Si Popeye Suka Makan Bayam

"I AM JUST A LITTLE GIRL WHO NEVER STOP DREAMING"

September 20, 2014

ORANG YANG BUTA SEJAK LAHIRNYA

YOHANES 9
ORANG YANG BUTA SEJAK LAHIRNYA

Kejadian yang menarik sedang terjadi.
Mari kita buat sebuah cerita.

Ada seorang laki-laki yang buta sejak lahirnya dan telah disembuhkan oleh Yesus. Maka seketika ia bisa melihat, jadilah dia superstar yang diperbincangkan orang sekampung, termasuk juga masuk ke dalam penyelidikan orang-orang Farisi. Orang-orang Farisi makin gerah dengan mujizat-mujizat yang dilakukan oleh Yesus. Ia mau memastikan apakah yang diperbincangkan warga kota itu benar bahwa Yesus sudah memelekkan mata seorang laki-laki. Jangan-jangan hanya gosip yang ndak bener aja.

Dipanggilnyalah orang yang tadinya buta itu.
Orang Farisi A : "Gimana bisa kamu melek? padahal kamu kan buta?"

Laki-laki : "Ada orang tadi mengoleskan lumpur ke mataku lalu aku membasuh diri dan....
      Taraaaaaaa!! aku melihat!"

orang Farisi B : "Mana mungkin?! Dia itu penyesat! menyembuhkan org di hari sabat itu
  terlarang!"

Laki-laki : "Kalo dia berdosa mana mungkin bisa membuat mataku melek lg? Tuhan kan ndak akan                      mendengarkan doa orang berdosa. Memangnya doa kalian selalu
          diajwab oleh Tuhan kah?

Orang Farisi A & B : (meresa tersinggung lalu memanggil org tua laki2 itu)
                   "Pak, ini anak bapak bukan?"

Bapak : "Betul sekali 100% dia anak saya."

Orang Farisi B  : "Apa dulunya dia buta? lalu bagaimana dia sekarang jd melek bgini?"

Bapak : "Lah kok Bapak tanya ke saya? ya saya ndak tau. dia memang buta dulunya. tapi
          bagaimana dia bisa melihat lagi dan siapa yg sdh nyembuhin dia ya saya ndak
          tau. coba tanya anaknya sendiri. dia sdh besar kok. jd pasti tau gmna bisa
          dia melek lagi" (Jawaban yang terkesan jutek bgt.)

Orang Farisi A : "Katakan yg sejujur2nya, dia itu org berdosa kan? Bersumpahlah demi
           nama Tuhan."

Laki-laki : "Tadi kan sudah ku bilang, kamu ndak dengarkan sih. sekarang mau dengar lagi? Emang    kamu jg mau jd muridnya kayak aku?"

orang FArisi B : (ngejek)
                  "Ngapain aku mau jd murid-Nya? ndak banget deh. Kami kan murid Musa.
                  Musa itu nabi yg besar. Tuhan sdh menampakkan diri kepadanya dan    berfirman langsung sama dia. Lha kalo Yesus? aku ndak kenal."
Laki-laki : "Lucu juga kamu ndak kenal sama Dia padahal kamu udah lihat buktinya, aku.
      Mana ada org brdosa menyembuhkan org sakit? Kalo ndak hidup dalam Tuhan
      manusia ndak bisa berbuat apa2."

orang Farisi A & B : "Kamu mau ngajarin kami?! Dasar org berdosa hina dan bau! Pergi dari sini!            nanti kami tertular bisul berdosamu itu!"

Aneh bin ajaib si Farisi ini. mereka mengharapkan jawaban yg sama utk menentang Yesus
eh malah dijutekin sama mantan orang buta. piye jal?
merasa tersaingi oleh Yesus sehingga pikirannya sdh dibutakan oleh kebodohan mrka sendiri.

"Aku datang ke dunia ini bkn utk mnghakimi. tetapi brang siapa tdk melihat, hendaklah ia melihat. dan barang siapa yng mengatakan dirinya melihat, hendaklah ia menjadi buta," kata Yesus.
perkataan itu didengar oleh orang Farisi, mereka teringgung.
"Jangan bilang kalo maksud-Mu kami buta gitu?!"
"Aku kan ndak ngomong gitu. kalo merasa ya sudah. Tapi seandainya saja kamu ini
beneran buta, kamu ndak akan dihukum krn kamu emang ndak bisa melihat apa yg Ku kerjakan. tapi kalo kamu ini bisa melihat dan ngaku kalo kamu buta ndak bisa melihat pekerjaan-Ku, maka kamu akan di hukum," jawab Yesus.

istilahnya apa? mereka sebenarnya sdh melihat terang itu, tp ndak mau datang. trkesan mereka takut terang. lihatlah mereka ndak mau menyembuhkan org (memberkati) tapi ketika org lain menyembuhkan org (memberkti) langsung memperdebatkannya. memangnya Tuhan Yesus nyembuhin org pake duitnya? Ndak kan?!Tuhan Yesus aja ndak masalah kok.
jadi pelajarannya adalah jgn mengklaim sesuatu yg dikerjakan oleh temanmu mnjd milikmu.
Apalagi hal itu milik Tuhan.
dosanya double! xixixixi.......

God Bless.

September 16, 2014

KU KAGUMI KAU DALAM SECANGKIR KOPI #4 End

Becca dan Emile mengunjungi kampusku hari ini. Mereka sangat ribut sampai-sampai petugas perpustakaan menegur kami agar bisa diam. Betapa memalukannya! Mereka datang untuk meminta Renata menjadi modelnya di tugas peragaan busana mereka berdua. Dalam tugas ini mereka memerlukan seorang peraga agar pakaian yang mereka buat benar-benar bisa dinilai secara keseluruhan. Karena Renata pernah mengikuti lomba modeling, akhirnya dia dipilih oleh Becca dan Emile.

“Kalian kenal cowok itu?” tanya Emile tiba-tiba menunjuk seseorang dengan dagunya di deretan bangku paling ujung.

“Oh, itu Nathan. Kenapa? Kau juga tertarik sama dia?” tanyaku sambil terus membaca ensiklopedia di depanku.

“Dia lumayan keren. Dia pasti tertarik padaku kalau nggak terus-terusan melihat ke arahmu, Stevie,” jawab Emile menyenggolkan sikunya ke pinggangku. Kusipitkan mataku memastikan perkataan Emile. Aku nggak salah dengar? Ngapain Nathan melihatku? Ada-ada saja. Lagi pula yang kulihat dia sedang asik membaca dan tidak sedang melihat siapa-siapa.

