Si Popeye Suka Makan Bayam

"I AM JUST A LITTLE GIRL WHO NEVER STOP DREAMING"

September 16, 2014

KU KAGUMI KAU DALAM SECANGKIR KOPI #4 End

Becca dan Emile mengunjungi kampusku hari ini. Mereka sangat ribut sampai-sampai petugas perpustakaan menegur kami agar bisa diam. Betapa memalukannya! Mereka datang untuk meminta Renata menjadi modelnya di tugas peragaan busana mereka berdua. Dalam tugas ini mereka memerlukan seorang peraga agar pakaian yang mereka buat benar-benar bisa dinilai secara keseluruhan. Karena Renata pernah mengikuti lomba modeling, akhirnya dia dipilih oleh Becca dan Emile.

“Kalian kenal cowok itu?” tanya Emile tiba-tiba menunjuk seseorang dengan dagunya di deretan bangku paling ujung.

“Oh, itu Nathan. Kenapa? Kau juga tertarik sama dia?” tanyaku sambil terus membaca ensiklopedia di depanku.

“Dia lumayan keren. Dia pasti tertarik padaku kalau nggak terus-terusan melihat ke arahmu, Stevie,” jawab Emile menyenggolkan sikunya ke pinggangku. Kusipitkan mataku memastikan perkataan Emile. Aku nggak salah dengar? Ngapain Nathan melihatku? Ada-ada saja. Lagi pula yang kulihat dia sedang asik membaca dan tidak sedang melihat siapa-siapa.

“Sudah kuduga sejak awal. Tapi Stevie nggak percaya,” sahut Renata. Kenapa dia seantusias ini membicarakan aku sementara aku jelas-jelas ada di depannya sekarang? Selain cantik dan pintar, ternyata dia juga memiliki kebiasaan aneh; membicarakan orang lain ketika orang itu ada di depannya. “Aku sudah sering mangawasi Nathan sejak dia datang ke kampus ini beberapa bulan yang lalu. Dia sering duduk tepat di belakang Stevie kalau di kelas.”

“Darimana kamu tau? Kamu masuk ke kelasku ya?” tanyaku sedikit curiga.

“Aku sering lewat mengantarkan pesanan Giselle, teman sekelasmu itu. Awalnya aku nggak memikirkannya. Tapi karena terlalu sering kulihat dia sengaja pindah tempat duduk di belakangmu, makanya aku jadi memperhatikannya,” kata Renata semangat. “Aku juga sering melihatnya mengawasimu dimana pun dia melihatmu. Entah itu hanya kebetulan atau memang sengaja, tapi berani taruhan deh kalau dia memang sedang melihatmu.”

“Wah, ada yang punya secret admirer nih,” ejek Becca mengedipkan matanya padaku.

“Kalian ini senang sekali mengurusi kehidupan orang lain ya? Biarkan saja melihat siapapun yang dia ingin lihat. Lagipula aku juga tidak yakin dia melihat ke arahku. Pasti ada orang lain yang sedang dia lihat,” jawabku menolak pendapat Renata. Saat itu Renata cemberut menatapku karena merasa dirinya hanya dianggap berbohong.

“Haish, bagaimana bisa kamu nggak merasa senang dilihat sama cowok keren kayak dia?” tanay Emile dengan nada tidak percaya.

“Apa untungnya hanya dilihat sama cowok keren saja?” jawabku sambil memutar mata pura-pura tidak menghiraukan mereka.

“Benar-benar! Lalu maumu apa kalau tidak ada untungnya jika hanya dilihat saja? Sudah untung ada yang mau lihat. Begitu pun masih minta lebih,” sahut Becca menutup buku yang sedang kubaca.

“Hei! Bukan begitu maksudku. Sudahlah berhenti membicarakan dia. Bicarakan saja fashion show yang kalian rencanakan untuk tugas kalian,” sahutku sedikit dengan nada jengkel. Aku memang tidak ingin membicarakan Nathan dengan mereka. Karena mereka pasti membuatku semakin penasaran orang seperti apa Nathan itu. Setelah itu aku pasti akan mencari tau tantang dia, terlalu peduli kehidupan Nathan, nggak fokus belajar dan akhirnya bisa dibayangkan aku pasti jadi gila karena nilaiku turun semua! Siapa peduli apa yang mereka katakana tentangku. Meskipun aku juga sedikit mengagumi Nathan dan ingin tau apakah dia benar-benar sedang melihatku. Ah, sudahlah.

**

Sejak Renata bilang Nathan sering memperhatikanku diam-diam, aku jadi berpikir yang aneh tentang dia. Maksudku, aku jadi berpikir kalau waktu itu dia sengaja jadi partnerku untuk mendekatiku. Lalu dia sengaja mengajakku mengerjakan tugas di Express Café supaya lebih leluasa dan membuat suasana menjadi berbeda. Uhm, tapi bukankah aku yang menawarkan tempat itu untuk kerja kelompok? Dasar! Entah apapun yang sedang kupikirkan, yang jelas aku jadi lebih sering memperhatikannya dan aku sendiri tidak melihat tanda-tanda kalau dia juga memperhatikanku. Anehnya lagi aku jadi menjauh dari Nathan. Apanya yang sedang kujauhi? Aku benar-benar merasa aneh sekarang.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Nathan sengaja mengambil posisi duduk di belakangku.

