Si Popeye Suka Makan Bayam

"I AM JUST A LITTLE GIRL WHO NEVER STOP DREAMING"

September 08, 2014

KU KAGUMI KAU DALAM SECANGKIR KOPI #2

“Besok ada reuni SMA. Sepertinya Joe juga akan ada disana,” kata Renata yang sedang membaca buku di tempat tidurnya. Aku diam saja tidak menjawab sambil terus mengerjakan tugas kampusku. Aku sama sekali tidak tertarik untuk membahasnya. “Hei, aku sedang berbicara padamu,” protes Renata meminta pendapatku.

Aku menoleh ke arahnya dengan wajah datar. “Apa aku perlu berpendapat? St. Peter kan juga tempat dia dulu sekolah. Jadi biar saja dia datang kesana.” Aku berpura-pura tidak peduli tentang hal itu meskipun ada sedikit rasa cemasku bagaimana aku harus bersikap di depan mantanku itu. Kalau diingat bagaimana  kami mengakhiri hubungan waktu itu aku benar-benar merasa ingin muntah. Kami pacaran selama tiga tahun, kemudian dia selingkuh dengan teman sekolahku, namanya Brenda. Aku tidak akan begitu kecewa jika yang dikencaninya adalah cewek yang lebih baik dariku, setidaknya dalam segi penampilan. Tapi Brenda sama sekali tidak selevel denganku. Apa yang bisa dibanggakannya selain gaya centilnya yang norak dan kapasitas percaya dirinya yang berlebihan. Paling parahnya dia itu sejenis piala bergilir yang wajib dimiliki oleh cowok-cowok lebay yang berpikiran ngeres dan hobi ngelirik cewek-cewek seksi sejenis Brenda. Benar-benar menyebalkan saat tau Joe ingin putus denganku untuk kencan dengan Brenda. Cukup membuktikan bahwa ternyata selera Joe hanyalah sekelas Brenda saja.

“Ah, ya sudah lah kalau kamu memang tidak ingin membahasnya. Lagi pula aku hanya ingin memastikan bahwa kamu akan baik-baik saja datang ke acara reuni besok,” jawab Renata kemudian kembali membaca bukunya. Kalau kamu sudah tau kalau aku tidak ingin membicarakannya lalu kenapa masih tanya? Dasar, kamu pasti sengaja.

“Lalu kamu sendiri besok apa yang akan kamu lakukan jika melihat Fritz juga ada di sana?” balasku mengingatkan Renata tentang mantannya. Skak Match! Kamu pikir aku tidak bisa membalasnya?

“Entahlah. Mungkin aku akan pura-pura tidak melihatnya.”

“Jangan konyol. Kamu tidak akan sempat melakukannya. Aku masih ingat terakhir kali kamu nyaris menangis di depan orang banyak saat bertemu dengannya.”

“Jangan mengingatkanku pada hari itu. Lagi pula itu sudah dua tahun yang lalu. Aku tidak akan melakukannya lagi,” jawabnya serius tapi lebih terdengar sedang mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

“Yah, aku harap juga begitu. Atau kamu akan mempermalukan dirimu sendiri di depan teman-teman lamamu.”

Pintu kamar Renata terbuka, sejurus kemudian muncullah dua cewek-cewek keren menerobos masuk dengan gaya cerewetnya. Itu Emile dan Becca, dua temanku yang meneruskan kuliahnya di fashion design. Penampilan mereka memang keren dan modis. Emile sudah magang di salah satu perusahaan fashion di kota ini. Sedangkan Becca berencana akan merintis sendiri bisnis fashionnya. Tentu saja dia bisa, Ayah Becca adalah pemilik salah satu department store terbesar di kota ini dan memiliki banyak cabang di kota-kota lain. Mereka lah yang selalu merancang busana kami jika ada events yang harus kami hadiri.

Hay, girls! Persiapkan dirimu untuk besok,” seru Emile.

“Aku bawakan beberapa aksesoris yang mungkin bisa kita gunakan besok. Kalian bisa pilih yang sesuai dengan kostum kalian,” tambah Becca meletakkan satu box besar berisi aksesoris dan alat-alat make up-nya.