“Sudah kuduga sejak awal. Tapi Stevie nggak percaya,” sahut Renata. Kenapa dia seantusias ini membicarakan aku sementara aku jelas-jelas ada di depannya sekarang? Selain cantik dan pintar, ternyata dia juga memiliki kebiasaan aneh; membicarakan orang lain ketika orang itu ada di depannya. “Aku sudah sering mangawasi Nathan sejak dia datang ke kampus ini beberapa bulan yang lalu. Dia sering duduk tepat di belakang Stevie kalau di kelas.”

“Darimana kamu tau? Kamu masuk ke kelasku ya?” tanyaku sedikit curiga.

“Aku sering lewat mengantarkan pesanan Giselle, teman sekelasmu itu. Awalnya aku nggak memikirkannya. Tapi karena terlalu sering kulihat dia sengaja pindah tempat duduk di belakangmu, makanya aku jadi memperhatikannya,” kata Renata semangat. “Aku juga sering melihatnya mengawasimu dimana pun dia melihatmu. Entah itu hanya kebetulan atau memang sengaja, tapi berani taruhan deh kalau dia memang sedang melihatmu.”

“Wah, ada yang punya secret admirer nih,” ejek Becca mengedipkan matanya padaku.

“Kalian ini senang sekali mengurusi kehidupan orang lain ya? Biarkan saja melihat siapapun yang dia ingin lihat. Lagipula aku juga tidak yakin dia melihat ke arahku. Pasti ada orang lain yang sedang dia lihat,” jawabku menolak pendapat Renata. Saat itu Renata cemberut menatapku karena merasa dirinya hanya dianggap berbohong.

“Haish, bagaimana bisa kamu nggak merasa senang dilihat sama cowok keren kayak dia?” tanay Emile dengan nada tidak percaya.

“Apa untungnya hanya dilihat sama cowok keren saja?” jawabku sambil memutar mata pura-pura tidak menghiraukan mereka.

“Benar-benar! Lalu maumu apa kalau tidak ada untungnya jika hanya dilihat saja? Sudah untung ada yang mau lihat. Begitu pun masih minta lebih,” sahut Becca menutup buku yang sedang kubaca.

“Hei! Bukan begitu maksudku. Sudahlah berhenti membicarakan dia. Bicarakan saja fashion show yang kalian rencanakan untuk tugas kalian,” sahutku sedikit dengan nada jengkel. Aku memang tidak ingin membicarakan Nathan dengan mereka. Karena mereka pasti membuatku semakin penasaran orang seperti apa Nathan itu. Setelah itu aku pasti akan mencari tau tantang dia, terlalu peduli kehidupan Nathan, nggak fokus belajar dan akhirnya bisa dibayangkan aku pasti jadi gila karena nilaiku turun semua! Siapa peduli apa yang mereka katakana tentangku. Meskipun aku juga sedikit mengagumi Nathan dan ingin tau apakah dia benar-benar sedang melihatku. Ah, sudahlah.

**

Sejak Renata bilang Nathan sering memperhatikanku diam-diam, aku jadi berpikir yang aneh tentang dia. Maksudku, aku jadi berpikir kalau waktu itu dia sengaja jadi partnerku untuk mendekatiku. Lalu dia sengaja mengajakku mengerjakan tugas di Express Café supaya lebih leluasa dan membuat suasana menjadi berbeda. Uhm, tapi bukankah aku yang menawarkan tempat itu untuk kerja kelompok? Dasar! Entah apapun yang sedang kupikirkan, yang jelas aku jadi lebih sering memperhatikannya dan aku sendiri tidak melihat tanda-tanda kalau dia juga memperhatikanku. Anehnya lagi aku jadi menjauh dari Nathan. Apanya yang sedang kujauhi? Aku benar-benar merasa aneh sekarang.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Nathan sengaja mengambil posisi duduk di belakangku.

Aku menoleh dan tersenyum kikuk padanya. Memang benar-benar canggung setelah Renata menceritakan hal-hal tidak masuk akal itu padaku. “Aku baik-baik saja. Apa aku terlihat sedang sakit?”

“Bukan begitu. Hanya saja sepertinya kamu sedikit menjauhiku,” jawabnya menatapku.

Oh, matanya itu! Jangan biarkan aku menatapnya terlalu lama atau aku akan berlubang karena tatapannya itu. “Ah, itu hanya perasaanmu saja. Aku tidak menjauhi siapapun. Buat apa aku menjauhimu? Apa alasanku menjauhimu?” jawabku sekaligus bertanya padanya (atau mungkin aku sedang bertanya pada diriku sendiri).

“Itulah yang ingin kutanyakan padamu,” sial jawabannya membalikkan pertanyaanku. Aku merasakan darah di seluruh tubuhku tiba-tiba berkumpul di kepalaku sampai aku merasa pusing tiba-tiba. Aku bisa merasakan mukaku memerah saat ini. Apa yang harus kulakukan?

Mr. Ronald menyelamatkanku dengan kedatangannya. Aku merasa sedikit lega karena tidak perlu menoleh ke belakang ke arah Nathan. Meskipun aku masih merasa nggak nyaman, seolah aku bisa melihat kalau Nathan masih memandangku. Rasanya jam dinding itu nggak bergerak sama sekali. Kenapa waktu begitu berjalan dengan lambat? Mr. Ronald membagikan tugas kami minggu lalu. Skor A- yang kudapat nggak terlalu buruk juga rasanya. Teman yang duduk di depanku memberikan tugas Nathan supaya aku mengoper kepadanya. Di ujung makalah itu tertulis A+. Aku langsung mengopernya ke belakang.

“Nggak mau lihat isinya?” tanya Nathan mencondongkan badannya ke depan. Aku hanya menggelengkan kepala. “Nggak penasaran?” tanyanya lagi kemudian kembali ke posisi duduknya yang semula. Aku menoleh ke belakang, dia membuka halaman terakhir tugasnya itu.

“Nggak deh,” jawabku menggelengkan kepala lagi. Tentu saja aku penasaran setengah mati! Tapi mana mungkin aku meminjamnya dari Nathan hanya untuk membaca tentang diriku yang ditulis olehnya. Entah ekspresi macam apa yang Nathan tunjukkan padaku sekarang. Mungkin dia sedikit terkejut, bingung atau malah kecewa. Aku nggak tau.