Aku menoleh dan tersenyum kikuk padanya. Memang benar-benar canggung setelah Renata menceritakan hal-hal tidak masuk akal itu padaku. “Aku baik-baik saja. Apa aku terlihat sedang sakit?”

“Bukan begitu. Hanya saja sepertinya kamu sedikit menjauhiku,” jawabnya menatapku.

Oh, matanya itu! Jangan biarkan aku menatapnya terlalu lama atau aku akan berlubang karena tatapannya itu. “Ah, itu hanya perasaanmu saja. Aku tidak menjauhi siapapun. Buat apa aku menjauhimu? Apa alasanku menjauhimu?” jawabku sekaligus bertanya padanya (atau mungkin aku sedang bertanya pada diriku sendiri).

“Itulah yang ingin kutanyakan padamu,” sial jawabannya membalikkan pertanyaanku. Aku merasakan darah di seluruh tubuhku tiba-tiba berkumpul di kepalaku sampai aku merasa pusing tiba-tiba. Aku bisa merasakan mukaku memerah saat ini. Apa yang harus kulakukan?

Mr. Ronald menyelamatkanku dengan kedatangannya. Aku merasa sedikit lega karena tidak perlu menoleh ke belakang ke arah Nathan. Meskipun aku masih merasa nggak nyaman, seolah aku bisa melihat kalau Nathan masih memandangku. Rasanya jam dinding itu nggak bergerak sama sekali. Kenapa waktu begitu berjalan dengan lambat? Mr. Ronald membagikan tugas kami minggu lalu. Skor A- yang kudapat nggak terlalu buruk juga rasanya. Teman yang duduk di depanku memberikan tugas Nathan supaya aku mengoper kepadanya. Di ujung makalah itu tertulis A+. Aku langsung mengopernya ke belakang.

“Nggak mau lihat isinya?” tanya Nathan mencondongkan badannya ke depan. Aku hanya menggelengkan kepala. “Nggak penasaran?” tanyanya lagi kemudian kembali ke posisi duduknya yang semula. Aku menoleh ke belakang, dia membuka halaman terakhir tugasnya itu.

“Nggak deh,” jawabku menggelengkan kepala lagi. Tentu saja aku penasaran setengah mati! Tapi mana mungkin aku meminjamnya dari Nathan hanya untuk membaca tentang diriku yang ditulis olehnya. Entah ekspresi macam apa yang Nathan tunjukkan padaku sekarang. Mungkin dia sedikit terkejut, bingung atau malah kecewa. Aku nggak tau.

Dia berdiri dari tempat duduknya, “Aku mau ke belakang dulu.” Dia berjalan keluar ruang kelas dan membiarkan tugasnya itu terbuka begitu saja. Aku penasaran apa sih yang dia tulis di dalamnya? Kugeser tugas itu supaya aku bisa membacanya, biarpun nggak semuanya paling tidak bagian kesimpulannya sudah cukup untuk merangkum semua tulisannya.

"Stevie is special, but she does not realize that. The only weakness she has is she's not confident with herself. Stevie just needs to see herself as people see her. So, she will understand that she is braver, stronger, and more beautiful than she can imagine. When she finds her confidence, there is no other Lorena in this world that will see Stevie as a pity cat, but as a strong lioness."

Aku terbelalak membaca kalimat terakhir dari tugas Nathan itu. Benarkah aku sesempurna itu? Dia menganggapku cantik? Apa itu yang Nathan tulis tadi? Aku segera mengembalikannya saat kulihat Nathan sudah muncul di depan pintu kelas. Sebelum dia duduk, dia terenyum padaku seperti biasa gayanya. Sial! Nathan pasti menyadari aku sudah membaca tugasnya. Aku nggak sadar sudah meletakkannya ke arah yang berlawanan dari posisi semula. Ceroboh sekali!

“Hanya perlu meminta saja, pasti kupinjamkan tugasku sama kamu,” celetuknya dengan sedikit tersenyum simpul. Dia pasti menyadari mukaku memerah saat ini. Aku benar-benar nggak bisa bergerak rasanya.

“Kamu yakin nggak menulis yang aneh-aneh di tugas itu?” tanyaku mencoba menemukan kalimat yang pas dan semoga nggak membuatku kelihatan tambah aneh di depannya.

“Nggak lah. Mana mungkin aku sejahat itu. Semua yang kutulis disini adalah yang paling jujur yang kulihat dari dirimu,” jawabnya dengan menatapku. Aku benar-benar membeku sekarang. Maksudmu, kamu jujur bilang aku istimewa atau cantik? Bukan karena kamu mau dapat nilai A+ itu?


Sejak saat itulah aku mulai menggumi Nathan. Dia nggak pernah menunjukkan sikap yang berlebihan padaku, tapi aku tau dia memang sering memperhatikanku seperti yang pernah Renata bilang. Meskipun aneh, tapi aku cukup menikmatinya saat ini mengetahui bahwa ada seseorang yang mengagumimu secara diam-diam. Entah akan berjalan sampai kapan, yang jelas saat ini aku dan Nathan sama-sama saling mengagumi tanpa pernah berbicara satu sama lain lagi. Cukup tau saja, asalkan senyuman dan matanya itu masih ditujukan untukku. Biarkan dalam keheningan ini rasa itu berbicara.

THE END.


No comments:

Post a Comment