Becca
dan Emile mengunjungi kampusku hari ini. Mereka sangat ribut sampai-sampai
petugas perpustakaan menegur kami agar bisa diam. Betapa memalukannya! Mereka
datang untuk meminta Renata menjadi modelnya di tugas peragaan busana mereka
berdua. Dalam tugas ini mereka memerlukan seorang peraga agar pakaian yang
mereka buat benar-benar bisa dinilai secara keseluruhan. Karena Renata pernah
mengikuti lomba modeling, akhirnya dia dipilih oleh Becca dan Emile.
“Kalian
kenal cowok itu?” tanya Emile tiba-tiba menunjuk seseorang dengan dagunya di
deretan bangku paling ujung.
“Oh,
itu Nathan. Kenapa? Kau juga tertarik sama dia?” tanyaku sambil terus membaca
ensiklopedia di depanku.
“Dia
lumayan keren. Dia pasti tertarik padaku kalau nggak terus-terusan melihat ke
arahmu, Stevie,” jawab Emile menyenggolkan sikunya ke pinggangku. Kusipitkan
mataku memastikan perkataan Emile. Aku nggak salah dengar? Ngapain Nathan
melihatku? Ada-ada saja. Lagi pula yang kulihat dia sedang asik membaca dan
tidak sedang melihat siapa-siapa.
“Sudah
kuduga sejak awal. Tapi Stevie nggak percaya,” sahut Renata. Kenapa dia
seantusias ini membicarakan aku sementara aku jelas-jelas ada di depannya
sekarang? Selain cantik dan pintar, ternyata dia juga memiliki kebiasaan aneh;
membicarakan orang lain ketika orang itu ada di depannya. “Aku sudah sering
mangawasi Nathan sejak dia datang ke kampus ini beberapa bulan yang lalu. Dia
sering duduk tepat di belakang Stevie kalau di kelas.”
“Darimana
kamu tau? Kamu masuk ke kelasku ya?” tanyaku sedikit curiga.
“Aku
sering lewat mengantarkan pesanan Giselle, teman sekelasmu itu. Awalnya aku
nggak memikirkannya. Tapi karena terlalu sering kulihat dia sengaja pindah
tempat duduk di belakangmu, makanya aku jadi memperhatikannya,” kata Renata
semangat. “Aku juga sering melihatnya mengawasimu dimana pun dia melihatmu.
Entah itu hanya kebetulan atau memang sengaja, tapi berani taruhan deh kalau
dia memang sedang melihatmu.”
“Wah,
ada yang punya secret admirer nih,”
ejek Becca mengedipkan matanya padaku.
“Kalian
ini senang sekali mengurusi kehidupan orang lain ya? Biarkan saja melihat
siapapun yang dia ingin lihat. Lagipula aku juga tidak yakin dia melihat ke
arahku. Pasti ada orang lain yang sedang dia lihat,” jawabku menolak pendapat
Renata. Saat itu Renata cemberut menatapku karena merasa dirinya hanya dianggap
berbohong.
“Haish,
bagaimana bisa kamu nggak merasa senang dilihat sama cowok keren kayak dia?”
tanay Emile dengan nada tidak percaya.
“Apa
untungnya hanya dilihat sama cowok keren saja?” jawabku sambil memutar mata
pura-pura tidak menghiraukan mereka.
“Benar-benar!
Lalu maumu apa kalau tidak ada untungnya jika hanya dilihat saja? Sudah untung
ada yang mau lihat. Begitu pun masih minta lebih,” sahut Becca menutup buku yang
sedang kubaca.
“Hei!
Bukan begitu maksudku. Sudahlah berhenti membicarakan dia. Bicarakan saja fashion show yang kalian rencanakan
untuk tugas kalian,” sahutku sedikit dengan nada jengkel. Aku memang tidak
ingin membicarakan Nathan dengan mereka. Karena mereka pasti membuatku semakin
penasaran orang seperti apa Nathan itu. Setelah itu aku pasti akan mencari tau
tantang dia, terlalu peduli kehidupan Nathan, nggak fokus belajar dan akhirnya
bisa dibayangkan aku pasti jadi gila karena nilaiku turun semua! Siapa peduli
apa yang mereka katakana tentangku. Meskipun aku juga sedikit mengagumi Nathan
dan ingin tau apakah dia benar-benar sedang melihatku. Ah, sudahlah.
**
Sejak
Renata bilang Nathan sering memperhatikanku diam-diam, aku jadi berpikir yang
aneh tentang dia. Maksudku, aku jadi berpikir kalau waktu itu dia sengaja jadi
partnerku untuk mendekatiku. Lalu dia sengaja mengajakku mengerjakan tugas di
Express Café supaya lebih leluasa dan membuat suasana menjadi berbeda. Uhm,
tapi bukankah aku yang menawarkan tempat itu untuk kerja kelompok? Dasar! Entah
apapun yang sedang kupikirkan, yang jelas aku jadi lebih sering
memperhatikannya dan aku sendiri tidak melihat tanda-tanda kalau dia juga
memperhatikanku. Anehnya lagi aku jadi menjauh dari Nathan. Apanya yang sedang
kujauhi? Aku benar-benar merasa aneh sekarang.
“Kamu
baik-baik saja?” tanya Nathan sengaja mengambil posisi duduk di belakangku.
