Si Popeye Suka Makan Bayam

"I AM JUST A LITTLE GIRL WHO NEVER STOP DREAMING"

September 09, 2014

KU KAGUMU KAU DALAM SECANGKIR KOPI #3

Sabtu sore ini aku menemani Dad berbelanja kebutuhan kami. Mom sedang pergi mengurus bisnisnya di luar negeri. Aku bersyukur karena untuk kali ini Dad sedang tidak ada proyek kerja sehingga bisa menemaniku di rumah. Orang tuaku memang selalu sibuk dengan pekerjaannya, tapi mereka selalu menyiapkan waktu istimewa buatku paling tidak sebulan sekali. Mungkin karena itu juga aku tidak punya saudara. Mom dan Dad tidak akan sempat mengurusi aku dan saudaraku jika aku benar-benar punya saudara.

“Bagaimana dengan kuliahmu, Stevie?” tanya Dad sembari memilih-milih sayuran yang akan kami beli.

“Baik. Hanya saja aku sedikit kerepotan dengan tugas-tugas yang harus ku kerjakan. Sementara pelajaran yang kuambil hampir semuanya membosankan dan tidak terlalu penting untuk bidangku.”

“Kenapa bisa begitu?” tanya Dad agak sedikit terkejut.

“Aku sudah mengambil semua mata kuliah inti di dua semester terakhir yang lalu. Kali ini hanya perlu memenuhi nilai yang harus kuambil saja. Bagaimana kalau aku magang kerja di tempat Dad saja?” tanyaku memberi pendapat. Aku memang berharap segera mendapat pekerjaan setelah lulus nanti. Apa salahnya belajar lebih banyak di perusahaan tempat Ayahku bekerja? Malah lebih bagus dari pada aku hanya mendapatkan teori di ruang kelas.

“Tidak bisa. Dad kan selalu memintamu fokus belajar saja. Dad dan Mom masih bisa menanggung biaya hidupmu. Masalah kerjaan akan datang sendiri mencarimu, kamu ini anak yang cerdas,” aku tau jawabannya akan selalu seperti itu. “Lagi pula Dad berharap kamu dapat posisi yang lebih bagus daripada Dad. Satu hal lagi Dad tidak akan merekomendasikan kamu bekerja di perusahaan Dad.”

“Haish, setahuku setiap orang tua ingin anaknya mewarisi semua usaha mereka. Kenapa Dad malah melarangku? Benar-benar sulit dipercaya” sahutku asal. Kemudian Dad menjitak kepalaku.

“Itu berlaku bagi keluarga CEO dan jajarannya. Kedudukan apa yang bisa Dad tawarkan padamu? Makanya kalau kamu ingin mewariskan kedudukan untuk anakmu nanti maka jadilah pemilik perusahaan, jangan jadi pegawai.”

“Ah, malas sekali. Kalau begitu aku mau jadi anak kuliahan saja terus. Hidupku bisa kalian jamin selamanya hahaha….” Ejekku. Aku sangat menyukai ekspresi Dad saat aku mengganggunya. Dia adalah salah satu dari sekian banyak Ayah yang keren di dunia ini. Orang tuaku bukan hanya sekedar jadi orang tua saja, tapi juga bisa jadi sahabat, saudara dan bahkan rival yang terbaik untukku.

“Dasar anak nakal. Apa gunanya hidup kalau begitu? Aku menyekolahkanmu tinggi-tinggi supaya kamu bisa mendapat pekerjaan yang lebih baik dariku. Sehingga Mom dan Dad bisa segera beristirahat untuk menikmati masa tua kami. Atau paling tidak menikahlah dengan anak sorang pengusaha kaya biar kamu bisa langsung naik pangkat dan membahagiakan Dad mu ini,” ujar Dad setengah melotot. Aku tau dia hanya bercanda. Dia selalu mengatakannya setiap kali aku mengelak untuk mengerjakan sesuatu.