Dia berdiri dari tempat duduknya, “Aku mau ke belakang dulu.” Dia berjalan keluar ruang kelas dan membiarkan tugasnya itu terbuka begitu saja. Aku penasaran apa sih yang dia tulis di dalamnya? Kugeser tugas itu supaya aku bisa membacanya, biarpun nggak semuanya paling tidak bagian kesimpulannya sudah cukup untuk merangkum semua tulisannya.

"Stevie is special, but she does not realize that. The only weakness she has is she's not confident with herself. Stevie just needs to see herself as people see her. So, she will understand that she is braver, stronger, and more beautiful than she can imagine. When she finds her confidence, there is no other Lorena in this world that will see Stevie as a pity cat, but as a strong lioness."

Aku terbelalak membaca kalimat terakhir dari tugas Nathan itu. Benarkah aku sesempurna itu? Dia menganggapku cantik? Apa itu yang Nathan tulis tadi? Aku segera mengembalikannya saat kulihat Nathan sudah muncul di depan pintu kelas. Sebelum dia duduk, dia terenyum padaku seperti biasa gayanya. Sial! Nathan pasti menyadari aku sudah membaca tugasnya. Aku nggak sadar sudah meletakkannya ke arah yang berlawanan dari posisi semula. Ceroboh sekali!

“Hanya perlu meminta saja, pasti kupinjamkan tugasku sama kamu,” celetuknya dengan sedikit tersenyum simpul. Dia pasti menyadari mukaku memerah saat ini. Aku benar-benar nggak bisa bergerak rasanya.

“Kamu yakin nggak menulis yang aneh-aneh di tugas itu?” tanyaku mencoba menemukan kalimat yang pas dan semoga nggak membuatku kelihatan tambah aneh di depannya.

“Nggak lah. Mana mungkin aku sejahat itu. Semua yang kutulis disini adalah yang paling jujur yang kulihat dari dirimu,” jawabnya dengan menatapku. Aku benar-benar membeku sekarang. Maksudmu, kamu jujur bilang aku istimewa atau cantik? Bukan karena kamu mau dapat nilai A+ itu?


Sejak saat itulah aku mulai menggumi Nathan. Dia nggak pernah menunjukkan sikap yang berlebihan padaku, tapi aku tau dia memang sering memperhatikanku seperti yang pernah Renata bilang. Meskipun aneh, tapi aku cukup menikmatinya saat ini mengetahui bahwa ada seseorang yang mengagumimu secara diam-diam. Entah akan berjalan sampai kapan, yang jelas saat ini aku dan Nathan sama-sama saling mengagumi tanpa pernah berbicara satu sama lain lagi. Cukup tau saja, asalkan senyuman dan matanya itu masih ditujukan untukku. Biarkan dalam keheningan ini rasa itu berbicara.

THE END.


September 09, 2014

KU KAGUMU KAU DALAM SECANGKIR KOPI #3

Sabtu sore ini aku menemani Dad berbelanja kebutuhan kami. Mom sedang pergi mengurus bisnisnya di luar negeri. Aku bersyukur karena untuk kali ini Dad sedang tidak ada proyek kerja sehingga bisa menemaniku di rumah. Orang tuaku memang selalu sibuk dengan pekerjaannya, tapi mereka selalu menyiapkan waktu istimewa buatku paling tidak sebulan sekali. Mungkin karena itu juga aku tidak punya saudara. Mom dan Dad tidak akan sempat mengurusi aku dan saudaraku jika aku benar-benar punya saudara.

“Bagaimana dengan kuliahmu, Stevie?” tanya Dad sembari memilih-milih sayuran yang akan kami beli.

“Baik. Hanya saja aku sedikit kerepotan dengan tugas-tugas yang harus ku kerjakan. Sementara pelajaran yang kuambil hampir semuanya membosankan dan tidak terlalu penting untuk bidangku.”

“Kenapa bisa begitu?” tanya Dad agak sedikit terkejut.

“Aku sudah mengambil semua mata kuliah inti di dua semester terakhir yang lalu. Kali ini hanya perlu memenuhi nilai yang harus kuambil saja. Bagaimana kalau aku magang kerja di tempat Dad saja?” tanyaku memberi pendapat. Aku memang berharap segera mendapat pekerjaan setelah lulus nanti. Apa salahnya belajar lebih banyak di perusahaan tempat Ayahku bekerja? Malah lebih bagus dari pada aku hanya mendapatkan teori di ruang kelas.

“Tidak bisa. Dad kan selalu memintamu fokus belajar saja. Dad dan Mom masih bisa menanggung biaya hidupmu. Masalah kerjaan akan datang sendiri mencarimu, kamu ini anak yang cerdas,” aku tau jawabannya akan selalu seperti itu. “Lagi pula Dad berharap kamu dapat posisi yang lebih bagus daripada Dad. Satu hal lagi Dad tidak akan merekomendasikan kamu bekerja di perusahaan Dad.”

“Haish, setahuku setiap orang tua ingin anaknya mewarisi semua usaha mereka. Kenapa Dad malah melarangku? Benar-benar sulit dipercaya” sahutku asal. Kemudian Dad menjitak kepalaku.

“Itu berlaku bagi keluarga CEO dan jajarannya. Kedudukan apa yang bisa Dad tawarkan padamu? Makanya kalau kamu ingin mewariskan kedudukan untuk anakmu nanti maka jadilah pemilik perusahaan, jangan jadi pegawai.”

“Ah, malas sekali. Kalau begitu aku mau jadi anak kuliahan saja terus. Hidupku bisa kalian jamin selamanya hahaha….” Ejekku. Aku sangat menyukai ekspresi Dad saat aku mengganggunya. Dia adalah salah satu dari sekian banyak Ayah yang keren di dunia ini. Orang tuaku bukan hanya sekedar jadi orang tua saja, tapi juga bisa jadi sahabat, saudara dan bahkan rival yang terbaik untukku.

“Dasar anak nakal. Apa gunanya hidup kalau begitu? Aku menyekolahkanmu tinggi-tinggi supaya kamu bisa mendapat pekerjaan yang lebih baik dariku. Sehingga Mom dan Dad bisa segera beristirahat untuk menikmati masa tua kami. Atau paling tidak menikahlah dengan anak sorang pengusaha kaya biar kamu bisa langsung naik pangkat dan membahagiakan Dad mu ini,” ujar Dad setengah melotot. Aku tau dia hanya bercanda. Dia selalu mengatakannya setiap kali aku mengelak untuk mengerjakan sesuatu.