“Wah, kalian memang benar-benar berlebihan membawa ini ke rumahku!” Renata pura-pura memprotesnya.

“Jangan protes, sayang. Tunjukkan padaku mana yang akan kalian pakai besok di acara reuni,” sahut Becca sambil membuka lemari pakaian Renata.

“Aku akan pakai gaun merah itu. sudah setahun yang lalu aku beli tapi belum sempat aku pakai,” jawab Renata menunjuk ke sebuah gaun merah berpotongan rendah tiruan merek ternama (lagian siapa yang mampu membeli merek aslinya) dan pasti seksi jika dipakai oleh Renata.

“Cantik sekali. Aku punya aksesoris yang cocok untuk gaun ini,” kata Becca lagi. “Lalu mana yang akan kau pakai, Stevie?” Ia kemudian melihat ke arahku. Aku mengangkat bahu menunjukkan ekspresi aku belum memilih pakaianku untuk besok. Becca sudah menebaknya. Dari dulu aku selalu kesulitan untuk memilih gaun pestaku sendiri. Menurutku gaun pesta tidak akan mempengaruhi kapasitas otak seseorang yang memakainya, jadi tidak terlalu penting untuk dipersiapkan secara detail. “Sayang, kamu selalu saja cuek dengan hal-hal seperti ini. Memang pakaian tidak akan mempengaruhi sejenius apa otakmu, tapi setidaknya itu mempengaruhi wibawamu di depan orang. Seorang wanita itu harus anggun agar harga dirimu bisa naik beberapa level.”

“Aih, memangnya ada harga diri bisa diukur dari pakaian?” protesku.

“Ck, anak ini. Seorang putri mana boleh pakai pakaian compang-camping di depan rakyatnya. Kalau tidak dia pasti tidak akan dihormati oleh rakyatnya sendiri,” terus Emile mendukung pernyataan Becca. “Baiklah aku akan mencarikannya untukmu.” Kemudian dia mengorak-abrik isi lemari Renata untuk menemukan pakaian yang cocok untukku. Kebetulan aku dan Renata memiliki postur tubuh yang hampir sama. Tinggiku 165 cm dan Renata 168 cm. Jadi kami sering saling meminjam pakaian. Itulah bonus yang aku dapat karena memiliki Renata sebagai sahabatku.

Beberapa saat kemudian Emile membawakan aku dua buah gaun yang lumayan seksi. Yang satu berwarna biru dengan punggung terbuka dan yang satu berwarna hitam yang potongan lehernya sedikit rendah. Tidak norak dan kelihatan sedikit mahal. “Cobalah mana yang akan kamu pakai,” kata Emile padaku. Aku mengepaskannya ke badanku. Sepertinya aku lebih suka yang hitam, paling tidak agak lebih tertutup dibandingkan dengan yang biru.

“Aku ambil yang hitam,” kataku pada Emile.

“Bagus lah, aku sudah bisa membayangkan dandanan yang seperti apa yang akan kamu pakai besok,” jawabnya sambil sedikit berjingkrak. Entah apa yang membuatnya begitu gembira saat mendandani orang lain. “Sepertinya kita berempat tidak akan memakai warna yang sama kali ini. Aku akan pakai warna putih, Becca coklat, kamu hitam dan Renata merah. Benar-benar perpaduan yang bagus,” tambahnya memuji entah apa.

**

Rasanya sama sekali berbeda dengan acara-acara reuni sebelumnya. Karena diadakan di hotel mewah, maka para alumni diharapkan memakai pakaian yang formal. Begini lah dandananku malam ini. seperti bukan aku yang biasanya. Becca dan Emile benar-benar merubahku sama sekali. Tetap saja aku tidak terlalu percaya diri mengenakan gaun ini. Bahkan aku masih belum tau mau berbuat apa saat akan turun dari mobil Becca. Yang ku harapkan adalah aku tidak berjalan aneh saat turun nanti.

“Wah, mewah juga acaranya. Lebih tepat ini disebut pesta dansa daripada acara temu alumni,” bisikku pada Renata.

“Tentu saja. Lulusan St. Peter kan sebagian besar anak-anak konglomerat dan banyak juga yang sudah bekerja di perusahaan besar dan memiliki posisi yang penting. Kita beruntung bisa ada di tengah-tengah mereka sekarang,” jawab Renata terdengar bangga.

