga pantas lagi disebut anak Papa. Aku pulang cuma untuk minta pekerjaan sama Papa. Aku bisa bersih-bersih rumah, cuci baju Papa, atau jadi sopir Papa pun ga apa-apa.”
Kalau saat itu aku ada disana kukira Papanya itu akan menendang dia lalu memanggil satpam untuk mengusirnya (logikanya karena dia sudah durhaka). Tapi ternyata aku ga mengerti apa yang ada dalam hati Papanya itu. Dia malah tergerak oleh rasa belas kasihan kepada anak bungsunya yang berengsek itu. Dengan lembut dia memeluk anak bungsunya yang kumal itu dan berkata, “Nak, kamu pasti lelah setelah perjalanan jauh. Apa kamu lapar? Ayo kita makan bersama, Papa sudah siapakan ayam kremes kesukaanmu. Kemudian nanti malam undanglah teman-temanmu untuk datang kemari dan buatlah pesta yang besar. Papa mengasihimu.” Dan akhirnya aku sebagai penulis cerita nangis banjir bandang setelah membayangkan reuni papa dan anak ini.

Kubayangkan yang ada dalam cerita itu adalah aku. Kasih mulia Bapa Surgawi terhadap manusia bodoh seperiku. Entah (kata temenku) karena aku berbakat ‘menggombali’ Tuhan atau memang Tuhan yang senang kugombali (hahahaha karena kenyataannya hampir seperti itu), hampir setiap kali aku merengek minta maaf untuk sesuatu hal yang sudah kulakukan maka dengan lemah lembut hanya kasih-Nya yang bisa kuingat. Ga ada yang lain dan yang lain ga lagi penting. Kalo boleh kubayangkan dengan akal dangkalku mungkin saat aku datang dengan merengek-rengek, Dia hanya tersenyum memandangiku berkeluh kesah ini-itu.
Aku      : “Tau nggak, Bapa? Selama ini aku  telah menggunkan talenta yang Kau berikan untuk berkeliling ke beberapa negara. Mereka memiliki kebudayaan yang sangat luar biasa. Negara-negara itu sangat kaya. Ada yang mengekspor minyak bumi, ada yang mengekspor kain sutra, ada yang memperjualbelikan susu, hewan ternak, anggur, dan bahkan manusia.”
Bapa    : “ Lalu?” (dengan tersenyum lembut)
Aku      ; “Aku begitu kagum dengan mereka. Sampai aku lupa pulang kesini.”
Bapa    : “Apa kau menikmati perjalananmu?” (masih dengan tersenyum lembut)
Aku      : “Awalnya iya, tapi kini tidak lagi. Aku sudah menghabiskan semua talentanya. Sekarang aku miskin. Aku menyesal telah meninggalkan-Mu begitu lama dan bersenang-senang sendiri. Sekarang aku datang kemari untuk minta maaf. Aku tau seharusnya aku malu untuk menunjukkan wajahku di hadapan-Mu lagi. Tapi sejujurnya aku tidak memiliki tempat untuk kembali. Tidak ada yang mau menerimaku.”(mulai menangis)
Bapa    : “…………………………” (hanya diam dengan ekspresi yang sama, lembut dan damai)
Aku      : “Aku tidak mengharapkan lebih dari kepulanganku kembali. Aku tau Kau sangat kecewa terhadapku. Tetapi bisakah Kau memberiku pekerjaan agar aku bisa bertahan hidup? Berapapun gaji yang Kau akan berikan dan pekerjaan apapun itu akan aku lakukan.”
Setelah capek aku bercerita kesana-kemari kemudian Dia hanya memeluku dan berkata, “Kemana saja engkau pergi, anak-Ku? Aku sudah menunggumu untuk makan malam. Aku tau engkau sedang lapar dan lelah. Oleh sebab itu sudah kusiapkan pakaian bersih untukmu. Gantilah pakaianmu dan mari makan bersama-Ku, setelah itu istirahatlah. Aku merindukanmu. Aku mengasihimu.”

Mungkin sama sepertiku, kita semua sering jatuh bahkan terjatuh di tempat yang sama. Tetapi seberapa burukpun keadaan kita ketika kita mencoba kembali, Dia selalu ada di ujung sana menanti dengan penuh kerinduan. Saat kita mencoba untuk merangkai kata-kata, membuat berbagai alasan, Dia sudah tau semuanya, Dia sudah melihat hati kita. Ketika kita seharusnya layak untuk mendapat makian dan amarah-Nya, tetapi Dia datang dengan senyuman dan kasih-Nya. Yah, ga akan pernah ada kata-kata yang bisa melukiskan bagaimana rasanya ketika kembali datang dan Dia menerima kita dengan hati yang terbuka.

NB: Suatu hari dalam perjalananku kembali,
Aku      : “Bapa, aku tau aku salah dan aku menyesal. Tapi apakah hukumanku bisa dihilangkan?”
Bapa    : “Hmmm….. (tertawa kecil). Segala sesuatu yang kita kerjakan memiliki konsekuensi, Sayang-Ku. Tapi Aku janji kalau kau tidak akan sendiri melewati semua hal itu. Aku ada disini bersamamu.” (menggandeng tanganku lalu meneruskan perjalanan kami)

No comments:

Post a Comment