“Sekalian saja aku menikah dengan Pengusaha kaya raya yang tua bangka, jadi akan lebih cepat buatku untuk menguasai hartanya. Dasar, lebih bagus biarkan saja aku bekerja untuk sementara waktu ini supaya aku bisa mengurangi pengeluaranmu, Dad.” Dia hanya menggelengkan kepala. “Nanti malam aku akan pergi mengerjakan tugas dengan temanku. Mungkin aku akan pulang terlambat malam ini. Jadi makan malamlah dulu, jangan menunggu aku.”

“Dengan Renata?” tanya Dad tidak terlalu menanggapi perkataanku. Astaga, Dad pikir hanya Renata saja temanku? Mungkin Dad pikir anaknya ini termasuk anak yang kuper di kampus. Mana mungkin seperti itu. Lagipula Ranata dan aku berbeda jurusan.

“Bukan, temanku yang lain. Namanya Nathan.”

Dad agak terkejut mendengarku menyebutkan nama cowok. Yah, aku memang jarang menceritakan teman-teman cowokku pada Dad. Dia hanya tau Hans saja karena memang selama satu semester ini aku “terpaksa” bekerja sama dengannya. “Nathan? Oh, jenis teman seperti apa itu?”

“Hahaha…. Dia hanya sejenis manusia spesies kita.”

“Baiklah, memang terdengar sedikit aneh. Uh-oh Stevie punya pacar!” ejek Dad.

“Oh, sudahlah. Dia hanya teman kelompokku saja,” jawabku nyengir. Aku tidak berniat membicarakannya lagi dengan Dad soal ini.

**

Nathan sudah duduk di salah satu pojok café saat aku tiba disana. Dia sedang asik mendengarkan sesuatu di iPod-nya. Kelihatanya dia hanya mebawa satu buku catatan, bolpoin, dan laptop yang sudah dia letakkan diatas meja café. Rupanya dia sudah memesan minuman duluan. Jadi aku tinggal pesan minumanku terlebih dulu sebelum aku datang menemuinya.

“Hai, Nathan.”

“Hai, Stevie,” sahutnya lalu mematikan iPod yang dipegangnya sedari tadi. “Apa kabarmu?”

“Sangat baik,” jawabku sambil meletakkan Coffee Hot Chocolate-ku diatas meja.”Sudah lama ada di sini?”

“Sejak setengah jam yang lalu. Aku sengaja datang lebih dulu untuk menikmati suasana cafĂ© ini,” ujarnya sambil mengangkat gelas kopinya dan meminum sedikit.

“Ngomong-ngomong kopi apa yang kamu pesan?” tanyaku sedikit penasaran. Kata orang ‘kopi yang kamu minum mencerminkan pribadi yang seperti apa kamu’. Makanya aku sedikit ingin tau juga kopi jenis apa yang dia minum. Aku agak banyak tahu filosofi tentang kopi. Paling tidak aku bisa menebak kelas seseorang dilihat dari selera meminum kopinya.

Mint mocha-chip frappycap affogato style.”

Frappycap affogato style?” ulangku, hampir terdengar sedikit curiga dan nggak percaya. Nggak semua pecinta kopi yang mengerti artinya affogato. Sebenarnya, affogato adalah sejenis frappycap dengan espresso yang mengapung diatasnya. Baiklah, aku mulai tertarik dengan selera Nathan. Biasanya penyuka kopi jenis ini orangnya sangat asik dan susah ditebak. Kita lihat saja apa Nathan memang seperti yang kupikirkan.

“Iya, kenapa? Memangnya ada yang salah?” tanya Nathan.

“Enggak kok. Nggak sama sekali. Hanya sedikit terkejut saja,” jawabku canggung. Aku bisa merasakan semua darahku merayap ke muka sehingga rasanya sedikit panas. Bisa taruhan pasti mukaku memerah saat ini. Seandainya ada kaca! Kenapa tempat ini jadi lebih indah dari biasanya ya? Hanya perasaanku saja atau karena aku datang kesini dengan dia? Pikiran aneh dari mana ini?

“Kadang-kadang kamu ini aneh lho, Stevie,” sahutnya.

Aku hanya mengiyakannya saja. Aku memang seperti itu kok. Kami mulai mengerjakan wawancara ini. Banyak hal yang diceritakan Nathan tentang dirinya. Dan aku lebih tertarik bertanya tentang masa lalunya. Dia bercerita tentang masa kecilnya yang sangat usil. Jadi waktu itu dia dan temannya bernama Mike sedang bermain misi mengerjai orang-orang yang lewat di depan rumah mereka dengan menyemprotkan air dari water gun. Tentu saja banyak yang memarahi mereka, tapi tetap saja mereka melanjutkan kenakalannya itu. Sampai tiba-tiba ada orang gila yang tanpa sengaja ikut tersemprok air oleh mereka. Spontan si orang gila yang kaget itu mengejar mereka berdua yang berlari sambil menangis minta tolong. Sejak saat itulah Nathan tidak mau bermain water gun lagi di depan rumah.

Ternyata memang seperti perkiraanku, asik dan susah ditebak. Bahkan setelah selesai aku mewawancarainya, masih ada rasa ingin tahuku yang sebenarnya masih mau kutanyakan. Tapi aku takut dikira sok dekat. Jadi kuurungkan saja niatku itu.

“Ada satu hal lagi yang ingin ku tanyakan padamu sebelum menutup wawancaraku,” kataku sedikit serius untuk kali ini. “Sebelum pindah kesini kamu kan tinggal di Amerika dan belajar disana. Kenapa kamu pindah kesini?”

“Pertanyaan yang bagus,” dia memuji. “Dari kecil aku sudah ada disana. Bahkan seolah aku ini berkewarganagaraan Amerika. Sampai titik kemarin sebelum aku memutuskan pindah kemari, aku merasa harus kembali ke negaraku. Selain karena aku ingin berkumpul dengan keluargaku.”

“Jadi selama disana kamu nggak tinggal dengan orang tuamu?”

“Nggak. Aku tinggal di apartemen yang sudah mereka siapkan untukku. Lima bulan sekali mereka datang ke sana untuk menemuiku. Kalau masalah pendidikan, ada sekretarisku yang mengurusi semuanya,” jelasnya. Wow, sejak kecil dia sudah punya sekretaris pribadi. Orang kaya level berapa dia ini? Tapi kasihan juga. Bisa dibilang dia adalah anak sekretasisnya bukan anak Mom dan Dadnya. Aku tertawa sendiri dalam hati memikirkannya.

Tiba-tiba muncul sesosok cewek penyihir yang sama sekali nggak ingin aku temui dari pintu masuk cafĂ©. Lorena! Ngapain dia kesini sementara aku juga sedang ada di sini? Benar-benar hari yang tidak bagus buatku. Nathan melihat bingung ke arahku. Dia pasti menyadari ekspresi muak yang tiba-tiba dari raut mukaku. “Kamu kenapa?”

