“Besok
ada reuni SMA. Sepertinya Joe juga akan ada disana,” kata Renata yang sedang
membaca buku di tempat tidurnya. Aku diam saja tidak menjawab sambil terus
mengerjakan tugas kampusku. Aku sama sekali tidak tertarik untuk membahasnya.
“Hei, aku sedang berbicara padamu,” protes Renata meminta pendapatku.
Aku
menoleh ke arahnya dengan wajah datar. “Apa aku perlu berpendapat? St. Peter
kan juga tempat dia dulu sekolah. Jadi biar saja dia datang kesana.” Aku
berpura-pura tidak peduli tentang hal itu meskipun ada sedikit rasa cemasku
bagaimana aku harus bersikap di depan mantanku itu. Kalau diingat
bagaimana kami mengakhiri hubungan waktu
itu aku benar-benar merasa ingin muntah. Kami pacaran selama tiga tahun,
kemudian dia selingkuh dengan teman sekolahku, namanya Brenda. Aku tidak akan
begitu kecewa jika yang dikencaninya adalah cewek yang lebih baik dariku,
setidaknya dalam segi penampilan. Tapi Brenda sama sekali tidak selevel denganku.
Apa yang bisa dibanggakannya selain gaya centilnya yang norak dan kapasitas
percaya dirinya yang berlebihan. Paling parahnya dia itu sejenis piala bergilir
yang wajib dimiliki oleh cowok-cowok lebay yang berpikiran ngeres dan hobi
ngelirik cewek-cewek seksi sejenis Brenda. Benar-benar menyebalkan saat tau Joe
ingin putus denganku untuk kencan dengan Brenda. Cukup membuktikan bahwa
ternyata selera Joe hanyalah sekelas Brenda saja.
“Ah,
ya sudah lah kalau kamu memang tidak ingin membahasnya. Lagi pula aku hanya
ingin memastikan bahwa kamu akan baik-baik saja datang ke acara reuni besok,”
jawab Renata kemudian kembali membaca bukunya. Kalau kamu sudah tau kalau aku
tidak ingin membicarakannya lalu kenapa masih tanya? Dasar, kamu pasti sengaja.
“Lalu
kamu sendiri besok apa yang akan kamu lakukan jika melihat Fritz juga ada di
sana?” balasku mengingatkan Renata tentang mantannya. Skak Match! Kamu pikir aku tidak bisa membalasnya?
“Entahlah.
Mungkin aku akan pura-pura tidak melihatnya.”
“Jangan
konyol. Kamu tidak akan sempat melakukannya. Aku masih ingat terakhir kali kamu
nyaris menangis di depan orang banyak saat bertemu dengannya.”
“Jangan
mengingatkanku pada hari itu. Lagi pula itu sudah dua tahun yang lalu. Aku
tidak akan melakukannya lagi,” jawabnya serius tapi lebih terdengar sedang
mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
“Yah,
aku harap juga begitu. Atau kamu akan mempermalukan dirimu sendiri di depan
teman-teman lamamu.”
Pintu
kamar Renata terbuka, sejurus kemudian muncullah dua cewek-cewek keren
menerobos masuk dengan gaya cerewetnya. Itu Emile dan Becca, dua temanku yang
meneruskan kuliahnya di fashion design.
Penampilan mereka memang keren dan modis. Emile sudah magang di salah satu perusahaan
fashion di kota ini. Sedangkan Becca berencana akan merintis sendiri bisnis
fashionnya. Tentu saja dia bisa, Ayah Becca adalah pemilik salah satu department store terbesar di kota ini
dan memiliki banyak cabang di kota-kota lain. Mereka lah yang selalu merancang
busana kami jika ada events yang
harus kami hadiri.
“Hay, girls! Persiapkan dirimu untuk
besok,” seru Emile.
“Aku
bawakan beberapa aksesoris yang mungkin bisa kita gunakan besok. Kalian bisa
pilih yang sesuai dengan kostum kalian,” tambah Becca meletakkan satu box besar
berisi aksesoris dan alat-alat make up-nya.
“Wah,
kalian memang benar-benar berlebihan membawa ini ke rumahku!” Renata pura-pura
memprotesnya.
