Si Popeye Suka Makan Bayam

"I AM JUST A LITTLE GIRL WHO NEVER STOP DREAMING"

December 09, 2014

Huuuaaaah, SIAPA YA?


Fall in love with this guy!! Yaaaaaayyyy.... News Anchor di M*tro TV nih yang lagi naik daun. Huueeeeh, coba perhatiin deh nih presenter berita yang punya nama #Rory Asyari ini. Ada sesuatu? Ada? Ada? Senyumnya itu hlooooo..... #Jedaaaar!! Bikin meleleh! Ga cuma Olaf yang di Frozen aja yang bisa melting. Gue lihat senyumnya juga langsung melting hahahaha.Gue langsung ter-crazy-crazy mantengin dia seharian.



Kesan awal pas gue lihat dia itu gue pelototin mukanya sampe udah mau copot mata gue hahaha. Sekali pas dia lagi tersenyum ke arah kamera.... Jedaaaaaarrrr!! Jleb! Senyumnya itu hloooo badaiiiii!!! Awawawawawaw aw aw aw.... Manis banget cuy. Duuuuh, ga tau lagi mau ngomong apaan nih. Pantengin sendiri aja foto-fotonya nih.


Ku pikir dia orang dari luar jawa awalnya. Cuma senyumnya kok kayak orang jawa gitu ya. Eh ternyata pas diselidiki wkwkwkwk.... Mas Bro ini asli SOLO....!!! Waaaaah, kita tetangga!! (Tetangka kota) Sial! Hepi banget deh gue. S1 dia juga ngambil di Universitas Sebelas Maret Solo kok. Sekarang aja yang lagi lanjut S2 ke London. Inggris coy! Inggris! Udah ganteng, pintar lagi! Hadeeuuuhh....

Sebelum jadi pembawa berita di M*tro TV, Mas Rory (ciee pake 'mas') sempat jadi penyiar radio dan pembawa berita juga di TV lokal di Solo. Kalo ditanya kenapa kok mau jadi pembawa berita TV? jawabannya adalah, "Karena saya mau menghilangkan gaya bahasa saya yang medhok jawa banget." Huahahahaha.... Jawanya kental banget sih memang. Sekarang aja kadang juga masih terbawa tuh di TV wkwkwkwk. Padahal medhok kan nggak dosa Mas....

Gue suka cowok yang smart kayak dia nih. Bukan cuma di tampang aja. Tapi kecerdasannya itu yang lebih penting untuk mendukung gaya dan mukanya yang unyu-unyu itu. Dari setiap pertanyaan ato kata-kata sederhana aja lah yang dia ucapkan waktu membawa berita juga udah ketahuan banget kalo dia itu smart guy. Gaya sih boleh keren (macho dan nggak melambai haha), tapi isi otak justru harus seimbang donk. Jangan koplak hahaha.

Dia juga termasuk orang yang nggak songong kalo udah di atas posisinya. Tau dari mana? Ada deeeeh.... Waktu ditanya kenapa nggak beli mobil aja buat pergi kerja? (Anyway, dia kalo pergi-pergi naik taksi mulu....) Jawabannya simple, "Ah, nggak mau nambahin macetnya Jakarta deh." Konyol. Itu beneran hlooo dia yang nyeletuk kayak begitu. Jadi selain dia adalah seorang profesional di bidangnya, tapi dia juga seru diajak ngobrol, easy going and definitely a candy eye!! Whhhooooooaaaaa ga nahan!

Ga ada biodata lengkap tentang Mas Rory ini. Pelit banget ngasih info nih cowok. Tapi kalo dilihat dari mukanya yang fresh, good looking, smart and of course macho abis itu pasti umurnya masih sekitar 24-25 lah. Tampangnya nggak ngebosenin. Mau dilihatin berapa kalipun ya tetep aja manis heuheuheu.... The Most Wanted Man In The World daaahh pokonya.... 

Lama-lama ngepantengin muka dia disini beneran meleleh deh gue. Hahahaiii.... Kayak begini kali ya rasanya Olaf merindukan 'musim panas' wkwkwkwk. Aaaaaaaahhhh, tidaaaaaaak! 

Yuhhhuuuu.... Udah ah. Lagian orangnya juga belum balik ke Indonesia kok hahaha.... Udah rempong banget dah gue kalo udah menyangkut masalah yang beginian hahaha.... Ga ada loe nggak rame!!! 
M-key bye! :)

Senyumnyaaa Mas'e!



Ganteng ga tuuuh? Hahaha....

December 05, 2014

LA FAVEUR

Kalo lagi diem begini ga ada kerjaan, suka banyak imajinasi yang berebut masuk ke dalam benakku. Coba aja ada kopi disini, pasti lebih lengkap. Sekarang lagi gerimis. Ku biarkan aja jendela terbuka. Biar percikan-percikan air hujannya bisa masuk kesini.

Sekarang ini atmosfirnya lagi mellow gimana gitu. Seakan hidup ini sedang berada di titik jenuh. Santai sejenak sambil menikmati aroma tanah basah ini sangat membantuku menetralkan pikiran yang sudah penuh sesak dengan berbagai urusan yang menggila melilit otak. Dari lantai bawah tercium bau ikan asin yang sedang di goreng. Udaranya jadi bercampur. Itulah perbedaan, memang beda tapi berwarna.