“Tiba-tiba aku nggak enak badan.”

“Kamu mau ke belakang dulu?” Nathan bertanya. Dia pasti berpikir kalau aku sedang terserang diare atau semacamnya.

Sebelum sempar aku mengelak pergi, Lorena sudah buru-buru datang menghampiriku. “Stevie!” serunya seperti kami ini teman dekat aja. Aku memalingkan muka memasang ekspresi ingin muntah saat dia mendekati mejaku. “Sedang apa kamu disini? Apa ini masih jadi tempat favoritmu dulu?”

“Sudahlah, Lorena. Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu malam ini. Kamu lihat aku sedang sibuk sekarang,” jawabku ketus. Nathan hanya memandangi bingung antara aku dan Lorena.

“Wah, dia sangat lucu ya?” katanya menoleh ke Nathan. “Kamu siapa? Pacar barunya Stevie ya? Kok mau sih sama cewek tukang ketut kayak dia? Dia kalau kentut bau banget lho. Mendingan hati-hati, mungkin kentutnya itu bervirus yang bisa bikin kamu diare seminggu penuh.”

“Apa?” tanya Nathan melihat ke arahku bingung. Aku merasa mukaku benar-benar merah padam sekarang. Oh, Lorena beraninya kau mempermalukan aku di depan Nathan! Benar-benar akan ku bunuh kamu malam ini! Ya ampun, aku bersumpah akan segera membalas perlakuanmu ini. Aku menunduk membaca catatanku sambil berdoa agar Lorena cepat pergi dari sini atau aku akan benar-benar menyiramnya dengan minumanku.

“Oh, baiklah. Sayang sekali aku tidak bisa lama-lama disini. Aku ada KENCAN sebentar lagi dan teman kencanku tau kalau aku tidak suka kentut sembarangan,” kata Lorena sambil melirikku sinis. Kemudian dia pergi sambil menggoyangkan pinggulnya. Aku yakin dia sedang menggoda Nathan tapi malah terlihat seperti cewek lebay yang perlu terapi kejiwaan.

“Siapa sih dia?” tanya Nathan padaku dengan ekspresi keheranan. Aku menarik nafas dalam-dalam mencoba menetralkan emosiku yang dikacaukan lorena barusan.

“Dia cuma cewek yang perlu operasi kepribadian waktu aku masih sekolah dulu.”

“Kelakuannya seperti nenek sihir,” ucap Nathan agak mengernyitkan alisnya.

“Oh…. Aku sangat setuju,” kataku sambil berkacak pinggang melihat keluar mengamati Lorena yang menyebrang jalan. Kami sama-sama mengamati Lorena sampai dia menghilang di antara kerumunan orang di seberang sana. “Benar-benar menjengkelkan.”

“Kenapa kalian bisa begitu?” tanya Nathan.

“Dia punya misi untuk menyiksaku di sekolah menengah dulu. Saat kami sudah lulus kukira semua sudah berakhir. Tapi ternyata dia menemukanku lagi!” jawabku jengkel. Kemudian aku menceritakan kenapa aku bisa dipanggil Stevie si Tukang Kentut oleh Lorena. Dia tertawa mendengar ceritaku, tapi jelas itu bukan ekspresi yang merendahkan. Aku juga menceritakan beberapa cerita memalukan yang kualami gara-gara ulah Lorena. Seperti waktu guru bahasa Perancis memintaku meminjam pensil pada Lorena. Entah bagaimana aku malah menyebut Lorena “babi”. Dan dari situlah situasi bertambah buruk buatku.

“Kenapa nggak kamu hajar saja dia?” tanyanya sambil menaikkan alis mata kanannya.

“Hajar dia?” tanyaku malas. “Entahlah. Seandainya aku cowok. Aku juga belum pernah memukul seseorang. Lagipula kalau di depannya, seberapa percaya diri pun diriku dalam 15 detik pasti berubah menjadi seekor kucing yang basah kuyub tersiram air comberan. Tiba-tiba saja semua keberanianku seperti hilang.”

“Aku hanya bercanda, Stevie,” ujar Nathan tersenyum memandangiku menjawab pertanyaannya dengan konyol. “Sudah pernah mencoba berbicara dengan Lorena? Maksudku hanya kalian berdua?”

Berbicara dengan Lorena itu malah terdengar seperti ‘membuang-buang waktu’ atau ‘nggak penting untuk dikerjakan’. Aku menarik nafas dalam-dalam, “Nggak akan pernah bisa. Lihat saja tadi, setiap kali dia bertemu denganku maka hal itulah yang akan dia lakukan dari awal sampai akhir. Mempermalukanku.”

“Ya, siapa tau aja sih,” lanjut Nathan kemudian meminum frappycap affogato-nya. Lalu tangannya sibuk membuat coretan.

“Yang tadi itu rahasia. Jangan masukkan sebagai bahan makalahmu,” kataku. Aku punya firasat buruk kalau dia mungkin akan menulis semua cerita memalukanku tadi kedalam tugasnya.

“Entahlah, kita lihat saja nanti,” jawabnya enteng dengan senyum (yang manis seperti biasanya) mengembang di wajahnya.

“Awas saja kalau kau berani!”

**

“Hei, apa saja yang kalian lakukan kemarin Sabtu?” Renata nggak sabar menunggu ceritaku tentang Nathan. Aku tidak tau apa yang para cewek-cewek ini lihat dari Nathan sehingga membuat mereka tergila-gila. Astaga, aku merasa nggak normal sendiri jika melihat cewek-cewek ini. Nathan memang keren, tapi aku nggak tertarik sama sekali sama dia (minimal untuk saat ini).

“Ya ngerjain tugas. Memangnya mau ngapain lagi?” jawabku cuek.

“Astaga, kamu ini nggak bisa memanfaatkan kesempatan. Semua cewek-cewek di kampus ini pengen bisa jalan dengan Nathan, tapi nggak pernah ada kesempatan. Sementara kamu kesempatan terbuka lebar malah mengabaikannya begitu saja,” jelas Renata. Dasar cewek! “Eh, mungkin Nathan tertarik padamu. Dari sekian banyak teman di kelasmmu kenapa dia mau berpasangan denganmu. Itu kan aneh.”

“Kamu yang aneh. Pikiranu terlalu tidak masuk akal. Maksudmu dia tertarik padaku sehingga menjadikan aku sebagai partnernya? Lalu bagaimana denganku yang sering berpartner dengan Hans? Kau juga berpikir aku tertarik padanya?”