“Sekalian saja aku menikah dengan Pengusaha kaya raya yang tua bangka, jadi akan lebih cepat buatku untuk menguasai hartanya. Dasar, lebih bagus biarkan saja aku bekerja untuk sementara waktu ini supaya aku bisa mengurangi pengeluaranmu, Dad.” Dia hanya menggelengkan kepala. “Nanti malam aku akan pergi mengerjakan tugas dengan temanku. Mungkin aku akan pulang terlambat malam ini. Jadi makan malamlah dulu, jangan menunggu aku.”

“Dengan Renata?” tanya Dad tidak terlalu menanggapi perkataanku. Astaga, Dad pikir hanya Renata saja temanku? Mungkin Dad pikir anaknya ini termasuk anak yang kuper di kampus. Mana mungkin seperti itu. Lagipula Ranata dan aku berbeda jurusan.

“Bukan, temanku yang lain. Namanya Nathan.”

Dad agak terkejut mendengarku menyebutkan nama cowok. Yah, aku memang jarang menceritakan teman-teman cowokku pada Dad. Dia hanya tau Hans saja karena memang selama satu semester ini aku “terpaksa” bekerja sama dengannya. “Nathan? Oh, jenis teman seperti apa itu?”

“Hahaha…. Dia hanya sejenis manusia spesies kita.”

“Baiklah, memang terdengar sedikit aneh. Uh-oh Stevie punya pacar!” ejek Dad.

“Oh, sudahlah. Dia hanya teman kelompokku saja,” jawabku nyengir. Aku tidak berniat membicarakannya lagi dengan Dad soal ini.

**

Nathan sudah duduk di salah satu pojok café saat aku tiba disana. Dia sedang asik mendengarkan sesuatu di iPod-nya. Kelihatanya dia hanya mebawa satu buku catatan, bolpoin, dan laptop yang sudah dia letakkan diatas meja café. Rupanya dia sudah memesan minuman duluan. Jadi aku tinggal pesan minumanku terlebih dulu sebelum aku datang menemuinya.

“Hai, Nathan.”

“Hai, Stevie,” sahutnya lalu mematikan iPod yang dipegangnya sedari tadi. “Apa kabarmu?”

“Sangat baik,” jawabku sambil meletakkan Coffee Hot Chocolate-ku diatas meja.”Sudah lama ada di sini?”

“Sejak setengah jam yang lalu. Aku sengaja datang lebih dulu untuk menikmati suasana café ini,” ujarnya sambil mengangkat gelas kopinya dan meminum sedikit.

“Ngomong-ngomong kopi apa yang kamu pesan?” tanyaku sedikit penasaran. Kata orang ‘kopi yang kamu minum mencerminkan pribadi yang seperti apa kamu’. Makanya aku sedikit ingin tau juga kopi jenis apa yang dia minum. Aku agak banyak tahu filosofi tentang kopi. Paling tidak aku bisa menebak kelas seseorang dilihat dari selera meminum kopinya.

Mint mocha-chip frappycap affogato style.”

Frappycap affogato style?” ulangku, hampir terdengar sedikit curiga dan nggak percaya. Nggak semua pecinta kopi yang mengerti artinya affogato. Sebenarnya, affogato adalah sejenis frappycap dengan espresso yang mengapung diatasnya. Baiklah, aku mulai tertarik dengan selera Nathan. Biasanya penyuka kopi jenis ini orangnya sangat asik dan susah ditebak. Kita lihat saja apa Nathan memang seperti yang kupikirkan.

“Iya, kenapa? Memangnya ada yang salah?” tanya Nathan.

“Enggak kok. Nggak sama sekali. Hanya sedikit terkejut saja,” jawabku canggung. Aku bisa merasakan semua darahku merayap ke muka sehingga rasanya sedikit panas. Bisa taruhan pasti mukaku memerah saat ini. Seandainya ada kaca! Kenapa tempat ini jadi lebih indah dari biasanya ya? Hanya perasaanku saja atau karena aku datang kesini dengan dia? Pikiran aneh dari mana ini?

“Kadang-kadang kamu ini aneh lho, Stevie,” sahutnya.