“Jangan
protes, sayang. Tunjukkan padaku mana yang akan kalian pakai besok di acara
reuni,” sahut Becca sambil membuka lemari pakaian Renata.
“Aku
akan pakai gaun merah itu. sudah setahun yang lalu aku beli tapi belum sempat
aku pakai,” jawab Renata menunjuk ke sebuah gaun merah berpotongan rendah
tiruan merek ternama (lagian siapa yang mampu membeli merek aslinya) dan pasti
seksi jika dipakai oleh Renata.
“Cantik
sekali. Aku punya aksesoris yang cocok untuk gaun ini,” kata Becca lagi. “Lalu
mana yang akan kau pakai, Stevie?” Ia kemudian melihat ke arahku. Aku
mengangkat bahu menunjukkan ekspresi aku belum memilih pakaianku untuk besok.
Becca sudah menebaknya. Dari dulu aku selalu kesulitan untuk memilih gaun
pestaku sendiri. Menurutku gaun pesta tidak akan mempengaruhi kapasitas otak
seseorang yang memakainya, jadi tidak terlalu penting untuk dipersiapkan secara
detail. “Sayang, kamu selalu saja cuek dengan hal-hal seperti ini. Memang
pakaian tidak akan mempengaruhi sejenius apa otakmu, tapi setidaknya itu
mempengaruhi wibawamu di depan orang. Seorang wanita itu harus anggun agar
harga dirimu bisa naik beberapa level.”
“Aih,
memangnya ada harga diri bisa diukur dari pakaian?” protesku.
“Ck,
anak ini. Seorang putri mana boleh pakai pakaian compang-camping di depan
rakyatnya. Kalau tidak dia pasti tidak akan dihormati oleh rakyatnya sendiri,”
terus Emile mendukung pernyataan Becca. “Baiklah aku akan mencarikannya
untukmu.” Kemudian dia mengorak-abrik isi lemari Renata untuk menemukan pakaian
yang cocok untukku. Kebetulan aku dan Renata memiliki postur tubuh yang hampir
sama. Tinggiku 165 cm dan Renata 168 cm. Jadi kami sering saling meminjam
pakaian. Itulah bonus yang aku dapat karena memiliki Renata sebagai sahabatku.
Beberapa
saat kemudian Emile membawakan aku dua buah gaun yang lumayan seksi. Yang satu
berwarna biru dengan punggung terbuka dan yang satu berwarna hitam yang
potongan lehernya sedikit rendah. Tidak norak dan kelihatan sedikit mahal.
“Cobalah mana yang akan kamu pakai,” kata Emile padaku. Aku mengepaskannya ke
badanku. Sepertinya aku lebih suka yang hitam, paling tidak agak lebih tertutup
dibandingkan dengan yang biru.
“Aku
ambil yang hitam,” kataku pada Emile.
“Bagus
lah, aku sudah bisa membayangkan dandanan yang seperti apa yang akan kamu pakai
besok,” jawabnya sambil sedikit berjingkrak. Entah apa yang membuatnya begitu
gembira saat mendandani orang lain. “Sepertinya kita berempat tidak akan
memakai warna yang sama kali ini. Aku akan pakai warna putih, Becca coklat,
kamu hitam dan Renata merah. Benar-benar perpaduan yang bagus,” tambahnya
memuji entah apa.
**
Rasanya
sama sekali berbeda dengan acara-acara reuni sebelumnya. Karena diadakan di
hotel mewah, maka para alumni diharapkan memakai pakaian yang formal. Begini
lah dandananku malam ini. seperti bukan aku yang biasanya. Becca dan Emile
benar-benar merubahku sama sekali. Tetap saja aku tidak terlalu percaya diri
mengenakan gaun ini. Bahkan aku masih belum tau mau berbuat apa saat akan turun
dari mobil Becca. Yang ku harapkan adalah aku tidak berjalan aneh saat turun
nanti.
“Wah,
mewah juga acaranya. Lebih tepat ini disebut pesta dansa daripada acara temu
alumni,” bisikku pada Renata.
“Tentu
saja. Lulusan St. Peter kan sebagian besar anak-anak konglomerat dan banyak
juga yang sudah bekerja di perusahaan besar dan memiliki posisi yang penting.
Kita beruntung bisa ada di tengah-tengah mereka sekarang,” jawab Renata
terdengar bangga.