“Bukan begitu. Dari tatapannya padamu juga sudah aneh.”

“Kamu yang aneh, bukan dia. Sudahlah…. Ayo cepat ke kampus. Aku harus mengumpul laporanku sama Ma’am Vernie pagi ini,” sahutku. Renata segera memacu mobilnya menyusuri jalanan yang kebetulan tidak terlalu ramai. Cuaca hari ini juga sedang asik, tidak terlalu panas

Sesampainya di kelas aku langsung duduk di meja paling belakang. Supaya kalau aku tidur nggak kelihatan sama dosennya. Mata kuliah hari ini sama sekali nggak menarik sih. Tiba-tiba Nathan duduk di sebelahku. Awalnya aku nggak sadar, sampai salah seorang cewek di kelas menatap aneh ke arahku. Astaga! Cowok ini rupanya yang membuatku jadi kelihatan aneh di kelas?

“Sejak kapan kamu datang?” tanyaku sedikit terkejut.

“Dari tadi. Kamu saja yang nggak sadar aku sudah duduk disini,” jawabnya santai sambil meletakkan buku catatan dan bolpoinnya di meja. Dia ini mahasiswa yang paling irit sepertinya. Buku catatannya cuma satu. Bolpoin pun isinya tinggal untuk menulis satu kalimat lagi. Baju bermerek begitu mana mungkin nggak mampu beli bolpoin satu biji? “Kenapa memandangiku? Ada yang salah?”

“Mana mungkin aku memandangimu? Aku hanya kasihan saja melihatmu tidak punya bolpoin cadangan. Padahal baju bermerek.”

“Kenapa bolpoinku jadi masalah buatmu?” tanyanya datar. “Apa tugas bahasa inggrismu sudah jadi?”

“Sudah. Aku langsung menyelesaikannya sehabis kita mengerjakannya di cafĂ© hari itu juga. Apa punyamu sudah selesai juga?” tanyaku ganti.

“Tentu. Akan ku kumpulkan hari ini.”

“Mau ngumpulin bareng nggak? Uhm, boleh lihat?” tanyaku sambil melirik tugas bahasa inggrisnya yang dia sempat buka di beberapa halaman secara acak.

“Nanti ku kumpulkan sendiri. Kalau mau lihat nanti saja kalau sudah dikoreksi sama Mr. Ronald,” jawabnya melarangku menengok makalah itu.

“Kamu nggak penasaran dengan ceritamu yang kutulis di tugasku ini?” tanyaku kembali sambil menyodorkan padanya tugasku.

“Aku nggak penasaran,” jawabnya datar banget. Benar-benar dasar anak aneh. Bagaimana mungkin dia tidak penasaran dengan apa yang aku tulis tentangnya? Memangnya apa yang dia tulis di dalam tugasnya itu? Pasti hal-hal yang aneh tentangku. Aku hanya sempat membaca ada beberapa nama yang tertulis disana. Ada nama Lorena juga. Awas saja kalau dia benar-benar menulis ceritaku dengan Lorena yang nggak sengaja aku ceritakan kemarin.


**

To be continued.

September 08, 2014

KU KAGUMI KAU DALAM SECANGKIR KOPI #2

“Besok ada reuni SMA. Sepertinya Joe juga akan ada disana,” kata Renata yang sedang membaca buku di tempat tidurnya. Aku diam saja tidak menjawab sambil terus mengerjakan tugas kampusku. Aku sama sekali tidak tertarik untuk membahasnya. “Hei, aku sedang berbicara padamu,” protes Renata meminta pendapatku.

Aku menoleh ke arahnya dengan wajah datar. “Apa aku perlu berpendapat? St. Peter kan juga tempat dia dulu sekolah. Jadi biar saja dia datang kesana.” Aku berpura-pura tidak peduli tentang hal itu meskipun ada sedikit rasa cemasku bagaimana aku harus bersikap di depan mantanku itu. Kalau diingat bagaimana  kami mengakhiri hubungan waktu itu aku benar-benar merasa ingin muntah. Kami pacaran selama tiga tahun, kemudian dia selingkuh dengan teman sekolahku, namanya Brenda. Aku tidak akan begitu kecewa jika yang dikencaninya adalah cewek yang lebih baik dariku, setidaknya dalam segi penampilan. Tapi Brenda sama sekali tidak selevel denganku. Apa yang bisa dibanggakannya selain gaya centilnya yang norak dan kapasitas percaya dirinya yang berlebihan. Paling parahnya dia itu sejenis piala bergilir yang wajib dimiliki oleh cowok-cowok lebay yang berpikiran ngeres dan hobi ngelirik cewek-cewek seksi sejenis Brenda. Benar-benar menyebalkan saat tau Joe ingin putus denganku untuk kencan dengan Brenda. Cukup membuktikan bahwa ternyata selera Joe hanyalah sekelas Brenda saja.

“Ah, ya sudah lah kalau kamu memang tidak ingin membahasnya. Lagi pula aku hanya ingin memastikan bahwa kamu akan baik-baik saja datang ke acara reuni besok,” jawab Renata kemudian kembali membaca bukunya. Kalau kamu sudah tau kalau aku tidak ingin membicarakannya lalu kenapa masih tanya? Dasar, kamu pasti sengaja.

“Lalu kamu sendiri besok apa yang akan kamu lakukan jika melihat Fritz juga ada di sana?” balasku mengingatkan Renata tentang mantannya. Skak Match! Kamu pikir aku tidak bisa membalasnya?

“Entahlah. Mungkin aku akan pura-pura tidak melihatnya.”

“Jangan konyol. Kamu tidak akan sempat melakukannya. Aku masih ingat terakhir kali kamu nyaris menangis di depan orang banyak saat bertemu dengannya.”

“Jangan mengingatkanku pada hari itu. Lagi pula itu sudah dua tahun yang lalu. Aku tidak akan melakukannya lagi,” jawabnya serius tapi lebih terdengar sedang mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

“Yah, aku harap juga begitu. Atau kamu akan mempermalukan dirimu sendiri di depan teman-teman lamamu.”

Pintu kamar Renata terbuka, sejurus kemudian muncullah dua cewek-cewek keren menerobos masuk dengan gaya cerewetnya. Itu Emile dan Becca, dua temanku yang meneruskan kuliahnya di fashion design. Penampilan mereka memang keren dan modis. Emile sudah magang di salah satu perusahaan fashion di kota ini. Sedangkan Becca berencana akan merintis sendiri bisnis fashionnya. Tentu saja dia bisa, Ayah Becca adalah pemilik salah satu department store terbesar di kota ini dan memiliki banyak cabang di kota-kota lain. Mereka lah yang selalu merancang busana kami jika ada events yang harus kami hadiri.