Aku pernah membayangkan duduk di suatu tempat yang damai banget. Kalo kamu bisa pergi kesana, pasti kamu nggak akan pernah ingin kembali. Damai banget. Aku sedang duduk di taman yang entah apa namanya dan dimana letaknya. Udaranya nggak panas, tapi juga nggak dingin. Sejuk aja. Banyak pepohonan tertanam rapi di sana-sini. Eh, ada satu lagi, ada pohon apel dengan buahnya yang sudah masak merona tepat ada di belakangku.

Rumput yang aku duduki terasa lembut sekali seperti bulu binatang. Warnanya hijau sekali. Aku belum pernah melihat warna sehijau itu. Cuacanya nggak panas, kayak selalu berada di jam sembilan pagi. Di balik riuhnya dedaunan yang menari dihembus angin semilir, ada berkas-berkas cahaya lembut mengintip. Seperti sebuah tarian cahaya yang unik sekali.

Disisi kananku ada beberapa mata air yang membentuk pola-pola lingkaran dengan diameter kira-kira satu meter. Di pinggir-pinggirnya tertata rapi bebatuan yang menjaga agar airnya nggak mengalir kemana-mana. Airnya jernih banget. Bahkan kalo kamu melihat ke dalamnya, kamu bisa lihat dengan jelas dasarnya.

Nggak ada terdengar suara-suara lain selain hanya kicauan burung yang terdengar beberapa saat di kejauhan. Hening banget. Bahkan mungkin kalo kamu sedikit lebih peka, kamu akan bisa mendengar suara angin yang menggesek rerumputan di sekitarmu, atau bahkan kamu bisa mendengar pertumbuhan tumbuhan paku-pakuan. 

Kalo kamu disini, kamu nggak akan mau pergi kemana pun selain berbaring sambil memandangi bunga-bunga kecil yang tumbuh liar di tepian mata air itu. Aku sendiri berharap ada angin yang rela menjatuhkan buah apel itu tepat di pangkuanku. Kalo kamu punya daya imajinasi yang tinggi kamu akan bisa melihat dengan jelas tempat yang aku ceritakan ini.

Ehm, kalo seandainya ada tempat yang seperti itu, kamu mau menamainya apa? Tempat yang benar-benar damai yang bisa membuatmu lebih dekat dengan alam dan semakin bersyukur untuk segala sesuatu yang ada di sekelilingmu. Tempat yang membuatmu selalu merasa suka cita meskipun kamu hanya seorang diri. Tempat yang nggak ingin kamu tinggalkan begitu aja. Tempat dimana kamu merasa segala sesuatu sedang bertumbuh bersama dirimu. Tempat yang membuatmu benar-benar menyadari bahwa segala sesuatu diciptakan memiliki arti. Silahkan mengimajinasi sendiri.

Bukan Taman Eden, karena mungkin tempat ini lebih indah dari itu. Ku beri nama yang sedikit unik; "La Faveur"*.

*favor

December 04, 2014

CITA-CITA

Do you have a dream?

Hari ini waktu ngajar anak-anak PPA ada hal yang membuat aku berpikir. Mereka sedang diajar tentang cita-cita. Sambil mendengarkan, aku mencermati betul-betul apa yang sedang mereka bicarakan.

Ada yang ingin jadi dokter hewan. Yang lain ada yang ingin jadi pilot, katanya mau ngebut di awan-awan. Kalo ngebut di jalan raya udah biasa. Satu lagi anak ingin jadi astronot. Temannya yang lain mau jadi guru.

Banyak sekali yang sudah memikirkan (paling tidak sudah membayangkan saja) mau jadi apa ketika mereka besar nanti. Lalu mentornya tiba-tiba tanya juga sama aku yang lagi mendampingi salah satu anak disitu, "Mbak Olive kalo sudah besar mau jadi apa?" Memang mereka taunya namaku itu Olive. Lucu juga kalo ditanya kalo besar aku mau jadi apa. Emang sekarang belum besar?

Bukan itu sih masalahnya. Aku agak sedikit berpikir ketika ditanya tentang cita-citaku saat itu. Aku jawab sekenanya saja. Ku bilang aku mau jadi guru. Soalnya dari mereka anak-anak muridku kebanyakan menyebutkan ingin jadi guru. Toh, aku juga saat itu lagi mengajar mereka sebagai guru. Hanya saja itu bukan jawabanku yang sebenarnya.

Bagaimana mengatakannya ya? Kadang aku berpikir terlalu rumit. Waktu aku kecil aku pernah pengen jadi pendeta. Soalnya bapakku seorang pendeta. Kayaknya asik gitu jadi pendeta ngomong terus. Namanya juga anak-anak. Terus waktu SD entah kelas berapa waktu itu, aku berubah pikiran pengen jadi  pelukis. Itu karena hobiku memang coret-coret gambar gitu dari kecil sampe gedhe gini. Cita-cita yang satu itu aku bawa sampe aku kelas 2 SMP sambil mengikuti berbagai lomba melukis. Lumayan.

Pas udah naik ke kelas 3 SMP, aku merubah cita-citaku jadi seorang arsitek. Alasannya karena guru Fisika yang ngerangkap guru Matematika di sekolah itu ganteng banget kayak Ben Joshua (beneran! ga bohong!). Itulah kenapa nilai fisika kelas 3 SMP sampe 3 SMA (aku juga anak IPA) selalu diatas rata-rata lah bisa dibilang, biarpun nilai matematika biasa-biasa aja. Ya karena guru itu yang bikin otak jadi fresh haha.