Aku
juga akan sebangga itu berada disini jika tidak ada Lorena, si penyihir yang
bermusuhan denganku sejak masih kelas satu sampai kami lulus. Sudah bisa
ditebak saat dia melihatku maka dia akan segera mendekat dan mengata-ngataiku
lagi. “Hello, teman. Selamat datang disini. Bagaimana kabarmu?” tanyanya sok
ramah. Atau memang Lorena sudah berubah menjadi peri yang baik hati? “Namamu
Stevie si tukang kentut kan?” Ternyata dia masih Lorena yang benar-benar menyebalkan
dan merupakan nightmare-ku.
Ya,
Lorena memanggilku Stevie si tukang kentut gara-gara kejadian di kelas satu
dulu. Waktu itu aku sedang sakit perut di sekolah dan terpaksa aku masuk ke
kamar mandi lantai satu yang agak rame, karena kamar mandi disitu lebih dekat
dari tempatku berdiri. Di dalam aku kentut dengan keras. Kupikir tidak ada
orang, ternyata ada dua orang cewek yang sedang berdandan dan ngobrol tidak
bermutu di sana. Salah satu dari mereka, yaitu Lorena bertanya siapa yang ada
di dalam. Dengan bodohnya aku menyahut, “Stevie Olivia.” Tamat sudah riwayat!
Mereka tertawa kencang dan dalam sekejab aku menjadi terkenal tanpa audisi
apapun di sekolah sebagai Stevie si Tukang Kentut. Sejak saat itu pula dia
tidak berhenti menggangguku. Dia berhasil merusak hari-hariku selama di sekolah
menengah.
“Aku
tidak ingin merusak gaunmu yang kelihatannya mahal itu, Lorena. Jadi tinggalkan
aku sendiri dan silahkan nikmati acaranya saja,” kataku malas meladeninya.
“Lihat
siapa yang bicara, Eva. Sepertinya dia sudah melupakan kita,” kata Lorena tidak
mau kalah. Di sampingnya ada satu cewek lagi yang nggak secantik Lorena, lebih
tepatnya dia seperti baby sitter-nya
Lorena, Eva Aurelia. Dia juga sama-sama menyebalkan seperti Lorena. “Akan aku
bantu ingatkan memori Stevie yang hilang. Apa kamu masih suka kentut, Stevie?”
ejeknya kemudian mereka berdua sama-sama tertawa.
“Apa
ada yang lucu?” sela suara khas bariton di belakangku.
“Ini
si Stevie lucu sekali. Hobi kentutnya benar-benar aneh!” ujar Lorena sukses mempermalukan
aku. Joe! Itu tadi Joe yang berbicara? Aduh! Kenapa aku harus ketemu sama dia
di situasi yang seperti ini?! Lengkap sudah keterpurukanku.
“Paling
tidak bau kentutnya sebentar juga sudah hilang. Sementara bau busukmu dari dulu
nggak hilang-hilang,” kata Joe sekali lagi.
“Ah,
sudahlah. Eva, ayo pergi. Kalian berdua benar-benar punya chemistry yang kuat meskipun sudah lama putus,” kata Lorena yang
sudah jengkel dibuat Joe. Mereka berdua pergi menelan kecewa tidak bisa mem-bully diriku. Paling tidak satu masalah
terlewati. Tapi sekarang masih ada satu lagi masalah, Joe!
“Aku
harap dia tidak terlalu membuatmu jengkel malam ini,” katanya sambil berjalan
mendekatiku. “Apa kabar setelah sekian lama?”
“Baik,”
jawabku singkat. Aku masih belum bisa menerima tatapan matanya yang masih sama
seperti dulu. Damai, bening, tapi beracun. Tentu saja beracun setelah apa yang
dia lakukan padaku. Terbukti dia sedikit menyesal meninggalkanku waktu itu. tapi
belum ada keberaniannya untuk lebih dekat lagi denganku. Asal tau saja aku juga
tidak mau dekat-dekat sama dia. Kalau seandainya tadi dia tidak membelaku di
depan Lorena, maka aku tidak akan menyapanya. Aku sudah malas berurusan
dengannya lagi. Lebih baik aku memelihara ikan mas saja di rumah.