Aku hanya mengiyakannya saja. Aku memang seperti itu kok. Kami mulai mengerjakan wawancara ini. Banyak hal yang diceritakan Nathan tentang dirinya. Dan aku lebih tertarik bertanya tentang masa lalunya. Dia bercerita tentang masa kecilnya yang sangat usil. Jadi waktu itu dia dan temannya bernama Mike sedang bermain misi mengerjai orang-orang yang lewat di depan rumah mereka dengan menyemprotkan air dari water gun. Tentu saja banyak yang memarahi mereka, tapi tetap saja mereka melanjutkan kenakalannya itu. Sampai tiba-tiba ada orang gila yang tanpa sengaja ikut tersemprok air oleh mereka. Spontan si orang gila yang kaget itu mengejar mereka berdua yang berlari sambil menangis minta tolong. Sejak saat itulah Nathan tidak mau bermain water gun lagi di depan rumah.

Ternyata memang seperti perkiraanku, asik dan susah ditebak. Bahkan setelah selesai aku mewawancarainya, masih ada rasa ingin tahuku yang sebenarnya masih mau kutanyakan. Tapi aku takut dikira sok dekat. Jadi kuurungkan saja niatku itu.

“Ada satu hal lagi yang ingin ku tanyakan padamu sebelum menutup wawancaraku,” kataku sedikit serius untuk kali ini. “Sebelum pindah kesini kamu kan tinggal di Amerika dan belajar disana. Kenapa kamu pindah kesini?”

“Pertanyaan yang bagus,” dia memuji. “Dari kecil aku sudah ada disana. Bahkan seolah aku ini berkewarganagaraan Amerika. Sampai titik kemarin sebelum aku memutuskan pindah kemari, aku merasa harus kembali ke negaraku. Selain karena aku ingin berkumpul dengan keluargaku.”

“Jadi selama disana kamu nggak tinggal dengan orang tuamu?”

“Nggak. Aku tinggal di apartemen yang sudah mereka siapkan untukku. Lima bulan sekali mereka datang ke sana untuk menemuiku. Kalau masalah pendidikan, ada sekretarisku yang mengurusi semuanya,” jelasnya. Wow, sejak kecil dia sudah punya sekretaris pribadi. Orang kaya level berapa dia ini? Tapi kasihan juga. Bisa dibilang dia adalah anak sekretasisnya bukan anak Mom dan Dadnya. Aku tertawa sendiri dalam hati memikirkannya.

Tiba-tiba muncul sesosok cewek penyihir yang sama sekali nggak ingin aku temui dari pintu masuk café. Lorena! Ngapain dia kesini sementara aku juga sedang ada di sini? Benar-benar hari yang tidak bagus buatku. Nathan melihat bingung ke arahku. Dia pasti menyadari ekspresi muak yang tiba-tiba dari raut mukaku. “Kamu kenapa?”

“Tiba-tiba aku nggak enak badan.”

“Kamu mau ke belakang dulu?” Nathan bertanya. Dia pasti berpikir kalau aku sedang terserang diare atau semacamnya.

Sebelum sempar aku mengelak pergi, Lorena sudah buru-buru datang menghampiriku. “Stevie!” serunya seperti kami ini teman dekat aja. Aku memalingkan muka memasang ekspresi ingin muntah saat dia mendekati mejaku. “Sedang apa kamu disini? Apa ini masih jadi tempat favoritmu dulu?”

“Sudahlah, Lorena. Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu malam ini. Kamu lihat aku sedang sibuk sekarang,” jawabku ketus. Nathan hanya memandangi bingung antara aku dan Lorena.

“Wah, dia sangat lucu ya?” katanya menoleh ke Nathan. “Kamu siapa? Pacar barunya Stevie ya? Kok mau sih sama cewek tukang ketut kayak dia? Dia kalau kentut bau banget lho. Mendingan hati-hati, mungkin kentutnya itu bervirus yang bisa bikin kamu diare seminggu penuh.”

“Apa?” tanya Nathan melihat ke arahku bingung. Aku merasa mukaku benar-benar merah padam sekarang. Oh, Lorena beraninya kau mempermalukan aku di depan Nathan! Benar-benar akan ku bunuh kamu malam ini! Ya ampun, aku bersumpah akan segera membalas perlakuanmu ini. Aku menunduk membaca catatanku sambil berdoa agar Lorena cepat pergi dari sini atau aku akan benar-benar menyiramnya dengan minumanku.