Hay, girls! Persiapkan dirimu untuk besok,” seru Emile.

“Aku bawakan beberapa aksesoris yang mungkin bisa kita gunakan besok. Kalian bisa pilih yang sesuai dengan kostum kalian,” tambah Becca meletakkan satu box besar berisi aksesoris dan alat-alat make up-nya.

“Wah, kalian memang benar-benar berlebihan membawa ini ke rumahku!” Renata pura-pura memprotesnya.

“Jangan protes, sayang. Tunjukkan padaku mana yang akan kalian pakai besok di acara reuni,” sahut Becca sambil membuka lemari pakaian Renata.

“Aku akan pakai gaun merah itu. sudah setahun yang lalu aku beli tapi belum sempat aku pakai,” jawab Renata menunjuk ke sebuah gaun merah berpotongan rendah tiruan merek ternama (lagian siapa yang mampu membeli merek aslinya) dan pasti seksi jika dipakai oleh Renata.

“Cantik sekali. Aku punya aksesoris yang cocok untuk gaun ini,” kata Becca lagi. “Lalu mana yang akan kau pakai, Stevie?” Ia kemudian melihat ke arahku. Aku mengangkat bahu menunjukkan ekspresi aku belum memilih pakaianku untuk besok. Becca sudah menebaknya. Dari dulu aku selalu kesulitan untuk memilih gaun pestaku sendiri. Menurutku gaun pesta tidak akan mempengaruhi kapasitas otak seseorang yang memakainya, jadi tidak terlalu penting untuk dipersiapkan secara detail. “Sayang, kamu selalu saja cuek dengan hal-hal seperti ini. Memang pakaian tidak akan mempengaruhi sejenius apa otakmu, tapi setidaknya itu mempengaruhi wibawamu di depan orang. Seorang wanita itu harus anggun agar harga dirimu bisa naik beberapa level.”

“Aih, memangnya ada harga diri bisa diukur dari pakaian?” protesku.

“Ck, anak ini. Seorang putri mana boleh pakai pakaian compang-camping di depan rakyatnya. Kalau tidak dia pasti tidak akan dihormati oleh rakyatnya sendiri,” terus Emile mendukung pernyataan Becca. “Baiklah aku akan mencarikannya untukmu.” Kemudian dia mengorak-abrik isi lemari Renata untuk menemukan pakaian yang cocok untukku. Kebetulan aku dan Renata memiliki postur tubuh yang hampir sama. Tinggiku 165 cm dan Renata 168 cm. Jadi kami sering saling meminjam pakaian. Itulah bonus yang aku dapat karena memiliki Renata sebagai sahabatku.

Beberapa saat kemudian Emile membawakan aku dua buah gaun yang lumayan seksi. Yang satu berwarna biru dengan punggung terbuka dan yang satu berwarna hitam yang potongan lehernya sedikit rendah. Tidak norak dan kelihatan sedikit mahal. “Cobalah mana yang akan kamu pakai,” kata Emile padaku. Aku mengepaskannya ke badanku. Sepertinya aku lebih suka yang hitam, paling tidak agak lebih tertutup dibandingkan dengan yang biru.

“Aku ambil yang hitam,” kataku pada Emile.

“Bagus lah, aku sudah bisa membayangkan dandanan yang seperti apa yang akan kamu pakai besok,” jawabnya sambil sedikit berjingkrak. Entah apa yang membuatnya begitu gembira saat mendandani orang lain. “Sepertinya kita berempat tidak akan memakai warna yang sama kali ini. Aku akan pakai warna putih, Becca coklat, kamu hitam dan Renata merah. Benar-benar perpaduan yang bagus,” tambahnya memuji entah apa.

**

Rasanya sama sekali berbeda dengan acara-acara reuni sebelumnya. Karena diadakan di hotel mewah, maka para alumni diharapkan memakai pakaian yang formal. Begini lah dandananku malam ini. seperti bukan aku yang biasanya. Becca dan Emile benar-benar merubahku sama sekali. Tetap saja aku tidak terlalu percaya diri mengenakan gaun ini. Bahkan aku masih belum tau mau berbuat apa saat akan turun dari mobil Becca. Yang ku harapkan adalah aku tidak berjalan aneh saat turun nanti.

“Wah, mewah juga acaranya. Lebih tepat ini disebut pesta dansa daripada acara temu alumni,” bisikku pada Renata.

“Tentu saja. Lulusan St. Peter kan sebagian besar anak-anak konglomerat dan banyak juga yang sudah bekerja di perusahaan besar dan memiliki posisi yang penting. Kita beruntung bisa ada di tengah-tengah mereka sekarang,” jawab Renata terdengar bangga.

Aku juga akan sebangga itu berada disini jika tidak ada Lorena, si penyihir yang bermusuhan denganku sejak masih kelas satu sampai kami lulus. Sudah bisa ditebak saat dia melihatku maka dia akan segera mendekat dan mengata-ngataiku lagi. “Hello, teman. Selamat datang disini. Bagaimana kabarmu?” tanyanya sok ramah. Atau memang Lorena sudah berubah menjadi peri yang baik hati? “Namamu Stevie si tukang kentut kan?” Ternyata dia masih Lorena yang benar-benar menyebalkan dan merupakan nightmare-ku.

Ya, Lorena memanggilku Stevie si tukang kentut gara-gara kejadian di kelas satu dulu. Waktu itu aku sedang sakit perut di sekolah dan terpaksa aku masuk ke kamar mandi lantai satu yang agak rame, karena kamar mandi disitu lebih dekat dari tempatku berdiri. Di dalam aku kentut dengan keras. Kupikir tidak ada orang, ternyata ada dua orang cewek yang sedang berdandan dan ngobrol tidak bermutu di sana. Salah satu dari mereka, yaitu Lorena bertanya siapa yang ada di dalam. Dengan bodohnya aku menyahut, “Stevie Olivia.” Tamat sudah riwayat! Mereka tertawa kencang dan dalam sekejab aku menjadi terkenal tanpa audisi apapun di sekolah sebagai Stevie si Tukang Kentut. Sejak saat itu pula dia tidak berhenti menggangguku. Dia berhasil merusak hari-hariku selama di sekolah menengah.