“Sepertinya
kau datang sendiri malam ini?” dia melihat ke sekitarku. Aku tau maksudnya
adalah aku tidak datang dengan pasanganku. Dia tau benar kalau aku bukan tipe orang
yang bisa dengan mudah melupakan kenangan dan segera menjalin dengan hubungan
dengan yang lainnya. Dengan menanyakan hal itu dia pasti ingin menertawaiku
karena setelah putus dengannya, aku belum bisa mendapatkan penggantinya. Aku
tidak ingin mengingkari kalau Joe adalah cowok yang baik dan perhatian. Tapi
bagiku dia sama saja dengan cowok lebay ber-IQ jongkok yang mau menukar
pacarnya dengan piala bergilir hanya untuk sebuah kesenangan sesaat.
“Aku
datang bersama dengan Renata, Emile dan Becca kok.”
“Dari
dulu temanmu hanya mereka saja. Kenapa tidak cari yang lain?”
“Apa?
Cari yang lain? Aku punya banyak teman, tapi tidak semua bisa menjadi sahabat
karib yang bisa menghargai dan menerima privasi pribadiku,” jawabku nggak
percaya dengan pertanyaannya itu. “Jadi buat apa mencari yang lain kalau mereka
saja sudah cukup? Dan yang paling penting mereka nggak pernah meninggalkanku
dalam posisi apapun hanya untuk mendapatkan sesuatu yang lebih menyenangkan.”
“Stevie,
sebenarnya aku ingin minta maaf padamu,” kata Joe.
“Aku
rasa kamu nggak punya kesalahan yang harus dimaafkan,” jawabku datar.
“Aku
yakin kamu pasti masih kecewa dengan keputusanku yang meninggalkanmu waktu
itu,” ujarnya. “Aku benar-benar menyesal karena aku sudah sangat bodoh
mengkhianatimu dan lebih memilih Brenda. Aku sungguh menyesal. Aku sebenarnya
tau kalau Brenda sama sekali tidak sebanding denganmu. Aku minta maaf karena
melepaskanmu.”
Sepertinya
dia serius meminta maaf. Hanya saja aku masih belum bisa begitu saja menata
emosiku di depannya. Tentu aku sudah memaafkannya, tapi bukan berarti aku sudah
bisa makan dalam satu meja dengan dia. Lagi pula kalau dia sudah tau Brenda
tidak ada apa-apanya dibandingkan denganku, lalu kenapa dia masih memilih cewek
gatel itu? Meskipun aku sangat penasaran ingin menanyakan alasannya, tapi aku
tidak mau membuka luka lama dengan mengetahui jawabannya. Ku pikir sudah cukup
dia merasakan pembalasan yang setimpal. Brenda mencampakkannya, dan dia
memiliki beban terhadapku, meskipun sudah minta maaf tentu saja aku tau dia
belum bisa merasa nyaman di sekitarku. Rasakan saja.
“Aku
tidak memintamu untuk kembali padaku lagi. Meskipun aku juga mengharapkannya.
Tapi apa aku nggak bisa dekat denganmu lagi?”
“Aku
nggak tau, Joe. Aku sudah memaafkanmu sejak lama. Tapi jika teringat lagi masa
lalu itu, aku benar-benar nggak bisa menghadapimu. Jadi biarlah berjalan begini
saja, apa pun ending-nya,” jawabku
tidak bermaksud menyakiti Joe. Hanya saja itu lah yang aku rasakan saat ini.
“Baiklah,
mungkin itu memang sudah seharusnya ku dapatkan. Tapi dunia terus berubah,
Stevie. Dan aku yakin kamu juga akan berubah,” katanya setengah menunduk.
Paling tidak aku tau bagaimana rasanya diabaikan. “Terimakasih sudah mau
mengobrol denganku. I really miss you,
Stevie. Enjoy the .party.”
Aku
benar-benar nggak bisa berpikir. Aku kasihan pada Joe, tapi aku nggak bias
bohong kalau aku masih sangat kecewa dengan sikapnya. Aku juga tidak
merencanakan untuk membenci dia selamanya. Aku hanya butuh waktu untuk bisa
menghadapinya. Sangat sulit melupakan seseorang yang memberimu banyak sekali
hal untuk diingat.
**
To be continued.
No comments:
Post a Comment