Hal apa yang lebih
menarik daripada secangkir kopi dan bau tanah basah karena hujan di luar sana? Kayaknya
nggak ada. Menyenangkan sekali aku bisa merasakan segarnya udara dingin disini.
Seandainya ada seseorang yang aku miliki untuk berbagi cerita tentang secangkir
kopi dan hujan ini, pasti akan lebih menyenangkan.
“Woi!
Lagi nulis apaan loe?” kata suara cewek yang tiba-tiba muncul di belakangku. Itu
Renata, teman dekatku. Kami sudah berteman lebih dari sepuluh tahun. Dia adalah
sahabat terbaik yang pernah ada. Hanya saja aku tidak suka tingkahnya yang
selalu membuat orang lain sangat terkejut.
“Aih,
tau nggak sih kamu kalo kerjaanmu ngagetin orang begini bisa bikin orang lain
mati muda sebelum waktunya?! Hampir aja jantungku terjun bebas dari sini!”
seruku sambil menekan dada.
“Hizzz,
perlu ya hiperbola seperti itu? Heran deh, udara dingin begini kamu masih santai
aja di warung kopi. Kalau punya banyak waktu luang mendingan pergi tidur di
rumah,” kata Renata sedikit curhat. Aku tau dia sangat capek kuliah sambil
kerja paruh waktu di restaurant Italia milik Momnya. Biarpun begitu, paling
tidak dia sudah bisa menghasilkan uang sendiri meskipun yang menggaji juga
Momnya. “Eh, gimana dengan proyekmu minggu lalu?” tanya Renata.
“Untungnya
aku lebih jenius daripada dosen yang menguji tugas kami kemarin. Dia akhirnya
harus rela memberikan kami nilai A+ di ujian kali ini. Tapi hampir saja Hans
mengacaukannya,” ungkapku jengkel membayangkan kembali kejadian seminggu yang
lalu.
Jadi
ceritanya aku sama Hans (teman sekelasku yang sangat nyentrik) dapat tugas
kampus untuk observasi lapangan tentang rancangan pembangunan greenhouse yang diajukan sebagai
pendaftaran beasiswa bagi yang mendapatkan nilai sempurna. Disanalah Hans mulai
terbawa emosi dan bicara ngawur tentang materi yang kami presentasikan. Itu
terjadi karena Hans yang terlalu menjunjung tinggi kepercayaandirinya
sampai-sampai hampir mengorbankan aku sebagai partner-nya. Seandainya aku tidak cepat mengambil tindakan, maka
beasiswa kuliahku yang kupertahankan selama ini bisa saja hilang.
“Memangnya
ngapain lagi dia?” terus Renata.
“Ya
itu, hampir saja aku kehilangan beasiswa gara-gara Hans kelewat pintarnya
menjelaskan materi kami dengan pernyataan konyolnya. Kalau bukan presentasi dan
nggak lagi di hadapan dosen gitu sudah ku jitak kepalanya yang cerdas itu.”
“Hahaha….
Kebayang deh gimana ekspresinya. Kerja sama dengan dia memang agak susah sepertinya.
Baru kamu orang pertama yang betah satu tim dengannya selama satu semester.
Biasanya teman-teman lain udah pada minta pindah kelompok setelah dua atau tiga
minggu kerja sama dengan dia,” sahut Renata sambil tertawa terbahak-bahak.
“Itu
juga yang menjadi alasanku mau bekerja sama dengannya, Ren, aku kasian sama
Hans. Kalo aku juga minta pindah tim bakalan tambah merana dia kalo nggak ada
teman yang mau berpasangan dengannya.”
“Iya
juga sih. Eh, Stevie, kamu udah tau belum kalo ada mahasiswa baru di fakultasmu?
Ganteng banget tau. Katanya sih dia mahasiwa transfer dari Amerika. Dia satu
kelas denganku di kelas bisnis lho,” kata Renata penuh semangat. Biasanya kalau
Renata ceritanya semangat begini berarti cowok yang diceritakannya beneran
ganteng. Karena Renata itu tipe selektif banget kalo masalah cowok. Mungkin
saking selektifnya beberapa temen yang ngedeketin dia langsung dia tolak
mentah-mentah. Karena itu juga kali ya, setiap cowok yang dia suka juga jadi menolak
dia. Wah, kasihan sekali cewek satu ini.