Selain itu kenapa aku pengen banget jadi arsitek dari kelas 3 SMP sampe aku lulus SMA? Yang paling make sense adalah aku deket sama cowok yang cita-citanya jadi arsitek. Naif banget gitu lho! gara-gara dia juga aku jadi semangat banget pengen mewujudkan cita-cita yang satu ini. Dia juga bilang jadi arsitek itu banyak duitnya. Modalnya cuma kertas, pensil, kreativitas dan sedikit pikiran yang serius. Gambarannya sih keren. Ending-nya dia beneran jadi arsitek sekarang, sementara aku melepaskan mimpiku untuk yang keberapa kalinya.

Mungkin kalo dulu aku ditanya tentang hal yang sama aku bakalan cepet banget menjawabnya. Sekarang harus pake mikir dulu. Jawaban yang terucap tidak semudah jawaban yang terpaku dalam otak. Entah mungkin memang pemikiran yang berkembang atau ada sesuatu yang lain yang muncul dalam diri ini. Yang jelas aku cuma pengen kerja di tempatku sendiri, dengan waktuku yang bisa ku buat-buat sendiri dan aku bisa mengerjakan misi yang lain sambil memantau pekerjaanku yang itu. Ribet? Sama. Aku juga.

Yang terpikir di benakku saat ini cuma itu tadi aja. Ga ada yang lain. Gimana caranya cita-citaku yang satu ini bisa tercapai, sekaligus aku bisa menjangkau hal lain yang bahkan lebih penting dari cita-cita itu sendiri.

Akhirnya, blog ini cuma muter-muter ga berujung seperti ini. Huuuaaaahh....

November 09, 2014

I OFFER MY LIFE

Alright, back with me in this blog. This time, I wanna talk about OFFERING THE LIFE. Okay, balik lagi pakai bahasa Indonesia yang baik dan benar. Menawarkan hidup.... Apa itu menawarkan hidup? Kepada siapa kita menawarkan hidup? Dan bagaimana kita menawarkan hidup? That's the simple questions, but it's a little bit difficult to give an answer, right?

Menawarkan hidup berarti kita menyerahkan, membaktikan dan merelakan hidup yang kita miliki saat ini kepada suatu otoritas. Saat kita merelakan hidup kita itu berarti kita tidak lagi memiliki hak atas hidup kita. Yang kita kerjakan bukanlah untuk menyenangkan diri kita sendiri lagi, tapi untuk kepentingan dan kemuliaan seseorang yang kita layani.

Lalu kepada siapakah kita harus menawarkan hidup kita? Kepada seseorang yang layak atas hidupmu. Bapa! Lho kok begitu? Bukankah hidup yang Dia berikan itu memang seharusnya jadi hak milik kita? Salah. Saat memikirkan kembali semua anugerah  yang Bapa sudah berikan kepada saya, saya teringat satu hal. Hidup yang saya jalani selama ini, hidup yang saya 'akui' sebagai kepunyaan saya, ternyata bukanlah milik saya. Segala sesuatu yang saya miliki adalah milik Dia yang rela menyerahkan segalanya demi saya (dan bagi Anda).

Saat kita menawarkan hidup kita sebagai milik kepunyaan Bapa, itu artinya kita tidak memiliki hak apapun dalam hidup ini. Tidak ada hal sekecil apapun yang bisa kita pertahankan dalam diri kita. Ibaratnya, kita berkata rela memberikan yang terbaik bagi-Nya, seluruh hatimu, jiwa dan kekuatanmu. Tapi ada satu hal yang kamu ikat dalam hatimu yang tidak rela kamu berikan kepada Tuhan, ya sama saja bohong. Mungkin masa depanmu, mungkin pasanganmu, pekerjaanmu, dan lain sebagainya. Rela memberikan segalanya berarti tidak ada yang kita ikat.

Ada salah satu lagu favorit saya yang berkata, "Sbab aku ini milik-Mu, tak ku pertahankan hidupku. Biar kehendak-Mu kerjakanlah dalam ku." Kehendak Tuhanlah yang jadi atas hidup kita. Bukan kehendak kita lagi.

Lalu bagaimana caranya menyerahkan diri kita sebagai persembahan bagi Tuhan? Ingat, Bapa tidak meminta segala-galanya dari hidupmu. Dia hanya meminta KERELAAN HATIMU untuk memberikan segala-galanya bagi-Nya.

Pernah dengar lagu yang berkata, "B'rikan ku tangan-Mu tuk melakukan tugasku. B'ri kan ku kaki-Mu melangkah dalam rencana-Mu. B'rikan ku.... B'rikan ku.... B'rikan ku hati-Mu." Pernah terpikir olehmu ketika menyanyikan lagu tersebut, tiba-tiba kamu menyadari, "Oh, iya. Nggak cuma tangan dan kaki saja yang harus aku serahkan sama Tuhan. Tapi juga hatiku biar digantikan sama hatinya Tuhan." Artinya apa? Saat Tuhan meminta hatimu, itu berarti seluruh hidupmu tidak boleh ada yang tersisa. You belong to Him!

Lagu tersebut juga mengungkapkan bahwa kita rela visi kita digantikan sama visinya Tuhan. Kita rela saat mimpi-mimpi kita digantikan sama mimpi-mimpinya Tuhan. Kita rela saat apa yang kita miliki, semua diminta sama Tuhan. "Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku. Tetaplah Allah selama-lamanya." Sampai tidak ada lagi yang bisa kamu andalkan, sampai habis kekuatan yang kamu miliki dan sampai tidak tersisa satu hal pun yang bisa kamu pegang kecuali Tuhan. Sampai seperti itulah kamu rela menyerahkan hidupmu as an offering for His glory! (Masih ingat postingan 26 Oktober 2014, http://olviengelindur.blogspot.com/2014/10/sampai-hanya-tersisa-aku-dan-engkau.html).

