Sabtu
sore ini aku menemani Dad berbelanja kebutuhan kami. Mom sedang pergi mengurus
bisnisnya di luar negeri. Aku bersyukur karena untuk kali ini Dad sedang tidak
ada proyek kerja sehingga bisa menemaniku di rumah. Orang tuaku memang selalu sibuk
dengan pekerjaannya, tapi mereka selalu menyiapkan waktu istimewa buatku paling
tidak sebulan sekali. Mungkin karena itu juga aku tidak punya saudara. Mom dan
Dad tidak akan sempat mengurusi aku dan saudaraku jika aku benar-benar punya
saudara.
“Bagaimana
dengan kuliahmu, Stevie?” tanya Dad sembari memilih-milih sayuran yang akan
kami beli.
“Baik.
Hanya saja aku sedikit kerepotan dengan tugas-tugas yang harus ku kerjakan.
Sementara pelajaran yang kuambil hampir semuanya membosankan dan tidak terlalu
penting untuk bidangku.”
“Kenapa
bisa begitu?” tanya Dad agak sedikit terkejut.
“Aku
sudah mengambil semua mata kuliah inti di dua semester terakhir yang lalu. Kali
ini hanya perlu memenuhi nilai yang harus kuambil saja. Bagaimana kalau aku
magang kerja di tempat Dad saja?” tanyaku memberi pendapat. Aku memang berharap
segera mendapat pekerjaan setelah lulus nanti. Apa salahnya belajar lebih
banyak di perusahaan tempat Ayahku bekerja? Malah lebih bagus dari pada aku
hanya mendapatkan teori di ruang kelas.
“Tidak
bisa. Dad kan selalu memintamu fokus belajar saja. Dad dan Mom masih bisa
menanggung biaya hidupmu. Masalah kerjaan akan datang sendiri mencarimu, kamu
ini anak yang cerdas,” aku tau jawabannya akan selalu seperti itu. “Lagi pula
Dad berharap kamu dapat posisi yang lebih bagus daripada Dad. Satu hal lagi Dad
tidak akan merekomendasikan kamu bekerja di perusahaan Dad.”
“Haish,
setahuku setiap orang tua ingin anaknya mewarisi semua usaha mereka. Kenapa Dad
malah melarangku? Benar-benar sulit dipercaya” sahutku asal. Kemudian Dad
menjitak kepalaku.
“Itu
berlaku bagi keluarga CEO dan jajarannya. Kedudukan apa yang bisa Dad tawarkan
padamu? Makanya kalau kamu ingin mewariskan kedudukan untuk anakmu nanti maka
jadilah pemilik perusahaan, jangan jadi pegawai.”
“Ah,
malas sekali. Kalau begitu aku mau jadi anak kuliahan saja terus. Hidupku bisa
kalian jamin selamanya hahaha….” Ejekku. Aku sangat menyukai ekspresi Dad saat
aku mengganggunya. Dia adalah salah satu dari sekian banyak Ayah yang keren di
dunia ini. Orang tuaku bukan hanya sekedar jadi orang tua saja, tapi juga bisa
jadi sahabat, saudara dan bahkan rival yang terbaik untukku.
“Dasar
anak nakal. Apa gunanya hidup kalau begitu? Aku menyekolahkanmu tinggi-tinggi
supaya kamu bisa mendapat pekerjaan yang lebih baik dariku. Sehingga Mom dan
Dad bisa segera beristirahat untuk menikmati masa tua kami. Atau paling tidak
menikahlah dengan anak sorang pengusaha kaya biar kamu bisa langsung naik
pangkat dan membahagiakan Dad mu ini,” ujar Dad setengah melotot. Aku tau dia
hanya bercanda. Dia selalu mengatakannya setiap kali aku mengelak untuk
mengerjakan sesuatu.
“Sekalian
saja aku menikah dengan Pengusaha kaya raya yang tua bangka, jadi akan lebih
cepat buatku untuk menguasai hartanya. Dasar, lebih bagus biarkan saja aku
bekerja untuk sementara waktu ini supaya aku bisa mengurangi pengeluaranmu,
Dad.” Dia hanya menggelengkan kepala. “Nanti malam aku akan pergi mengerjakan
tugas dengan temanku. Mungkin aku akan pulang terlambat malam ini. Jadi makan
malamlah dulu, jangan menunggu aku.”