Aku juga akan sebangga itu berada disini jika tidak ada Lorena, si penyihir yang bermusuhan denganku sejak masih kelas satu sampai kami lulus. Sudah bisa ditebak saat dia melihatku maka dia akan segera mendekat dan mengata-ngataiku lagi. “Hello, teman. Selamat datang disini. Bagaimana kabarmu?” tanyanya sok ramah. Atau memang Lorena sudah berubah menjadi peri yang baik hati? “Namamu Stevie si tukang kentut kan?” Ternyata dia masih Lorena yang benar-benar menyebalkan dan merupakan nightmare-ku.

Ya, Lorena memanggilku Stevie si tukang kentut gara-gara kejadian di kelas satu dulu. Waktu itu aku sedang sakit perut di sekolah dan terpaksa aku masuk ke kamar mandi lantai satu yang agak rame, karena kamar mandi disitu lebih dekat dari tempatku berdiri. Di dalam aku kentut dengan keras. Kupikir tidak ada orang, ternyata ada dua orang cewek yang sedang berdandan dan ngobrol tidak bermutu di sana. Salah satu dari mereka, yaitu Lorena bertanya siapa yang ada di dalam. Dengan bodohnya aku menyahut, “Stevie Olivia.” Tamat sudah riwayat! Mereka tertawa kencang dan dalam sekejab aku menjadi terkenal tanpa audisi apapun di sekolah sebagai Stevie si Tukang Kentut. Sejak saat itu pula dia tidak berhenti menggangguku. Dia berhasil merusak hari-hariku selama di sekolah menengah.

“Aku tidak ingin merusak gaunmu yang kelihatannya mahal itu, Lorena. Jadi tinggalkan aku sendiri dan silahkan nikmati acaranya saja,” kataku malas meladeninya.

“Lihat siapa yang bicara, Eva. Sepertinya dia sudah melupakan kita,” kata Lorena tidak mau kalah. Di sampingnya ada satu cewek lagi yang nggak secantik Lorena, lebih tepatnya dia seperti baby sitter-nya Lorena, Eva Aurelia. Dia juga sama-sama menyebalkan seperti Lorena. “Akan aku bantu ingatkan memori Stevie yang hilang. Apa kamu masih suka kentut, Stevie?” ejeknya kemudian mereka berdua sama-sama tertawa.

“Apa ada yang lucu?” sela suara khas bariton di belakangku.

“Ini si Stevie lucu sekali. Hobi kentutnya benar-benar aneh!” ujar Lorena sukses mempermalukan aku. Joe! Itu tadi Joe yang berbicara? Aduh! Kenapa aku harus ketemu sama dia di situasi yang seperti ini?! Lengkap sudah keterpurukanku.

“Paling tidak bau kentutnya sebentar juga sudah hilang. Sementara bau busukmu dari dulu nggak hilang-hilang,” kata Joe sekali lagi.

“Ah, sudahlah. Eva, ayo pergi. Kalian berdua benar-benar punya chemistry yang kuat meskipun sudah lama putus,” kata Lorena yang sudah jengkel dibuat Joe. Mereka berdua pergi menelan kecewa tidak bisa mem-bully diriku. Paling tidak satu masalah terlewati. Tapi sekarang masih ada satu lagi masalah, Joe!

“Aku harap dia tidak terlalu membuatmu jengkel malam ini,” katanya sambil berjalan mendekatiku. “Apa kabar setelah sekian lama?”

“Baik,” jawabku singkat. Aku masih belum bisa menerima tatapan matanya yang masih sama seperti dulu. Damai, bening, tapi beracun. Tentu saja beracun setelah apa yang dia lakukan padaku. Terbukti dia sedikit menyesal meninggalkanku waktu itu. tapi belum ada keberaniannya untuk lebih dekat lagi denganku. Asal tau saja aku juga tidak mau dekat-dekat sama dia. Kalau seandainya tadi dia tidak membelaku di depan Lorena, maka aku tidak akan menyapanya. Aku sudah malas berurusan dengannya lagi. Lebih baik aku memelihara ikan mas saja di rumah.