Raja Daud, ia adalah salah satu contoh yang rela memberikan segalanya untuk menjadi seorang 'pemimpin sekaligus hamba yang berkenan di hati Allah'. Apa yang dia serahkan? Mungkin Anda tidak akan percaya kecuali Anda mau baca sendiri kisahnya (dan memang harus baca). Apa saja yang Tuhan minta dari hidupnya?

1) Pertama, yang Tuhan ingin ia relakan adalah keluarganya. Bahkan Daud pun sampai dilupakan oleh Isai, Ayahnya sendiri saat Samuel datang ke rumahnya (1 Samuel 16:11-12).

2) Kedua, posisi yang nyaman dalam kerajaan Saul. Bukankah dia menjadi pahlawan dan telah memiliki pasukan sendiri. Namun Tuhan juga meminta zona nyaman dalam pekerjaannya itu, saat Saul ingin menancapkan kepalanya di dinding dengan tombak. Pasti Daud tidak akan pernah ikut berperang dalam pasukan Israel lagi.

3) Ketiga, Tuhan meminta cintanya terhadap Mikhal, istrinya. Hohoho, ini adalah bagian yang menarik. Seorang yang sedang jatuh cinta, tiba-tiba dia harus melepaskan cintanya itu dan kabur menjadi buronan kerajaan. Bahkan Mikhal pun jelas-jelas mengkhianatinya secara tidak langsung (1 Samuel 19:11-17). Bayangkan bagaimana perasaannya! 

4) Keempat, Tuhan mau Daud melepaskan sahabat terkaribnya, Yonathan. Dalam cerita Alkitab, perpisahan Daud dan Yonathan merupakan sebuah drama yang paling mengharukan menurut saya. Saat Daud pergi ke arah yang satu dan Yonathan pergi ke arah yang satunya lagi (1 Samuel 20:41-43). Sejak saat itu mereka tidak akan pernah bertemu lagi. Betapa hancurnya hati Daud saat itu. Setelah putus cinta, dia juga harus meninggalkan sahabatnya.

5) Kelima, Daud juga harus merelakan Orang Tua Rohaninya, Samuel. Orang yang selama ini menasihatinya dengan bijaksana dan mendoakan Daud setiap harinya. Benteng pertahanan terakhir dimana Daud meminta pertolongan. Tapi ternyata Tuhan juga meminta itu dari Daud. Nah! Daud benar-benar sendiri sekarang! Tidak ada orang yang bisa dia mintai tolong, tidak ada orang yang bisa dia ajak sharing. Tidak ada orang yang bisa menguatkan dia. Daud benar-benar sendiri!

6) Terakhir, hanya tinggal satu hal yang Daud miliki yaitu HARGA DIRI. Lalu apa yang terjadi? Bapa juga meminta harga diri Daud untuk dilepaskan! Daud tidak diterima di negerinya sendiri, dan Daud juga ditolak di negeri musuhnya! Apa pendapatmu saat melihat seorang Ksatria pemberani tiba-tiba berpura-pura gila di hadapan musuh yang dulu pernah dikalahkannya? Daud yang membunuh Goliat dengan percaya diri, sekarang jadi orang gila di tanah kelahiran si Goliat! (1 Samuel 21:11-15). Habis sudah seluruh pertahanan Daud. Bahkan harga diri pun sekarang tidak ia miliki lagi!

Setelah semua habis tidak tersisa, barulah Daud benar-benar berpaut sama Tuhan. Tidak ada lagi yang bisa dia andalkan kecuali Bapanya yang di sorga. Begitu juga kita. Kita baru akan bisa mengandalkan Tuhan sepenuhnya saat semua yang kita miliki telah kita relakan bagi-Nya.

"Tapi bagaimana dengan masa depanku jika aku merelakan segalanya untuk Tuhan?" Itu kalimat pertama yang muncul dalam benak saya saat pertama kali saya memutuskan untuk menyerahkan segalanya bagi Dia. Jawabannya simpel. "Tidak seharusnya aku meragukan jika Tuhan yang berdaulat atas hidupku." Dan terkadang apa yang kita pertahankan saat ini, sejujurnya adalah hal yang tidak kita perlukan sama sekali.

Yang kita relakan bukanlah bentuk dari BAYAR HARGA. Apa yang mau kita bayar kalau semua yang ada pada kita itu bukan milik kita? Tidak perlu sok kaya mau membayar harga. Bukan bayar harga, tapi kembalikan segala sesuatu yang sudah seharusnya menjadi milik Bapa. Just it!

Kenapa kita menyerahkan hidup kita bagi Dia? Karena Dia terlebih dahulu telah menyerahkan hidupnya untuk kita!!

May this video will open our mind why God wants us to give our all. His plans for us are always better than we can imagine! Happy watching! ^_^



November 02, 2014

SCANDAL at MANDIRI BANK

Malam itu, entah hari apa (aku lupa), kami jalan-jalan ke Tugu Muda. Rencana sih mau nonton ada pawai teman-teman kampus kami yang ikut ngeramein hari sumpah pemuda. Eh, ternyata nggak ada. Udah capek-capek jalan bermil-mil jauhnya dari asrama sampe ke Tugu Muda hahahahaha, mendaki gunung dan melewati lembah cuma buang tenaga, duit dan sandal aja wkwkwkwkwk.....