“Dengan
Renata?” tanya Dad tidak terlalu menanggapi perkataanku. Astaga, Dad pikir
hanya Renata saja temanku? Mungkin Dad pikir anaknya ini termasuk anak yang
kuper di kampus. Mana mungkin seperti itu. Lagipula Ranata dan aku berbeda jurusan.
“Bukan,
temanku yang lain. Namanya Nathan.”
Dad
agak terkejut mendengarku menyebutkan nama cowok. Yah, aku memang jarang menceritakan
teman-teman cowokku pada Dad. Dia hanya tau Hans saja karena memang selama satu
semester ini aku “terpaksa” bekerja sama dengannya. “Nathan? Oh, jenis teman
seperti apa itu?”
“Hahaha….
Dia hanya sejenis manusia spesies kita.”
“Baiklah,
memang terdengar sedikit aneh. Uh-oh Stevie punya pacar!” ejek Dad.
“Oh,
sudahlah. Dia hanya teman kelompokku saja,” jawabku nyengir. Aku tidak berniat
membicarakannya lagi dengan Dad soal ini.
**
Nathan
sudah duduk di salah satu pojok café saat aku tiba disana. Dia sedang asik
mendengarkan sesuatu di iPod-nya. Kelihatanya dia hanya mebawa satu buku
catatan, bolpoin, dan laptop yang sudah dia letakkan diatas meja café. Rupanya
dia sudah memesan minuman duluan. Jadi aku tinggal pesan minumanku terlebih
dulu sebelum aku datang menemuinya.
“Hai,
Nathan.”
“Hai,
Stevie,” sahutnya lalu mematikan iPod yang dipegangnya sedari tadi. “Apa
kabarmu?”
“Sangat
baik,” jawabku sambil meletakkan Coffee
Hot Chocolate-ku diatas meja.”Sudah lama ada di sini?”
“Sejak
setengah jam yang lalu. Aku sengaja datang lebih dulu untuk menikmati suasana
café ini,” ujarnya sambil mengangkat gelas kopinya dan meminum sedikit.
“Ngomong-ngomong
kopi apa yang kamu pesan?” tanyaku sedikit penasaran. Kata orang ‘kopi yang
kamu minum mencerminkan pribadi yang seperti apa kamu’. Makanya aku sedikit
ingin tau juga kopi jenis apa yang dia minum. Aku agak banyak tahu filosofi
tentang kopi. Paling tidak aku bisa menebak kelas seseorang dilihat dari selera
meminum kopinya.
“Mint mocha-chip frappycap affogato style.”
“Frappycap affogato style?” ulangku,
hampir terdengar sedikit curiga dan nggak percaya. Nggak semua pecinta kopi
yang mengerti artinya affogato.
Sebenarnya, affogato adalah sejenis frappycap dengan espresso yang mengapung
diatasnya. Baiklah, aku mulai tertarik dengan selera Nathan. Biasanya penyuka
kopi jenis ini orangnya sangat asik dan susah ditebak. Kita lihat saja apa
Nathan memang seperti yang kupikirkan.
“Iya,
kenapa? Memangnya ada yang salah?” tanya Nathan.
“Enggak
kok. Nggak sama sekali. Hanya sedikit terkejut saja,” jawabku canggung. Aku
bisa merasakan semua darahku merayap ke muka sehingga rasanya sedikit panas.
Bisa taruhan pasti mukaku memerah saat ini. Seandainya ada kaca! Kenapa tempat
ini jadi lebih indah dari biasanya ya? Hanya perasaanku saja atau karena aku
datang kesini dengan dia? Pikiran aneh dari mana ini?
“Kadang-kadang
kamu ini aneh lho, Stevie,” sahutnya.
Aku
hanya mengiyakannya saja. Aku memang seperti itu kok. Kami mulai mengerjakan
wawancara ini. Banyak hal yang diceritakan Nathan tentang dirinya. Dan aku
lebih tertarik bertanya tentang masa lalunya. Dia bercerita tentang masa
kecilnya yang sangat usil. Jadi waktu itu dia dan temannya bernama Mike sedang
bermain misi mengerjai orang-orang yang lewat di depan rumah mereka dengan
menyemprotkan air dari water gun.