“Cowok?
Ga tau. Aku belum ketemu tuh,” jawab aku datar sambil memandangi hujan di luar
sana.
“Astaga,
satu kelas denganmu! Dia udah dua bulan disini. Di kelas bisnisku aja udah
ramai orang ngomongin dia. Mana mungkin kamu ga kenal sama dia kalau satu kelas
begitu?” seru Renata setengah berteriak
kepadaku.
“Di
fakultas tehnik arsitektur itu mahasiswanya hampir 100 orang di semesterku.
Mana aku hafal orang sebanyak itu,” jawabku biasa aja.
“Ya
paling nggak kan kamu tau mana yang mahasiswa baru.”
“Mana
tau. Lagian banyak juga mahasiswa semester lain yang ngambil mata kuliah yang
sama denganku. Banyak dari mereka yang baru aku lihat juga tau! Lagian siapa
yang peduli dia ganteng atau nggak,” jawabku sedikit jengkel karena Renata
terus mendesakku untuk bicara.
“Ck,
memang mati rasa kamu sama cowok kayaknya. Jangan-jangan kamu udah nggak suka
sama cowok lagi!” bisiknya. Aku jitak kepalanya keras-keras. Dasar tukang
ngaco. Mana mungkin juga aku nggak suka sama cowok! Aku masih normal banget!
“Aduh!
Kamu sih nggak pernah cerita soal suka sama cowok. Atau jangan-jangan kamu masih
mikirin Joe ya?” tanya Renata sambil menatapku curiga. Aku cuma diam aja
memandangi asap yang mengepul dari cangkir kopiku. “Nggak menjawab. Udah ku duga
kamu masih berharap tuh cowok bodoh akan kembali sama kamu! Udah lah, Stevie.
Itu kan udah kejadian pas SMA dulu. Masih aja kamu ingat. Taruhan deh, dia aja
nggak mikirin kamu lagi sama sekali.”
“Bosan
deh dengar omonganmu itu terus.”
“Aku
lebih bosan lihat kamu begini terus. Aku harus paksa kamu deh kayaknya untuk move on. Nanti kukenalkan sama beberapa
teman cowokku sama kamu. Tenang aja, aku carikan yang baik dan nggak brengsek
kayak Joe,” kata Renata antusias.
“Terserah
deh,” jawabku datar kemudian meneguk Coffee
Hot Chocolate ku.
**
Mata
kuliah yang paling membuang waktuku, Bahasa Inggris adalah mata kuliah wajib
yang harus kuambil di semester ini. Hal ini hanya mengulang mata pelajaran di
jaman sekolah menengah dulu. Dosen yang mengajar sangat nyentrik, tipe limited edition. Gaya dandanannya
mengingatkanku pada artis-artis tahun 80-an. Bahkan style kakekku sudah nggak begitu lagi. Ya ampun, apa yang salah
dengan dosen itu? Kenapa aku nggak ngerti sama sekali kemana arah
pembicaraannya pergi? Kurang 15 menit lagi, maka aku bisa keluar dari kelas ini
dan sepertinya aku tau apa yang akan dikatakan dosen ini selanjutnya. Tugas!
“This week assignment is biography
of your classmate. You have to type it as long as seven until eight sheets and collect
it on my desk. I’ll wait it until Wednesday. Have a nice day!” kata
Mr. Ronald setelah menjelaskan tugas yang harus kami kerjakan.
Aku
mencari teman yang bisa bekerja sama denganku. Ah, si Hans ada di pojok
belakang kelas. Aku malas jalan ke sana. Lagi pula untuk tugas yang seperti ini
dia bisa cari partner-nya sendiri. Ku
lirik di belakangku ada cowok clingak-clinguk yang kayaknya cari partner. “Hay, do you have a partner?” sapaku
lebih dulu.
“Not yet,” jawabnya sambil tersenyum
ramah. Wah, manis banget senyumnya. Dia pake contact lens kah? Irisnya
berwarna coklat terang. Paling ga dia adalah tipe cowok maskulin
dibandingkan cowok-cowok lain yang kulihat di kelas ini. Kayaknya sih dari
keluarga menengah keatas. Kemeja birunya bermerek. Jam tangan Rolex-nya
sepertinya juga asli, kalaupun KW pasti bukan KW yang murahan. Dia lumayan ikut
trend juga. Tinggi kira-kira 183 cm, atletis, dan harus kuakui dia lumayan
tampan.