Eh ya, kami itu siapa? Kami ya kami! Petra, Juli, Raffi, Oneng, sama aku si Anton a.k.a si Toin a.k.a si Olaf (nama beken kami neee). Kerjaan kami ngapain jadinya? Ya itu tadi cekakakan di jalan kayak anak-anak yg baru keluar dari kandang. Maklum lah anak asrama yang baru bisa keluar
jalan-jalan hahaha.... Apa lagi bapak asrama lagi nggak ada di tempat. Semakin keluar tanduknya!

Yang jelas kami nggak menyia-nyiakan malam pembebasan kami dah.... Hari kemerdekaan neee! Nggak ada pawai, akhirnya kami bikin pawai kami sendiri. Kebetulan si Petra sandalnya putus. Nyeker lah dia. Emang dasar anak nggak mau sengsara sendiri dia tuh, ngajakin kami buat nyeker rame-rame. Yang lain nggak ada yang mau. Katanya kaki mereka udah steril. Terpaksa deh sebagai teman yang baik hati, tidak sombong dan suka menolong akhirnya aku copot juga swallow aku.

Di depan Novotel ada supir taksi nyamperin. Gini katanya, "Mbak, Tugu Muda tadi banjir ya?" 

Aku jawab, "Nggak kok, Mas. Emang kenapa?" 

"Lha Mbak-nya kok nyeker?" Haiiikhh?? Kepo nih orang.... 

"Gerah kaki saya, Mas," sahutku jutek. Males juga ngeladenin supir taksi. 

Eh rupanya dia masih nyeletuk lagi, "Ah, bilang aja sandalnya ndak pernah dicuci!"

Wah, parah nih orang.... Emang bener belum aku cuci swallow aku ya. Tapi harus ya disebutin gitu? Sakitnya tuh disini! (nunjuk gigi). Cuma dasarnya aku dodong aja. Biarlah kafilah menggonggong, anjing berlalu. Lho?

Udah jalan jauh begitu, ternyata tubuh jasmani kami lapar juga. Hepeng lagi kritis-kritisnya, nih orang-orang minta makan di rumah makan yang kayaknya sih lumayan mahal juga. Masing-masing kami cuma bawa 20.000 IDR. Dari pada main masuk aja, medingan tanya dulu berapaan harganya seporsi (memang muka-muka orang ini!). Si Raffi tanya sama tukang parkirnya, "Pak, kalo makan di sini seporsi berapaan ya, Pak?" Whealaaaaaaah.... Serius nih bocah ditanya bener! Kata bapaknya cuma 15.000 IDR aja (belum minumnya). Ya udah, kayaknya budget mencukupi nih. Makanlah kami disitu sambil berhaha-hihi. Awalnya tuh rumah makan adem ayem aja, pas kami datang langsung ribut. Makan cuma pake nasi goreng doang, permintaanya macem-macem banget. Yang pedes banget lah, yang tambah garamlah. Sampe stres masnya ngelihat kami ahahhaa....

Habis makan kami jalan ke Paragon. Si Oneng mau traktir kami donat di J-Co. Ternyata udah habis. Soalnya kami datang udah kemaleman sih. Ga dapat donat, eh kami malah ketemu Momo Geisha. Bukan aku yang lihat (soalnya mata aku stereo hahaha), mereka yang lihat sambil goyang-goyang kegelian sendiri gitu. Sayang sekali kami nggak ada yang berani minta foto sama dia hahaha.... Sumpah deh, waktu itu gaya kami kayak orang kampung yang nggak pernah main ke mall. Entah apa yang salah dengan jiwa kami saat itu huahahahaha....

Udah lah, kami meneruskan perjalanan kembali ke sorga (maksudnya asrama). Si Oneng ini nggak tahan buat nahan pipis dia tuh. Nggak ada toilet di pinggir jalan raya kayak begini. "Di Bank Mandiri ada nggak ya?" tanyanya.

"Tanya sama Pak Satpam itu aja kalo berani," jawab Raffi.

Ternyata si Oneng serius tanya sama security itu. Si security ngasih lihat jalannya ke toilet ada di parkiran belakang  Bank Mandiri. Kami bergegas kesana. Waktu si Oneng di dalam toilet aku lihat-lihat bengunan sebelah. Kebetulan di area situ ada gedung gereja yang besar, "Eh, itu kah gereja tadi?"

Spontan mereka tertawa kenceng sambil nunjuk-nunjuk hidung aku. "Hei! Matamu stereo, In!" seru si Juli puas banget ngetawain aku. "Tulisan Bank Mandiri segede gitu masih kamu bilang gereja?!"

"Wah, parah nih cewek. Kamu nggak bisa bedain gereja sama bank ya?" lanjut si Petra masih dengan ketawanya yang lebar.

"Yah, kan nggak kelihatan tadi tulisan Mandiri disitu. Puas kali kalan ketawain aku. Dosa lho.... Lagian sama aja. Bank Mandiri nyimpen duit rakyat, gereja di sebelah juga nyimpen jiwa-jiwa hahahaha...." sahutku pede aja.

GUBRAAAKKK!!

Si Oneng keluar. Giliran si Petra yang masuk toilet. Maksud hati mau ngerjain dia, eh malah kami yang terjebak sama jebakan batman hahahaha....

"Matikan lampunya!" kata si Raffi. Ini anak dodong juga, mau ngerjain orang pake teriak. Ya dengerlah orangnya. Si Oneng juga sama, bukannya matiin lampu malah menghidupkan lampu pos yang terang benderang. Susah juga mau critain lucunya dimana. Soalnya tayangan live-nya lebih keren wahahahaha....

