Si Popeye Suka Makan Bayam

"I AM JUST A LITTLE GIRL WHO NEVER STOP DREAMING"

September 04, 2014

KU KAGUMI KAU DALAM SECANGKIR KOPI #1

Hal apa yang lebih menarik daripada secangkir kopi dan bau tanah basah karena hujan di luar sana? Kayaknya nggak ada. Menyenangkan sekali aku bisa merasakan segarnya udara dingin disini. Seandainya ada seseorang yang aku miliki untuk berbagi cerita tentang secangkir kopi dan hujan ini, pasti akan lebih menyenangkan.

“Woi! Lagi nulis apaan loe?” kata suara cewek yang tiba-tiba muncul di belakangku. Itu Renata, teman dekatku. Kami sudah berteman lebih dari sepuluh tahun. Dia adalah sahabat terbaik yang pernah ada. Hanya saja aku tidak suka tingkahnya yang selalu membuat orang lain sangat terkejut.

“Aih, tau nggak sih kamu kalo kerjaanmu ngagetin orang begini bisa bikin orang lain mati muda sebelum waktunya?! Hampir aja jantungku terjun bebas dari sini!” seruku sambil menekan dada.

“Hizzz, perlu ya hiperbola seperti itu? Heran deh, udara dingin begini kamu masih santai aja di warung kopi. Kalau punya banyak waktu luang mendingan pergi tidur di rumah,” kata Renata sedikit curhat. Aku tau dia sangat capek kuliah sambil kerja paruh waktu di restaurant Italia milik Momnya. Biarpun begitu, paling tidak dia sudah bisa menghasilkan uang sendiri meskipun yang menggaji juga Momnya. “Eh, gimana dengan proyekmu minggu lalu?” tanya Renata.

“Untungnya aku lebih jenius daripada dosen yang menguji tugas kami kemarin. Dia akhirnya harus rela memberikan kami nilai A+ di ujian kali ini. Tapi hampir saja Hans mengacaukannya,” ungkapku jengkel membayangkan kembali kejadian seminggu yang lalu.

Jadi ceritanya aku sama Hans (teman sekelasku yang sangat nyentrik) dapat tugas kampus untuk observasi lapangan tentang rancangan pembangunan greenhouse yang diajukan sebagai pendaftaran beasiswa bagi yang mendapatkan nilai sempurna. Disanalah Hans mulai terbawa emosi dan bicara ngawur tentang materi yang kami presentasikan. Itu terjadi karena Hans yang terlalu menjunjung tinggi kepercayaandirinya sampai-sampai hampir mengorbankan aku sebagai partner-nya. Seandainya aku tidak cepat mengambil tindakan, maka beasiswa kuliahku yang kupertahankan selama ini bisa saja hilang.

“Memangnya ngapain lagi dia?” terus Renata.

“Ya itu, hampir saja aku kehilangan beasiswa gara-gara Hans kelewat pintarnya menjelaskan materi kami dengan pernyataan konyolnya. Kalau bukan presentasi dan nggak lagi di hadapan dosen gitu sudah ku jitak kepalanya yang cerdas itu.”

“Hahaha…. Kebayang deh gimana ekspresinya. Kerja sama dengan dia memang agak susah sepertinya. Baru kamu orang pertama yang betah satu tim dengannya selama satu semester. Biasanya teman-teman lain udah pada minta pindah kelompok setelah dua atau tiga minggu kerja sama dengan dia,” sahut Renata sambil tertawa terbahak-bahak.

“Itu juga yang menjadi alasanku mau bekerja sama dengannya, Ren, aku kasian sama Hans. Kalo aku juga minta pindah tim bakalan tambah merana dia kalo nggak ada teman yang mau berpasangan dengannya.”

“Iya juga sih. Eh, Stevie, kamu udah tau belum kalo ada mahasiswa baru di fakultasmu? Ganteng banget tau. Katanya sih dia mahasiwa transfer dari Amerika. Dia satu kelas denganku di kelas bisnis lho,” kata Renata penuh semangat. Biasanya kalau Renata ceritanya semangat begini berarti cowok yang diceritakannya beneran ganteng. Karena Renata itu tipe selektif banget kalo masalah cowok. Mungkin saking selektifnya beberapa temen yang ngedeketin dia langsung dia tolak mentah-mentah. Karena itu juga kali ya, setiap cowok yang dia suka juga jadi menolak dia. Wah, kasihan sekali cewek satu ini.