Tentu saja banyak yang memarahi mereka, tapi tetap saja mereka melanjutkan
kenakalannya itu. Sampai tiba-tiba ada orang gila yang tanpa sengaja ikut
tersemprok air oleh mereka. Spontan si orang gila yang kaget itu mengejar
mereka berdua yang berlari sambil menangis minta tolong. Sejak saat itulah
Nathan tidak mau bermain water gun
lagi di depan rumah.
Ternyata
memang seperti perkiraanku, asik dan susah ditebak. Bahkan setelah selesai aku
mewawancarainya, masih ada rasa ingin tahuku yang sebenarnya masih mau
kutanyakan. Tapi aku takut dikira sok dekat. Jadi kuurungkan saja niatku itu.
“Ada
satu hal lagi yang ingin ku tanyakan padamu sebelum menutup wawancaraku,”
kataku sedikit serius untuk kali ini. “Sebelum pindah kesini kamu kan tinggal
di Amerika dan belajar disana. Kenapa kamu pindah kesini?”
“Pertanyaan
yang bagus,” dia memuji. “Dari kecil aku sudah ada disana. Bahkan seolah aku
ini berkewarganagaraan Amerika. Sampai titik kemarin sebelum aku memutuskan
pindah kemari, aku merasa harus kembali ke negaraku. Selain karena aku ingin
berkumpul dengan keluargaku.”
“Jadi
selama disana kamu nggak tinggal dengan orang tuamu?”
“Nggak.
Aku tinggal di apartemen yang sudah mereka siapkan untukku. Lima bulan sekali
mereka datang ke sana untuk menemuiku. Kalau masalah pendidikan, ada
sekretarisku yang mengurusi semuanya,” jelasnya. Wow, sejak kecil dia sudah
punya sekretaris pribadi. Orang kaya level berapa dia ini? Tapi kasihan juga.
Bisa dibilang dia adalah anak sekretasisnya bukan anak Mom dan Dadnya. Aku
tertawa sendiri dalam hati memikirkannya.
Tiba-tiba
muncul sesosok cewek penyihir yang sama sekali nggak ingin aku temui dari pintu
masuk café. Lorena! Ngapain dia kesini sementara aku juga sedang ada di sini?
Benar-benar hari yang tidak bagus buatku. Nathan melihat bingung ke arahku. Dia
pasti menyadari ekspresi muak yang tiba-tiba dari raut mukaku. “Kamu kenapa?”
“Tiba-tiba
aku nggak enak badan.”
“Kamu
mau ke belakang dulu?” Nathan bertanya. Dia pasti berpikir kalau aku sedang
terserang diare atau semacamnya.
Sebelum
sempar aku mengelak pergi, Lorena sudah buru-buru datang menghampiriku.
“Stevie!” serunya seperti kami ini teman dekat aja. Aku memalingkan muka
memasang ekspresi ingin muntah saat dia mendekati mejaku. “Sedang apa kamu
disini? Apa ini masih jadi tempat favoritmu dulu?”
“Sudahlah,
Lorena. Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu malam ini. Kamu lihat aku
sedang sibuk sekarang,” jawabku ketus. Nathan hanya memandangi bingung antara
aku dan Lorena.
“Wah,
dia sangat lucu ya?” katanya menoleh ke Nathan. “Kamu siapa? Pacar barunya
Stevie ya? Kok mau sih sama cewek tukang ketut kayak dia? Dia kalau kentut bau
banget lho. Mendingan hati-hati, mungkin kentutnya itu bervirus yang bisa bikin
kamu diare seminggu penuh.”
“Apa?”
tanya Nathan melihat ke arahku bingung. Aku merasa mukaku benar-benar merah
padam sekarang. Oh, Lorena beraninya kau mempermalukan aku di depan Nathan! Benar-benar
akan ku bunuh kamu malam ini! Ya ampun, aku bersumpah akan segera membalas
perlakuanmu ini. Aku menunduk membaca catatanku sambil berdoa agar Lorena cepat
pergi dari sini atau aku akan benar-benar menyiramnya dengan minumanku.