Si Juli punya ide buat ngumpet. Dia buru-buru lari ke belakang toilet yang padahal sebenernya badan aku aja yang cukup masuk ke situ. Dia paksain tuh sambil berjinjit diatas parit-parit. Kami tiga (aku, Raffi sama Oneng) udah nggak keburu lagi mau ngumpet sama Juli. Akhirnya Raffi berteriak, "Ayo, cepat lariiiii.....!!!"

Si Oneng refleks langsung cabut gitu aja ambil langkah seribu. Sementara aku yang tadi udah mau jongkok sambil masang swallow jadi kelabakan mau ngikut siapa. "Antoooooon, ayo cepat sembunyi!" seru si Oneng jauh di depanku.

Aku ikut lari gitu aja, sampe nggak sadar kalo sandal yang aku pake baru sebelah. Sebelahnya lagi tinggal di belakang. Aku balik lagi ambil sandal, eh si Petra udah keburu keluar dari toilet sambil berkacak pinggang siap-siap mengejar kami, "MAU LARI KEMANA KALIAN?!!"

Udah deh, seadanya aja aku lari sambil sandalku terlempar kesana kemari. Sampe kayak orang pincang aku jalan. Padahal yang baru jatuh itu si Raffi, tapi gara-gara si swallow jadi aku yang pincang. Si security ngelihatin kami kayak orang baru dikejar-kejar polisi gara-gara ngerampok bank.

Si Juli tertinggal di belakang, kejepit, susah payah keluar dari belakang toilet. "Toin.... Toin.... Kamu ini kayak orang autis kulihat dari belakang. Buang aja swallow-mu itu. Bikin ribet aja deh ah. Anak kuliahan semester 7 belum bisa pake sandal," celetuknya sambil ketawa keras diikuti sama yang lainnya.


Emang aku itu orang yang suka mereka bully. Setiap detik kalo ada waktu luang, ya itu tadi kerjaan mereka mem-bully aku. Udah jadi motto hidup mereka kayaknya mem-bully diriku. Kalo boleh tambah nama nih udah ku kasih nama tengahku jadi Bully wkwkwkwkwkwk.......

Ah sudah lah. Hidup ini memang keras. Ini gila dan kami masih merencanakan kegilaan yang lainnya next mission di KFC hahaha.... Entah apa lagi yang akan kami buat. Mungkin mem-bully pelayan KFC-nya hahahaha.... Semoga kami cepat bertobat!


October 26, 2014

SAMPAI HANYA TERSISA AKU DAN ENGKAU!

Suatu saat saya sedang merindukan seseorang  yang seharusnya sudah lama saya lepaskan. Bukan hal yang mudah, sangat sulit sekali. Ada air mata yang harus dicurahkan, ada tawa yang harus dikorbankan dan ada hati yang harus dihancurkan.

Setelah beberapa lama mempertahankan kekuatan untuk membuang semuanya, pada satu titik akhirnya batu yang kokoh dalam hati saya itu runtuh juga. Saya mulai kembali mengarahkan mata saya lagi kepadanya. Ada satu kerinduan yang begitu besar yang benar-benar mendesak saya ingin berlari menghampirinya dan memeluknya erat-erat. Saat mengetahui bahwa hal itu tidak mungkin terjadi, hanya tangisan yang saya miliki.

Dalam kekalutan seperti itu saya melupakan satu hal, bukan hanya ada dua orang yang berperkara dalam hal ini, aku dan dia. Tapi sebetulnya ada tiga orang, yaitu aku, dia dan Bapa di sorga. Mungkin orang lain tidak tau kalau diam-diam mata ini mengawasinya, tapi ada satu pribadi yang tidak bisa saya bohongi, Bapa. Saya bisa bersembunyi-sembunyi dari manusia, tapi tidak dengan-Nya.

Begitu seringnya saya menggombali Tuhan dengan mengatakan, "Ku b'ri yang terbaik bagi-Mu. Ku relakan segalanya." Tapi sejujurnya saya tidak tau bagaimana caranya merelakan yang terbaik dan yang terindah dalam hidup saya untuk-Nya. Kalau seandainya saya jadi Tuhan pasti saya sudah bosan mendengar keluh kesah orang seperti saya yang suka berkata-kata manis tapi tidak pernah ditepati. 

Yang saya sadari saat itu adalah bagaimana mungkin saya memandang orang lain setelah baru saja berkata kepada Bapa bahwa saya hanya akan memandang Dia saat ini. Mungkin Tuhan lihat (dan pasti Dia lihat) saat saya memandangi orang itu. Yang muncul dalam benak saya seketika adalah, "Bagaimana perasaan Bapa saat saya memandang orang lain dengan tatapan seperti itu? Sementara saya mungkin belum pernah memandang Bapa dengan tatapan yang penuh arti seperti yang sedang saya lakukan padanya saat itu." Kalau saya di posisi-Nya, saya pasti sakit hati. Mungkin di saat yang sama Tuhan berkata, "Anakku, kapan engkau akan memandang-Ku seperti yang kau lakukan padanya?" Atau mungkin Tuhan juga berkata, "Aku juga rindu untuk memelukmu seperti engkau rindu memeluknya."