“Well, aku juga belum. Gimana kalo kita
satu tim aja?” tanya ku meminta persetujuannya. Dia mengangguk dan kembali
tersenyum. Benar-benar ramah. “Oke. Namaku Stevie.”
“Aku
Nathan,” jawabnya sambil menyodorkan tangannya. Sekali lagi dia tersenyum
memamerkan deretan gigi putih nan rapinya. Mengesankan, kayaknya dia emang suka
tersenyum deh. Dia cocok jadi model iklan pasta gigi hahaha….
“Ini
hanya pikiranku saja atau kamu juga berpikir kalau tugas yang diberikan oleh
Mr. Ronald sama sekali ga penting?” tanyaku sambil berjalan keluar kelas. Ada
yang aneh saat aku melangkah keluar sama Nathan. Semua orang melihat ke arah
kami. Lebih anehnya lagi cewek-cewek yang bergerombol langsung berbisik-bisik
kayak lagi ngomongin kami. Ada apa sama mereka kok tiba-tiba jadi aneh? Seakan
saat ini aku sedang berjalan dengan Justin Bieber.
“Entahlah,”
jawab Nathan dengan ekspresi datar. “Mungkin asik juga kalo bisa menggali
kehidupan masa lalumu yang kelam hahaha.”
Aku
memelototinya untuk sesaat. Mencerna kata-katanya apakah dia benar-benar ingin
melakukannya. “Memangnya kamu berpikir kalo aku beneran mau gitu aja membagikan
kehidupanku sama kamu?” kataku seakan nggak rela kalo Nathan beneran mau
mengorek kehidupan pribadiku.
“Intinya
kamu harus ngasih aku bahan yang bagus biar aku bisa menulis materiku dan dapat
nilai A untuk mata kuliah ini,” jawab Nathan sedikit geli melihat ekspresiku.
“Yang
bener aja!” seruku sambil tertawa. “Terserah deh, lagian aku duluan yang akan
mewawancarai kamu.” Aku menyilangkan tangan dan menutup mulutku rapat-rapat
lalu mulai “menerawang” orang macam apa Nathan ini. Dia tidak terlihat seperti tipe
orang yang rutin fitness, tapi dia sangat menjaga postur tubuhnya. Sepertinya
dia juga bukan orang yang suka bermain di zona aman, bisa dibilang dia ini tipe
orang yang suka bermain menantang bahaya. Dilihat dari gaya ngomongnya dia
sepertinya bukan termasuk orang yang ber-IQ rendah, lebih berwibawa dan
pemikir. Aku belum terlalu yakin dia itu seperti apa, tapi kayaknya dia orang
yang ramah dan easy going. Baru kenal
15 menit yang lalu saja dia sudah berani bercanda denganku. Kuharap dia bisa
jadi partner yang bisa diandalkan.
Ah, sial pikiranku melayang ke arah Hans lagi. Ada nggak temen yang mau jadi partner dia?
“Jangan
memandangiku terlalu lama. Aku jadi takut.”
“Oke….
Oke…. Aku cuma lagi mikir kira-kira pertanyaan yang gimana yang bakalan aku
tanyain ke kamu.”
“Lalu
dimana kita mau ngerjain ini?”
“Ehm,
aku punya tempat yang bagus. Gimana kalo di Express Café? Sekalian kita bisa
ngopi dan wifi gratis disana.”
“Boleh,
hari sabtu besok jam 7 malam aku tunggu disana,” kata Nathan kemudian melambai
pergi menuju motornya. Sekali lagi dia tersenyum.
Aku
membalas lambaian tangannya. “Sepertinya dia memang percaya diri dengan
senyumannya itu,” gumamku nggak percaya. Aku segera berbalik arah menuju kantin.
Aku sampai lupa kalau ada janji dengan Renata disana. Sepertinya tugas-tugas
kampus ini memang sudah menyita perhatianku.
**
to be continued!!!
No comments:
Post a Comment