“Oh,
baiklah. Sayang sekali aku tidak bisa lama-lama disini. Aku ada KENCAN sebentar
lagi dan teman kencanku tau kalau aku tidak suka kentut sembarangan,” kata
Lorena sambil melirikku sinis. Kemudian dia pergi sambil menggoyangkan
pinggulnya. Aku yakin dia sedang menggoda Nathan tapi malah terlihat seperti
cewek lebay yang perlu terapi kejiwaan.
“Siapa
sih dia?” tanya Nathan padaku dengan ekspresi keheranan. Aku menarik nafas
dalam-dalam mencoba menetralkan emosiku yang dikacaukan lorena barusan.
“Dia
cuma cewek yang perlu operasi kepribadian waktu aku masih sekolah dulu.”
“Kelakuannya
seperti nenek sihir,” ucap Nathan agak mengernyitkan alisnya.
“Oh….
Aku sangat setuju,” kataku sambil berkacak pinggang melihat keluar mengamati
Lorena yang menyebrang jalan. Kami sama-sama mengamati Lorena sampai dia
menghilang di antara kerumunan orang di seberang sana. “Benar-benar
menjengkelkan.”
“Kenapa
kalian bisa begitu?” tanya Nathan.
“Dia
punya misi untuk menyiksaku di sekolah menengah dulu. Saat kami sudah lulus kukira
semua sudah berakhir. Tapi ternyata dia menemukanku lagi!” jawabku jengkel.
Kemudian aku menceritakan kenapa aku bisa dipanggil Stevie si Tukang Kentut
oleh Lorena. Dia tertawa mendengar ceritaku, tapi jelas itu bukan ekspresi yang
merendahkan. Aku juga menceritakan beberapa cerita memalukan yang kualami
gara-gara ulah Lorena. Seperti waktu guru bahasa Perancis memintaku meminjam
pensil pada Lorena. Entah bagaimana aku malah menyebut Lorena “babi”. Dan dari
situlah situasi bertambah buruk buatku.
“Kenapa
nggak kamu hajar saja dia?” tanyanya sambil menaikkan alis mata kanannya.
“Hajar
dia?” tanyaku malas. “Entahlah. Seandainya aku cowok. Aku juga belum pernah
memukul seseorang. Lagipula kalau di depannya, seberapa percaya diri pun diriku
dalam 15 detik pasti berubah menjadi seekor kucing yang basah kuyub tersiram
air comberan. Tiba-tiba saja semua keberanianku seperti hilang.”
“Aku
hanya bercanda, Stevie,” ujar Nathan tersenyum memandangiku menjawab
pertanyaannya dengan konyol. “Sudah pernah mencoba berbicara dengan Lorena?
Maksudku hanya kalian berdua?”
Berbicara
dengan Lorena itu malah terdengar seperti ‘membuang-buang waktu’ atau ‘nggak
penting untuk dikerjakan’. Aku menarik nafas dalam-dalam, “Nggak akan pernah
bisa. Lihat saja tadi, setiap kali dia bertemu denganku maka hal itulah yang
akan dia lakukan dari awal sampai akhir. Mempermalukanku.”
“Ya,
siapa tau aja sih,” lanjut Nathan kemudian meminum frappycap affogato-nya. Lalu tangannya sibuk membuat coretan.
“Yang
tadi itu rahasia. Jangan masukkan sebagai bahan makalahmu,” kataku. Aku punya
firasat buruk kalau dia mungkin akan menulis semua cerita memalukanku tadi
kedalam tugasnya.
“Entahlah,
kita lihat saja nanti,” jawabnya enteng dengan senyum (yang manis seperti
biasanya) mengembang di wajahnya.
“Awas
saja kalau kau berani!”
**
“Hei,
apa saja yang kalian lakukan kemarin Sabtu?” Renata nggak sabar menunggu
ceritaku tentang Nathan. Aku tidak tau apa yang para cewek-cewek ini lihat dari
Nathan sehingga membuat mereka tergila-gila. Astaga, aku merasa nggak normal
sendiri jika melihat cewek-cewek ini. Nathan memang keren, tapi aku nggak
tertarik sama sekali sama dia (minimal untuk saat ini).