Betapa saya sangat mementingkan diri saya sendiri saat itu. Saya tidak memikirkan bagaimana perasaan Tuhan terhadap saya dan janji-janji saya yang saya buat sendiri untuk-Nya. Yang saya pikirkan hanyalah hati saya. Padahal Tuhan juga sedang menunggu saya, "Sesungguhnya, Aku hendak mencurahkan isi hati-Ku kepadamu." Saya baru menyadari betapa egoisnya saya.


Bukan soal saya berdosa dengan perasaan saya, tapi soal bagaimana fokus saya sama Tuhan saat ada orang lain yang saya lihat 'lebih indah'. Lagi pula bagaimana mungkin saya bisa menjamin bisa mengutamakan dia, kalau saya saja tidak bisa mengutamakan Dia untuk saat ini? Bapa hanya menginginkan waktu yang ekslusif dengan saya (dan mungkin juga dengan Anda) sebelum saya memiliki hal lain yang akan membuat waktu saya berkurang. Dia ingin mengajari saya untuk berfokus kepada-Nya dan menantikan waktu-Nya, sambil mengerjakan apa yang Dia ingin saya kerjakan untuk-Nya. That's it!

Bukan saya yang merindukan Dia, tetapi Bapa lah yang dengan segenap hati merindukan saya (dan juga Anda) untuk memandang-Nya dengan penuh kerinduan. Tuhan hanya minta satu hal, "Relakan semuanya. Biarkan hanya tersisa engkau dan Aku, maka engkau akan mendapatkan segalanya." Yes, Lord!

So, what should we do after this? Take His hands and let His love hugs you into His eternity. Together we shout, "It is only about You and me, Lord!"

October 19, 2014

BELAJAR LEMAH LEMBUT DARI TANAH LIAT

Salah seorang kakak berkata, belajarlah menjadi lemah lembut dalam menerima pengajaran. Karena orang yang lemah lembut itu mudah untuk diatur dan diarahkan.

By the way seperti apa 'lemah lembut' itu? Apakah orang yang berbicara selalu sopan dan kalem? Atau orang yang gayanya lemah gemulai? No way! Lemah lembut itu nggak berbicara tentang outward appearance, tapi tentang karakter. Orang yang gaya ngomongnya keras nggak berarti dia nggak lemah lembut lho.

Tau tanah liat? Bukankah penampilan luarnya sangat keras? Kalo disentuh kasar banget dan serabutan. Tapi coba kalo tanah liat itu diberi air. Apa yang terjadi? Dia akan jadi lembut. Tanah liat itu jadi mudah dibentuk untuk membuat sesuatu baru yang lebih indah. Sama seperti manusia sebenarnya. Muka boleh security, tapi hati tetap Hello Kity.

Tanah liat nggak akan pernah protes saat dia dihancurkan untuk dibentuk menjadi bentuk yang baru, tapi dia taat. Kalo ada bagian yang cacat, dia nggak akan marah-marah kalo bagian-bagiannya harus dikikis. Dia hanya taat. Itulah lemah lembut. Karena dalam kelemahlembutan itu pasti ada yang namanya KETAATAN, MUDAH DIBENTUK, SIAP DITEGUR, dan MAU BERUBAH.

 Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar.
-Efesus 4:2-

October 16, 2014

AKU AKAN PERGI KE SISI ITU

  Siang yang sangat cerah. Saking cerahnya jadi panas banget rasanya. Makanya aku nongkrong di café sambil ngopi. Lagi suntuk nih, nggak ada temen ngobrol. Kayak orang bego gitu setengah jam cuma diam aja memandangi jalan raya dan orang-orang yang lalu lalang dari tadi.
Sesekali sambil melirik ke arah kopi di tanganku.

        “Mikirin apaan kamu?” datang sudah makhluk astral tiba-tiba.

           “Eh, aku kok nggak tau kamu datang? Sama siapa kesini?” tanyaku agak terkejut sambil celingak-celinguk memastikan dia datang sama siapa.

                “Ah, kamu aja yang keasikan ngelamunin orang. Sampe ga sadar ada aku disini,” balasnya langsung duduk gitu aja di kursi depanku. “Aku datang sendirian. Kebetulan aja aku lewat sini tadi, panas banget makanya mampir.”

                Aku sih cuek. Sambil masih memandangi jalanan yang ramai dengan kendaraan, sebentar lagi pasti macet pikirku. Barusan aja aku kepikiran bosen nggak ada temen ngobrol, eh datang dia ini. Lumayan lah.

                “Tumben kamu beli minuman kayak gitu?” tanyanya sedikit mengernyitkan keningnya.

                “Kayak gitu? Maksudmu ini?” tunjukku ke cangkir kopi di tanganku.

               “Iya. Nggak biasanya kamu beli Caffe Americano? Sejak kapan kamu ganti selera?” ujarnya lagi.

Hanya kutanggapi dengan gelengan kepala saja. Sepertinya dia tidak puas dengan ekspresiku. Aku tau dia memang seperti itu. “Atau lagi galau nih sampai-sampai beralih ke kopi jenis begituan? Triple-shot espresso lagi,” Dia memang banyak tanya. Sejak kapan Caffe Americano jadi kopinya orang-orang galau? Memang menurutnya maniak Caffe Americano cuma sekumpulan orang galau? Dasar!

“Sempit sekali pikiranmu, Saudari?” jawabku malas. “Memangnya sampai mati aku harus jadi maniak cappuccino?”

“Kan aku cuma tanya. Nggak usah sensitive juga kenapa?” ujarnya sambil manyun. “Tapi biasanya kan kalo orang minum kopi pahit begitu kalo nggak lagi galau ya lagi depresi. Kamu yang tipe mana nih?”