“Oh, baiklah. Sayang sekali aku tidak bisa lama-lama disini. Aku ada KENCAN sebentar lagi dan teman kencanku tau kalau aku tidak suka kentut sembarangan,” kata Lorena sambil melirikku sinis. Kemudian dia pergi sambil menggoyangkan pinggulnya. Aku yakin dia sedang menggoda Nathan tapi malah terlihat seperti cewek lebay yang perlu terapi kejiwaan.

“Siapa sih dia?” tanya Nathan padaku dengan ekspresi keheranan. Aku menarik nafas dalam-dalam mencoba menetralkan emosiku yang dikacaukan lorena barusan.

“Dia cuma cewek yang perlu operasi kepribadian waktu aku masih sekolah dulu.”

“Kelakuannya seperti nenek sihir,” ucap Nathan agak mengernyitkan alisnya.

“Oh…. Aku sangat setuju,” kataku sambil berkacak pinggang melihat keluar mengamati Lorena yang menyebrang jalan. Kami sama-sama mengamati Lorena sampai dia menghilang di antara kerumunan orang di seberang sana. “Benar-benar menjengkelkan.”

“Kenapa kalian bisa begitu?” tanya Nathan.

“Dia punya misi untuk menyiksaku di sekolah menengah dulu. Saat kami sudah lulus kukira semua sudah berakhir. Tapi ternyata dia menemukanku lagi!” jawabku jengkel. Kemudian aku menceritakan kenapa aku bisa dipanggil Stevie si Tukang Kentut oleh Lorena. Dia tertawa mendengar ceritaku, tapi jelas itu bukan ekspresi yang merendahkan. Aku juga menceritakan beberapa cerita memalukan yang kualami gara-gara ulah Lorena. Seperti waktu guru bahasa Perancis memintaku meminjam pensil pada Lorena. Entah bagaimana aku malah menyebut Lorena “babi”. Dan dari situlah situasi bertambah buruk buatku.

“Kenapa nggak kamu hajar saja dia?” tanyanya sambil menaikkan alis mata kanannya.

“Hajar dia?” tanyaku malas. “Entahlah. Seandainya aku cowok. Aku juga belum pernah memukul seseorang. Lagipula kalau di depannya, seberapa percaya diri pun diriku dalam 15 detik pasti berubah menjadi seekor kucing yang basah kuyub tersiram air comberan. Tiba-tiba saja semua keberanianku seperti hilang.”

“Aku hanya bercanda, Stevie,” ujar Nathan tersenyum memandangiku menjawab pertanyaannya dengan konyol. “Sudah pernah mencoba berbicara dengan Lorena? Maksudku hanya kalian berdua?”

Berbicara dengan Lorena itu malah terdengar seperti ‘membuang-buang waktu’ atau ‘nggak penting untuk dikerjakan’. Aku menarik nafas dalam-dalam, “Nggak akan pernah bisa. Lihat saja tadi, setiap kali dia bertemu denganku maka hal itulah yang akan dia lakukan dari awal sampai akhir. Mempermalukanku.”

“Ya, siapa tau aja sih,” lanjut Nathan kemudian meminum frappycap affogato-nya. Lalu tangannya sibuk membuat coretan.

“Yang tadi itu rahasia. Jangan masukkan sebagai bahan makalahmu,” kataku. Aku punya firasat buruk kalau dia mungkin akan menulis semua cerita memalukanku tadi kedalam tugasnya.

“Entahlah, kita lihat saja nanti,” jawabnya enteng dengan senyum (yang manis seperti biasanya) mengembang di wajahnya.

“Awas saja kalau kau berani!”

**

“Hei, apa saja yang kalian lakukan kemarin Sabtu?” Renata nggak sabar menunggu ceritaku tentang Nathan. Aku tidak tau apa yang para cewek-cewek ini lihat dari Nathan sehingga membuat mereka tergila-gila. Astaga, aku merasa nggak normal sendiri jika melihat cewek-cewek ini. Nathan memang keren, tapi aku nggak tertarik sama sekali sama dia (minimal untuk saat ini).

