Pada suatu ketika aku bertemu
denganmu tiba-tiba ada sesuatu yang membuatku menjadi jengkel. Rindu rasanya
menyapa dirimu seperti biasa, tapi perasaanku enggan mengujar kata “Hai, Kawan!”
meskipun ku lihat dari matamu ada perasaan yang sama yang ingin kau katakan,
tapi kenapa kau hanya membisu? Sehingga membuat kamu dan aku menjadi canggung
untuk tersenyum.
Apakah keadaan yang membuat kamu
dan aku semakin berubah menjauh? Kalau iya, keadaan yang mana? Berapa lamakah
kita saling kenal? Tapi tak ada satu bagian pun dalam dirimu yang ku tau. Terkadang
kamu baik sampai aku salah mengartikannya menjadi suatu oasis tersendiri dalam
pandanganku. Tapi tiba-tiba kamu acuh
tak acuh sampai aku seperti tak mengenali dirimu sebagai kamu lagi.
Kadang kala aku membiarkan diriku
bersembunyi dalam bayangan sehingga kamu tidak memperhatikan kehadiranku. Terkadang
aku juga mengumbar bahwa ini aku mengawasimu. Begitupun aku tapi kamu tidak
menghiraukanku. Kamu berpikir ini adalah permainan. Tapi iya kah rasaku ini
sekedar permainan? Aku pusing sendiri memikirkannya.
Kalau boleh tanya, kamu anggap
aku ini apa? Teman bukan, sahabat bukan, menganggap lebih apalagi! Cukupkah selama
ini aku orang asing bagimu? Hanya tinggal berapa lama lagi aku disini, itu pun
tak juga kamu sadari. Seandainya kuasa aku menghantikan waktu, pasti sudah
kulakukan dari dulu supaya aku lebih lama memandangmu.
Konyol rasaku kalau terpikir tentang
aku dan bayanganku senja hari. Aku berkeras mengejar bayanganku sendiri yang
semakin jauh meninggalkanku. Kucoba untuk menginjak kepala bayanganku sendiri
tapi bayanganku semakin cepat berlari. Begitu juga pikirku saat aku berlari
mengejarmu. Semakin cepat ku berlari, semakin cepat kamu beranjak pergi. Konyol
sekali! Tentu saja, kakiku tak sepanjang kakimu!
Mungkin salahku merepresentasikan
dirimu dari sudut pandangku yang kabur tanpa kacamata. Mungkin bukan cinta,
tapi hanya ‘terduga cinta’. Hanya bodohku yang menginginkannya nyata. Selain karena
pandanganku buruk tanpa kacamata setelah kacamataku pecah seminggu yang lalu,
aku cuma ingin membodohi diriku sendiri terhadap fatamorgana dirimu. Kuanggap
saja kamu nyata.
Ah, ya sudahlah.
No comments:
Post a Comment