Aku
menoleh dan tersenyum kikuk padanya. Memang benar-benar canggung setelah Renata
menceritakan hal-hal tidak masuk akal itu padaku. “Aku baik-baik saja. Apa aku
terlihat sedang sakit?”
“Bukan
begitu. Hanya saja sepertinya kamu sedikit menjauhiku,” jawabnya menatapku.
Oh,
matanya itu! Jangan biarkan aku menatapnya terlalu lama atau aku akan berlubang
karena tatapannya itu. “Ah, itu hanya perasaanmu saja. Aku tidak menjauhi
siapapun. Buat apa aku menjauhimu? Apa alasanku menjauhimu?” jawabku sekaligus
bertanya padanya (atau mungkin aku sedang bertanya pada diriku sendiri).
“Itulah
yang ingin kutanyakan padamu,” sial jawabannya membalikkan pertanyaanku. Aku
merasakan darah di seluruh tubuhku tiba-tiba berkumpul di kepalaku sampai aku
merasa pusing tiba-tiba. Aku bisa merasakan mukaku memerah saat ini. Apa yang
harus kulakukan?
Mr.
Ronald menyelamatkanku dengan kedatangannya. Aku merasa sedikit lega karena
tidak perlu menoleh ke belakang ke arah Nathan. Meskipun aku masih merasa nggak
nyaman, seolah aku bisa melihat kalau Nathan masih memandangku. Rasanya jam
dinding itu nggak bergerak sama sekali. Kenapa waktu begitu berjalan dengan
lambat? Mr. Ronald membagikan tugas kami minggu lalu. Skor A- yang kudapat
nggak terlalu buruk juga rasanya. Teman yang duduk di depanku memberikan tugas
Nathan supaya aku mengoper kepadanya. Di ujung makalah itu tertulis A+. Aku
langsung mengopernya ke belakang.
“Nggak
mau lihat isinya?” tanya Nathan mencondongkan badannya ke depan. Aku hanya
menggelengkan kepala. “Nggak penasaran?” tanyanya lagi kemudian kembali ke
posisi duduknya yang semula. Aku menoleh ke belakang, dia membuka halaman
terakhir tugasnya itu.
“Nggak
deh,” jawabku menggelengkan kepala lagi. Tentu saja aku penasaran setengah
mati! Tapi mana mungkin aku meminjamnya dari Nathan hanya untuk membaca tentang
diriku yang ditulis olehnya. Entah ekspresi macam apa yang Nathan tunjukkan padaku
sekarang. Mungkin dia sedikit terkejut, bingung atau malah kecewa. Aku nggak
tau.
Dia
berdiri dari tempat duduknya, “Aku mau ke belakang dulu.” Dia berjalan keluar
ruang kelas dan membiarkan tugasnya itu terbuka begitu saja. Aku penasaran apa
sih yang dia tulis di dalamnya? Kugeser tugas itu supaya aku bisa membacanya,
biarpun nggak semuanya paling tidak bagian kesimpulannya sudah cukup untuk
merangkum semua tulisannya.
"Stevie
is special, but she does not realize that. The only weakness she has is she's
not confident with herself. Stevie just needs to see herself as people see her.
So, she will understand that she is braver, stronger, and more beautiful than
she can imagine. When she finds her confidence, there is no other Lorena in
this world that will see Stevie as a pity cat, but as a strong lioness."
Aku
terbelalak membaca kalimat terakhir dari tugas Nathan itu. Benarkah aku
sesempurna itu? Dia menganggapku cantik? Apa itu yang Nathan tulis tadi? Aku
segera mengembalikannya saat kulihat Nathan sudah muncul di depan pintu kelas.
Sebelum dia duduk, dia terenyum padaku seperti biasa gayanya. Sial! Nathan
pasti menyadari aku sudah membaca tugasnya. Aku nggak sadar sudah meletakkannya
ke arah yang berlawanan dari posisi semula. Ceroboh sekali!
“Hanya
perlu meminta saja, pasti kupinjamkan tugasku sama kamu,” celetuknya dengan
sedikit tersenyum simpul. Dia pasti menyadari mukaku memerah saat ini. Aku
benar-benar nggak bisa bergerak rasanya.
“Kamu
yakin nggak menulis yang aneh-aneh di tugas itu?” tanyaku mencoba menemukan
kalimat yang pas dan semoga nggak membuatku kelihatan tambah aneh di depannya.
“Nggak
lah. Mana mungkin aku sejahat itu. Semua yang kutulis disini adalah yang paling
jujur yang kulihat dari dirimu,” jawabnya dengan menatapku. Aku benar-benar
membeku sekarang. Maksudmu, kamu jujur bilang aku istimewa atau cantik? Bukan
karena kamu mau dapat nilai A+ itu?
Sejak
saat itulah aku mulai menggumi Nathan. Dia nggak pernah menunjukkan sikap yang
berlebihan padaku, tapi aku tau dia memang sering memperhatikanku seperti yang
pernah Renata bilang. Meskipun aneh, tapi aku cukup menikmatinya saat ini
mengetahui bahwa ada seseorang yang mengagumimu secara diam-diam. Entah akan
berjalan sampai kapan, yang jelas saat ini aku dan Nathan sama-sama saling
mengagumi tanpa pernah berbicara satu sama lain lagi. Cukup tau saja, asalkan
senyuman dan matanya itu masih ditujukan untukku. Biarkan dalam keheningan ini
rasa itu berbicara.
THE END.
No comments:
Post a Comment