“Aku tidak ingin merusak gaunmu yang kelihatannya mahal itu, Lorena. Jadi tinggalkan aku sendiri dan silahkan nikmati acaranya saja,” kataku malas meladeninya.

“Lihat siapa yang bicara, Eva. Sepertinya dia sudah melupakan kita,” kata Lorena tidak mau kalah. Di sampingnya ada satu cewek lagi yang nggak secantik Lorena, lebih tepatnya dia seperti baby sitter-nya Lorena, Eva Aurelia. Dia juga sama-sama menyebalkan seperti Lorena. “Akan aku bantu ingatkan memori Stevie yang hilang. Apa kamu masih suka kentut, Stevie?” ejeknya kemudian mereka berdua sama-sama tertawa.

“Apa ada yang lucu?” sela suara khas bariton di belakangku.

“Ini si Stevie lucu sekali. Hobi kentutnya benar-benar aneh!” ujar Lorena sukses mempermalukan aku. Joe! Itu tadi Joe yang berbicara? Aduh! Kenapa aku harus ketemu sama dia di situasi yang seperti ini?! Lengkap sudah keterpurukanku.

“Paling tidak bau kentutnya sebentar juga sudah hilang. Sementara bau busukmu dari dulu nggak hilang-hilang,” kata Joe sekali lagi.

“Ah, sudahlah. Eva, ayo pergi. Kalian berdua benar-benar punya chemistry yang kuat meskipun sudah lama putus,” kata Lorena yang sudah jengkel dibuat Joe. Mereka berdua pergi menelan kecewa tidak bisa mem-bully diriku. Paling tidak satu masalah terlewati. Tapi sekarang masih ada satu lagi masalah, Joe!

“Aku harap dia tidak terlalu membuatmu jengkel malam ini,” katanya sambil berjalan mendekatiku. “Apa kabar setelah sekian lama?”

“Baik,” jawabku singkat. Aku masih belum bisa menerima tatapan matanya yang masih sama seperti dulu. Damai, bening, tapi beracun. Tentu saja beracun setelah apa yang dia lakukan padaku. Terbukti dia sedikit menyesal meninggalkanku waktu itu. tapi belum ada keberaniannya untuk lebih dekat lagi denganku. Asal tau saja aku juga tidak mau dekat-dekat sama dia. Kalau seandainya tadi dia tidak membelaku di depan Lorena, maka aku tidak akan menyapanya. Aku sudah malas berurusan dengannya lagi. Lebih baik aku memelihara ikan mas saja di rumah.

“Sepertinya kau datang sendiri malam ini?” dia melihat ke sekitarku. Aku tau maksudnya adalah aku tidak datang dengan pasanganku. Dia tau benar kalau aku bukan tipe orang yang bisa dengan mudah melupakan kenangan dan segera menjalin dengan hubungan dengan yang lainnya. Dengan menanyakan hal itu dia pasti ingin menertawaiku karena setelah putus dengannya, aku belum bisa mendapatkan penggantinya. Aku tidak ingin mengingkari kalau Joe adalah cowok yang baik dan perhatian. Tapi bagiku dia sama saja dengan cowok lebay ber-IQ jongkok yang mau menukar pacarnya dengan piala bergilir hanya untuk sebuah kesenangan sesaat.

“Aku datang bersama dengan Renata, Emile dan Becca kok.”

“Dari dulu temanmu hanya mereka saja. Kenapa tidak cari yang lain?”

“Apa? Cari yang lain? Aku punya banyak teman, tapi tidak semua bisa menjadi sahabat karib yang bisa menghargai dan menerima privasi pribadiku,” jawabku nggak percaya dengan pertanyaannya itu. “Jadi buat apa mencari yang lain kalau mereka saja sudah cukup? Dan yang paling penting mereka nggak pernah meninggalkanku dalam posisi apapun hanya untuk mendapatkan sesuatu yang lebih menyenangkan.”

“Stevie, sebenarnya aku ingin minta maaf padamu,” kata Joe.

“Aku rasa kamu nggak punya kesalahan yang harus dimaafkan,” jawabku datar.

“Aku yakin kamu pasti masih kecewa dengan keputusanku yang meninggalkanmu waktu itu,” ujarnya. “Aku benar-benar menyesal karena aku sudah sangat bodoh mengkhianatimu dan lebih memilih Brenda. Aku sungguh menyesal. Aku sebenarnya tau kalau Brenda sama sekali tidak sebanding denganmu. Aku minta maaf karena melepaskanmu.”

Sepertinya dia serius meminta maaf. Hanya saja aku masih belum bisa begitu saja menata emosiku di depannya. Tentu aku sudah memaafkannya, tapi bukan berarti aku sudah bisa makan dalam satu meja dengan dia. Lagi pula kalau dia sudah tau Brenda tidak ada apa-apanya dibandingkan denganku, lalu kenapa dia masih memilih cewek gatel itu? Meskipun aku sangat penasaran ingin menanyakan alasannya, tapi aku tidak mau membuka luka lama dengan mengetahui jawabannya. Ku pikir sudah cukup dia merasakan pembalasan yang setimpal. Brenda mencampakkannya, dan dia memiliki beban terhadapku, meskipun sudah minta maaf tentu saja aku tau dia belum bisa merasa nyaman di sekitarku. Rasakan saja.

“Aku tidak memintamu untuk kembali padaku lagi. Meskipun aku juga mengharapkannya. Tapi apa aku nggak bisa dekat denganmu lagi?”

“Aku nggak tau, Joe. Aku sudah memaafkanmu sejak lama. Tapi jika teringat lagi masa lalu itu, aku benar-benar nggak bisa menghadapimu. Jadi biarlah berjalan begini saja, apa pun ending-nya,” jawabku tidak bermaksud menyakiti Joe. Hanya saja itu lah yang aku rasakan saat ini.

“Baiklah, mungkin itu memang sudah seharusnya ku dapatkan. Tapi dunia terus berubah, Stevie. Dan aku yakin kamu juga akan berubah,” katanya setengah menunduk. Paling tidak aku tau bagaimana rasanya diabaikan. “Terimakasih sudah mau mengobrol denganku. I really miss you, Stevie. Enjoy the .party.”

Aku benar-benar nggak bisa berpikir. Aku kasihan pada Joe, tapi aku nggak bias bohong kalau aku masih sangat kecewa dengan sikapnya. Aku juga tidak merencanakan untuk membenci dia selamanya. Aku hanya butuh waktu untuk bisa menghadapinya. Sangat sulit melupakan seseorang yang memberimu banyak sekali hal untuk diingat.


**

To be continued.