“Sepertinya kau datang sendiri malam ini?” dia melihat ke sekitarku. Aku tau maksudnya adalah aku tidak datang dengan pasanganku. Dia tau benar kalau aku bukan tipe orang yang bisa dengan mudah melupakan kenangan dan segera menjalin dengan hubungan dengan yang lainnya. Dengan menanyakan hal itu dia pasti ingin menertawaiku karena setelah putus dengannya, aku belum bisa mendapatkan penggantinya. Aku tidak ingin mengingkari kalau Joe adalah cowok yang baik dan perhatian. Tapi bagiku dia sama saja dengan cowok lebay ber-IQ jongkok yang mau menukar pacarnya dengan piala bergilir hanya untuk sebuah kesenangan sesaat.

“Aku datang bersama dengan Renata, Emile dan Becca kok.”

“Dari dulu temanmu hanya mereka saja. Kenapa tidak cari yang lain?”

“Apa? Cari yang lain? Aku punya banyak teman, tapi tidak semua bisa menjadi sahabat karib yang bisa menghargai dan menerima privasi pribadiku,” jawabku nggak percaya dengan pertanyaannya itu. “Jadi buat apa mencari yang lain kalau mereka saja sudah cukup? Dan yang paling penting mereka nggak pernah meninggalkanku dalam posisi apapun hanya untuk mendapatkan sesuatu yang lebih menyenangkan.”

“Stevie, sebenarnya aku ingin minta maaf padamu,” kata Joe.

“Aku rasa kamu nggak punya kesalahan yang harus dimaafkan,” jawabku datar.

“Aku yakin kamu pasti masih kecewa dengan keputusanku yang meninggalkanmu waktu itu,” ujarnya. “Aku benar-benar menyesal karena aku sudah sangat bodoh mengkhianatimu dan lebih memilih Brenda. Aku sungguh menyesal. Aku sebenarnya tau kalau Brenda sama sekali tidak sebanding denganmu. Aku minta maaf karena melepaskanmu.”

Sepertinya dia serius meminta maaf. Hanya saja aku masih belum bisa begitu saja menata emosiku di depannya. Tentu aku sudah memaafkannya, tapi bukan berarti aku sudah bisa makan dalam satu meja dengan dia. Lagi pula kalau dia sudah tau Brenda tidak ada apa-apanya dibandingkan denganku, lalu kenapa dia masih memilih cewek gatel itu? Meskipun aku sangat penasaran ingin menanyakan alasannya, tapi aku tidak mau membuka luka lama dengan mengetahui jawabannya. Ku pikir sudah cukup dia merasakan pembalasan yang setimpal. Brenda mencampakkannya, dan dia memiliki beban terhadapku, meskipun sudah minta maaf tentu saja aku tau dia belum bisa merasa nyaman di sekitarku. Rasakan saja.

“Aku tidak memintamu untuk kembali padaku lagi. Meskipun aku juga mengharapkannya. Tapi apa aku nggak bisa dekat denganmu lagi?”

“Aku nggak tau, Joe. Aku sudah memaafkanmu sejak lama. Tapi jika teringat lagi masa lalu itu, aku benar-benar nggak bisa menghadapimu. Jadi biarlah berjalan begini saja, apa pun ending-nya,” jawabku tidak bermaksud menyakiti Joe. Hanya saja itu lah yang aku rasakan saat ini.

“Baiklah, mungkin itu memang sudah seharusnya ku dapatkan. Tapi dunia terus berubah, Stevie. Dan aku yakin kamu juga akan berubah,” katanya setengah menunduk. Paling tidak aku tau bagaimana rasanya diabaikan. “Terimakasih sudah mau mengobrol denganku. I really miss you, Stevie. Enjoy the .party.”

Aku benar-benar nggak bisa berpikir. Aku kasihan pada Joe, tapi aku nggak bias bohong kalau aku masih sangat kecewa dengan sikapnya. Aku juga tidak merencanakan untuk membenci dia selamanya. Aku hanya butuh waktu untuk bisa menghadapinya. Sangat sulit melupakan seseorang yang memberimu banyak sekali hal untuk diingat.


**

To be continued.

No comments:

Post a Comment