“Ya
ngerjain tugas. Memangnya mau ngapain lagi?” jawabku cuek.
“Astaga,
kamu ini nggak bisa memanfaatkan kesempatan. Semua cewek-cewek di kampus ini
pengen bisa jalan dengan Nathan, tapi nggak pernah ada kesempatan. Sementara
kamu kesempatan terbuka lebar malah mengabaikannya begitu saja,” jelas Renata.
Dasar cewek! “Eh, mungkin Nathan tertarik padamu. Dari sekian banyak teman di
kelasmmu kenapa dia mau berpasangan denganmu. Itu kan aneh.”
“Kamu
yang aneh. Pikiranu terlalu tidak masuk akal. Maksudmu dia tertarik padaku
sehingga menjadikan aku sebagai partnernya? Lalu bagaimana denganku yang sering
berpartner dengan Hans? Kau juga berpikir aku tertarik padanya?”
“Bukan
begitu. Dari tatapannya padamu juga sudah aneh.”
“Kamu
yang aneh, bukan dia. Sudahlah…. Ayo cepat ke kampus. Aku harus mengumpul
laporanku sama Ma’am Vernie pagi ini,” sahutku. Renata segera memacu mobilnya
menyusuri jalanan yang kebetulan tidak terlalu ramai. Cuaca hari ini juga sedang
asik, tidak terlalu panas
Sesampainya
di kelas aku langsung duduk di meja paling belakang. Supaya kalau aku tidur
nggak kelihatan sama dosennya. Mata kuliah hari ini sama sekali nggak menarik
sih. Tiba-tiba Nathan duduk di sebelahku. Awalnya aku nggak sadar, sampai salah
seorang cewek di kelas menatap aneh ke arahku. Astaga! Cowok ini rupanya yang
membuatku jadi kelihatan aneh di kelas?
“Sejak
kapan kamu datang?” tanyaku sedikit terkejut.
“Dari
tadi. Kamu saja yang nggak sadar aku sudah duduk disini,” jawabnya santai
sambil meletakkan buku catatan dan bolpoinnya di meja. Dia ini mahasiswa yang
paling irit sepertinya. Buku catatannya cuma satu. Bolpoin pun isinya tinggal
untuk menulis satu kalimat lagi. Baju bermerek begitu mana mungkin nggak mampu
beli bolpoin satu biji? “Kenapa memandangiku? Ada yang salah?”
“Mana
mungkin aku memandangimu? Aku hanya kasihan saja melihatmu tidak punya bolpoin
cadangan. Padahal baju bermerek.”
“Kenapa
bolpoinku jadi masalah buatmu?” tanyanya datar. “Apa tugas bahasa inggrismu
sudah jadi?”
“Sudah.
Aku langsung menyelesaikannya sehabis kita mengerjakannya di café hari itu
juga. Apa punyamu sudah selesai juga?” tanyaku ganti.
“Tentu.
Akan ku kumpulkan hari ini.”
“Mau
ngumpulin bareng nggak? Uhm, boleh lihat?” tanyaku sambil melirik tugas bahasa
inggrisnya yang dia sempat buka di beberapa halaman secara acak.
“Nanti
ku kumpulkan sendiri. Kalau mau lihat nanti saja kalau sudah dikoreksi sama Mr.
Ronald,” jawabnya melarangku menengok makalah itu.
“Kamu
nggak penasaran dengan ceritamu yang kutulis di tugasku ini?” tanyaku kembali
sambil menyodorkan padanya tugasku.
“Aku
nggak penasaran,” jawabnya datar banget. Benar-benar dasar anak aneh. Bagaimana
mungkin dia tidak penasaran dengan apa yang aku tulis tentangnya? Memangnya apa
yang dia tulis di dalam tugasnya itu? Pasti hal-hal yang aneh tentangku. Aku hanya
sempat membaca ada beberapa nama yang tertulis disana. Ada nama Lorena juga.
Awas saja kalau dia benar-benar menulis ceritaku dengan Lorena yang nggak
sengaja aku ceritakan kemarin.
**
To be continued.