“Ya ngerjain tugas. Memangnya mau ngapain lagi?” jawabku cuek.

“Astaga, kamu ini nggak bisa memanfaatkan kesempatan. Semua cewek-cewek di kampus ini pengen bisa jalan dengan Nathan, tapi nggak pernah ada kesempatan. Sementara kamu kesempatan terbuka lebar malah mengabaikannya begitu saja,” jelas Renata. Dasar cewek! “Eh, mungkin Nathan tertarik padamu. Dari sekian banyak teman di kelasmmu kenapa dia mau berpasangan denganmu. Itu kan aneh.”

“Kamu yang aneh. Pikiranu terlalu tidak masuk akal. Maksudmu dia tertarik padaku sehingga menjadikan aku sebagai partnernya? Lalu bagaimana denganku yang sering berpartner dengan Hans? Kau juga berpikir aku tertarik padanya?”

“Bukan begitu. Dari tatapannya padamu juga sudah aneh.”

“Kamu yang aneh, bukan dia. Sudahlah…. Ayo cepat ke kampus. Aku harus mengumpul laporanku sama Ma’am Vernie pagi ini,” sahutku. Renata segera memacu mobilnya menyusuri jalanan yang kebetulan tidak terlalu ramai. Cuaca hari ini juga sedang asik, tidak terlalu panas

Sesampainya di kelas aku langsung duduk di meja paling belakang. Supaya kalau aku tidur nggak kelihatan sama dosennya. Mata kuliah hari ini sama sekali nggak menarik sih. Tiba-tiba Nathan duduk di sebelahku. Awalnya aku nggak sadar, sampai salah seorang cewek di kelas menatap aneh ke arahku. Astaga! Cowok ini rupanya yang membuatku jadi kelihatan aneh di kelas?

“Sejak kapan kamu datang?” tanyaku sedikit terkejut.

“Dari tadi. Kamu saja yang nggak sadar aku sudah duduk disini,” jawabnya santai sambil meletakkan buku catatan dan bolpoinnya di meja. Dia ini mahasiswa yang paling irit sepertinya. Buku catatannya cuma satu. Bolpoin pun isinya tinggal untuk menulis satu kalimat lagi. Baju bermerek begitu mana mungkin nggak mampu beli bolpoin satu biji? “Kenapa memandangiku? Ada yang salah?”

“Mana mungkin aku memandangimu? Aku hanya kasihan saja melihatmu tidak punya bolpoin cadangan. Padahal baju bermerek.”

“Kenapa bolpoinku jadi masalah buatmu?” tanyanya datar. “Apa tugas bahasa inggrismu sudah jadi?”

“Sudah. Aku langsung menyelesaikannya sehabis kita mengerjakannya di café hari itu juga. Apa punyamu sudah selesai juga?” tanyaku ganti.

“Tentu. Akan ku kumpulkan hari ini.”

“Mau ngumpulin bareng nggak? Uhm, boleh lihat?” tanyaku sambil melirik tugas bahasa inggrisnya yang dia sempat buka di beberapa halaman secara acak.

“Nanti ku kumpulkan sendiri. Kalau mau lihat nanti saja kalau sudah dikoreksi sama Mr. Ronald,” jawabnya melarangku menengok makalah itu.

“Kamu nggak penasaran dengan ceritamu yang kutulis di tugasku ini?” tanyaku kembali sambil menyodorkan padanya tugasku.

“Aku nggak penasaran,” jawabnya datar banget. Benar-benar dasar anak aneh. Bagaimana mungkin dia tidak penasaran dengan apa yang aku tulis tentangnya? Memangnya apa yang dia tulis di dalam tugasnya itu? Pasti hal-hal yang aneh tentangku. Aku hanya sempat membaca ada beberapa nama yang tertulis disana. Ada nama Lorena juga. Awas saja kalau dia benar-benar menulis ceritaku dengan Lorena yang nggak sengaja aku ceritakan kemarin.


**

To be continued.

No comments:

Post a Comment