“Cowok? Ga tau. Aku belum ketemu tuh,” jawab aku datar sambil memandangi hujan di luar sana.

“Astaga, satu kelas denganmu! Dia udah dua bulan disini. Di kelas bisnisku aja udah ramai orang ngomongin dia. Mana mungkin kamu ga kenal sama dia kalau satu kelas begitu?”  seru Renata setengah berteriak kepadaku.

“Di fakultas tehnik arsitektur itu mahasiswanya hampir 100 orang di semesterku. Mana aku hafal orang sebanyak itu,” jawabku biasa aja.

“Ya paling nggak kan kamu tau mana yang mahasiswa baru.”

“Mana tau. Lagian banyak juga mahasiswa semester lain yang ngambil mata kuliah yang sama denganku. Banyak dari mereka yang baru aku lihat juga tau! Lagian siapa yang peduli dia ganteng atau nggak,” jawabku sedikit jengkel karena Renata terus mendesakku untuk bicara.

“Ck, memang mati rasa kamu sama cowok kayaknya. Jangan-jangan kamu udah nggak suka sama cowok lagi!” bisiknya. Aku jitak kepalanya keras-keras. Dasar tukang ngaco. Mana mungkin juga aku nggak suka sama cowok! Aku masih normal banget!

“Aduh! Kamu sih nggak pernah cerita soal suka sama cowok. Atau jangan-jangan kamu masih mikirin Joe ya?” tanya Renata sambil menatapku curiga. Aku cuma diam aja memandangi asap yang mengepul dari cangkir kopiku. “Nggak menjawab. Udah ku duga kamu masih berharap tuh cowok bodoh akan kembali sama kamu! Udah lah, Stevie. Itu kan udah kejadian pas SMA dulu. Masih aja kamu ingat. Taruhan deh, dia aja nggak mikirin kamu lagi sama sekali.”

“Bosan deh dengar omonganmu itu terus.”

“Aku lebih bosan lihat kamu begini terus. Aku harus paksa kamu deh kayaknya untuk move on. Nanti kukenalkan sama beberapa teman cowokku sama kamu. Tenang aja, aku carikan yang baik dan nggak brengsek kayak Joe,” kata Renata antusias.

“Terserah deh,” jawabku datar kemudian meneguk Coffee Hot Chocolate ku.

**

Mata kuliah yang paling membuang waktuku, Bahasa Inggris adalah mata kuliah wajib yang harus kuambil di semester ini. Hal ini hanya mengulang mata pelajaran di jaman sekolah menengah dulu. Dosen yang mengajar sangat nyentrik, tipe limited edition. Gaya dandanannya mengingatkanku pada artis-artis tahun 80-an. Bahkan style kakekku sudah nggak begitu lagi. Ya ampun, apa yang salah dengan dosen itu? Kenapa aku nggak ngerti sama sekali kemana arah pembicaraannya pergi? Kurang 15 menit lagi, maka aku bisa keluar dari kelas ini dan sepertinya aku tau apa yang akan dikatakan dosen ini selanjutnya. Tugas!

“This week assignment is biography of your classmate. You have to type it as long as seven until eight sheets and collect it on my desk. I’ll wait it until Wednesday. Have a nice day!” kata Mr. Ronald setelah menjelaskan tugas yang harus kami kerjakan.

Aku mencari teman yang bisa bekerja sama denganku. Ah, si Hans ada di pojok belakang kelas. Aku malas jalan ke sana. Lagi pula untuk tugas yang seperti ini dia bisa cari partner-nya sendiri. Ku lirik di belakangku ada cowok clingak-clinguk yang kayaknya cari partner. “Hay, do you have a partner?” sapaku lebih dulu.

