Sulit untuk menjelaskan perasaan seperti apa yang merasuk ke diriku saat ini. Aku tidak yakin apakah malam itu akan menjadi yang terakhir buat kami. Kalau memang malam itu adalah terakhir kami bisa berkumpul bersama, berarti waktu yang tersisa untuk kami kurang lebih hanya sekitar satu bulan. Itu pun kalau kami benar-benar bisa menggunakan waktu sebulan kami secara utuh. Setelah itu entah kapan lagi kami bisa berkumpul bersama-sama lagi.
Mungkin aku saja yang terlalu melankolis menganggap bahwa ini adalah akhir dari sebuah perjalanan yang kulalui bersama dengan mereka. Beberapa tahun aku bersama-sama dengan mereka. Suka, duka, jengkel, kecewa, kasih, pengorbanan dan pengampunan itulah semua hal yang aku pelajari dari mereka. Meninggalkan tempat ini bagiku serasa meninggalkan sarang yang selama ini membuatku hangat. Seumpama seekor anak rajawali yang sudah bisa terbang, dia harus keluar dari sarang meninggalkan tempat berlindungnya, meninggalkan orang tuanya, meninggalkan semua kenyamanannya. Mencari makan sendiri, terbang sendiri, menghadapi bahaya dengan keyakinan sendiri. Semua serba sendiri.
Selain itu, setidaknya kalau disini aku masih bisa melihatnya. Aku tidak tau bagaimana ceritaku akan berakhir. Kami sedang saling diam, sunyi. Menanti apa yang akan memecah sunyi. Entah tangis atau tawa. Semua orang sudah tau. Biar saja. Tinggal sebulan lagi, tidak jadi masalah. Setelah itu baru akan aku putuskan apakah aku akan bertahan atau menyerah saja. Karena sekeping hatiku sempat berujar, "Mungkin ini bukan cinta." Jika sekeping yang lain menegaskan, "Memang bukan", sudah. Tamat.
Terasa semakin jauh, bukan karena kita jauh. Terasa hilang padahal aku tidak pernah memiliki. Bagaimana bisa aku mengharapkannya kembali, sementara dia masih ada di sini? Di hati yang tak pernah menganggapnya pergi. Dari jauh aku beruacap sombong, "Jangan pedulikan aku." Seakan-akan kamu pernah peduli pada aku. Konyol.
Malam itu, aku suka matanya meski dia tidak melihatku. Aku suka suaranya, meski bisa dihitung jari berapa kali dia berbicara padaku selama ini. Aku suka senyumnya, meski senyuman itu bukan untukku. Aku suka dia, meski hanya punggungnya saja yang menjadi bagianku selama ini. Seandainya masih banyak waktu yang tersisa, aku mau terus disini saja. Ah, konyol. Aku berhasil patahkan kata, membungkam suara, memendam rasa, namun gagal menyumbat tangis.
Kamu; sejuk udara pagi yang hilang termakan siang.
Kamu; api pada pucuk lilin yang rentan mati.
Kamu; lembaran cerita yang hilang sebelum terbaca dalam sebuah novel cinta.
Aku; air laut yang menguap sebelum membasahi pasir pantaimu, lalu hilang di antara awan mendung.
Aku; kebahagiaan sesaat di saat dekat, kemudian hitam pekat saat jauh dan tak terlihat.
No comments:
Post a Comment