Not yet,” jawabnya sambil tersenyum ramah. Wah, manis banget senyumnya. Dia pake contact lens kah? Irisnya  berwarna coklat terang. Paling ga dia adalah tipe cowok maskulin dibandingkan cowok-cowok lain yang kulihat di kelas ini. Kayaknya sih dari keluarga menengah keatas. Kemeja birunya bermerek. Jam tangan Rolex-nya sepertinya juga asli, kalaupun KW pasti bukan KW yang murahan. Dia lumayan ikut trend juga. Tinggi kira-kira 183 cm, atletis, dan harus kuakui dia lumayan tampan.

Well, aku juga belum. Gimana kalo kita satu tim aja?” tanya ku meminta persetujuannya. Dia mengangguk dan kembali tersenyum. Benar-benar ramah. “Oke. Namaku Stevie.”

“Aku Nathan,” jawabnya sambil menyodorkan tangannya. Sekali lagi dia tersenyum memamerkan deretan gigi putih nan rapinya. Mengesankan, kayaknya dia emang suka tersenyum deh. Dia cocok jadi model iklan pasta gigi hahaha….

“Ini hanya pikiranku saja atau kamu juga berpikir kalau tugas yang diberikan oleh Mr. Ronald sama sekali ga penting?” tanyaku sambil berjalan keluar kelas. Ada yang aneh saat aku melangkah keluar sama Nathan. Semua orang melihat ke arah kami. Lebih anehnya lagi cewek-cewek yang bergerombol langsung berbisik-bisik kayak lagi ngomongin kami. Ada apa sama mereka kok tiba-tiba jadi aneh? Seakan saat ini aku sedang berjalan dengan Justin Bieber.

“Entahlah,” jawab Nathan dengan ekspresi datar. “Mungkin asik juga kalo bisa menggali kehidupan masa lalumu yang kelam hahaha.”

Aku memelototinya untuk sesaat. Mencerna kata-katanya apakah dia benar-benar ingin melakukannya. “Memangnya kamu berpikir kalo aku beneran mau gitu aja membagikan kehidupanku sama kamu?” kataku seakan nggak rela kalo Nathan beneran mau mengorek kehidupan pribadiku.

“Intinya kamu harus ngasih aku bahan yang bagus biar aku bisa menulis materiku dan dapat nilai A untuk mata kuliah ini,” jawab Nathan sedikit geli melihat ekspresiku.

“Yang bener aja!” seruku sambil tertawa. “Terserah deh, lagian aku duluan yang akan mewawancarai kamu.” Aku menyilangkan tangan dan menutup mulutku rapat-rapat lalu mulai “menerawang” orang macam apa Nathan ini. Dia tidak terlihat seperti tipe orang yang rutin fitness, tapi dia sangat menjaga postur tubuhnya. Sepertinya dia juga bukan orang yang suka bermain di zona aman, bisa dibilang dia ini tipe orang yang suka bermain menantang bahaya. Dilihat dari gaya ngomongnya dia sepertinya bukan termasuk orang yang ber-IQ rendah, lebih berwibawa dan pemikir. Aku belum terlalu yakin dia itu seperti apa, tapi kayaknya dia orang yang ramah dan easy going. Baru kenal 15 menit yang lalu saja dia sudah berani bercanda denganku. Kuharap dia bisa jadi partner yang bisa diandalkan. Ah, sial pikiranku melayang ke arah Hans lagi. Ada nggak temen yang mau jadi partner dia?

“Jangan memandangiku terlalu lama. Aku jadi takut.”

“Oke…. Oke…. Aku cuma lagi mikir kira-kira pertanyaan yang gimana yang bakalan aku tanyain ke kamu.”

“Lalu dimana kita mau ngerjain ini?”

“Ehm, aku punya tempat yang bagus. Gimana kalo di Express CafĂ©? Sekalian kita bisa ngopi dan wifi gratis disana.”

“Boleh, hari sabtu besok jam 7 malam aku tunggu disana,” kata Nathan kemudian melambai pergi menuju motornya. Sekali lagi dia tersenyum.

Aku membalas lambaian tangannya. “Sepertinya dia memang percaya diri dengan senyumannya itu,” gumamku nggak percaya. Aku segera berbalik arah menuju kantin. Aku sampai lupa kalau ada janji dengan Renata disana. Sepertinya tugas-tugas kampus ini memang sudah menyita perhatianku.


**

to be continued!!!

No comments:

Post a Comment