Ah, memanglah orang satu ini. Dapat filosofi dari mana dia? “Bagaimana kabarmu? Maksudku masalahmu dengan dia?” tanyanya sekali lagi.

“Aku nggak ada masalah sama dia kok,” jawabku dengan sedikit nada naik.

“Cih, pintar sekali mengelak. Lalu kenapa bisa sampai sakit begitu kemarin kalo nggak ada masalah? Ku bilang juga apa, kopimu itu sudah mengatakan kalo kamu nggak lagi baik-baik saja. Ayo ceritakan bagaimana kabarmu?” desaknya hampir merengek. Memangnya aku sakit karena apa? Sok tau.

“Seriuslah,” ujarku malas sambil memandangi kopi yang mulai mendingin itu. “Ya sudah, aku begini aja. Aku nggak apa-apa, nggak ada yang special terjadi.”

“Lalu setelah sekian lama gini, kamu melepaskan dia gitu aja?” desaknya.

“Melepaskan apaan? Selama ini aku kan nggak pernah memiliki dia. Jadi apa yang aku lepaskan?” jawabku sekali lagi dengan nada yang datar banget. Sebenarnya berat juga sih bilang begitu. Tapi ya udah lah.

“Aneh banget sih kamu? Ngapain lah kalo gitu kamu jatuh bangun sekian lama berlari-lari cuma buat dia? Ujung-ujungnya juga berhenti.”

“Aku nggak berhenti ya…. Aku cuma nggak mau jadi penguntit aja terus-terusan hahaha,” jawabku basa-basi. Asal tau aja untuk tertawa seperti itu aku harus menguras separuh tenagaku. “Sudah saatnya aku membiarkan dia bernafas dengan lega. Selama ini mungkin aku membuatnya nggak nyaman bahkan untuk bernafas aja. Kalo terus seperti itu aku merasa sangat egois hahahaha.”

“Dasar bodoh! Mana ada yang begitu?”

“Sssshhhh, lagipula menyukai seseorang tanpa sepengetahuannya sama aja mencuri. Kayak kamu diam-diam mengingini milik sesamamu. Dosa tau!”

“Masih bisa bercanda lagi,” gerutunya. “Lalu apa rencanamu? Apa kamu yakin bisa melupakan dia?”

“Mana mungkin kamu bisa melupakan seseorang yang membuatmu baru memikirkannya saja kamu bisa tertawa?” jawabku kali ini serius. “Aku nggak berniat melupakannya. Rasanya mau mati. Semakin mau melupakan, semakin nggak bisa lupa.”

Ada keheningan sejenak diantara kami secara tiba-tiba. Sudah nggak ada kata-kata lagi yang bisa diutarakan. Aku meneguk kopiku lagi dan berkata,”Cara termudahnya adalah tetap mengingat dia sebagai kenangan yang layak untuk diingat.”

“Kamu memang aneh,” sahutnya sambil menggeleng dan tersenyum.


Aku memang nggak berniat melupakkannya. Biar aja kenangan itu tertimbun dengan hal-hal baru dalam petualanganku yang selanjutnya. Dengan begitu akan lebih mudah bagiku menetralkan semuanya. Lagipula kasih itu kan memberi, bukan merampok. Aku nggak pergi, cuma menggeser pandangan ke sisi yang lain. Kata orang aku aneh. Baru kusadari kalo aku memang benar-benar aneh!

But everything is gonna be alright. Just keep smiling! :D


September 20, 2014

ORANG YANG BUTA SEJAK LAHIRNYA

YOHANES 9
ORANG YANG BUTA SEJAK LAHIRNYA

Kejadian yang menarik sedang terjadi.
Mari kita buat sebuah cerita.

Ada seorang laki-laki yang buta sejak lahirnya dan telah disembuhkan oleh Yesus. Maka seketika ia bisa melihat, jadilah dia superstar yang diperbincangkan orang sekampung, termasuk juga masuk ke dalam penyelidikan orang-orang Farisi. Orang-orang Farisi makin gerah dengan mujizat-mujizat yang dilakukan oleh Yesus. Ia mau memastikan apakah yang diperbincangkan warga kota itu benar bahwa Yesus sudah memelekkan mata seorang laki-laki. Jangan-jangan hanya gosip yang ndak bener aja.

Dipanggilnyalah orang yang tadinya buta itu.
Orang Farisi A : "Gimana bisa kamu melek? padahal kamu kan buta?"

Laki-laki : "Ada orang tadi mengoleskan lumpur ke mataku lalu aku membasuh diri dan....
      Taraaaaaaa!! aku melihat!"

orang Farisi B : "Mana mungkin?! Dia itu penyesat! menyembuhkan org di hari sabat itu
  terlarang!"

Laki-laki : "Kalo dia berdosa mana mungkin bisa membuat mataku melek lg? Tuhan kan ndak akan                      mendengarkan doa orang berdosa. Memangnya doa kalian selalu
          diajwab oleh Tuhan kah?

Orang Farisi A & B : (meresa tersinggung lalu memanggil org tua laki2 itu)
                   "Pak, ini anak bapak bukan?"

Bapak : "Betul sekali 100% dia anak saya."

Orang Farisi B  : "Apa dulunya dia buta? lalu bagaimana dia sekarang jd melek bgini?"

Bapak : "Lah kok Bapak tanya ke saya? ya saya ndak tau. dia memang buta dulunya. tapi
          bagaimana dia bisa melihat lagi dan siapa yg sdh nyembuhin dia ya saya ndak
          tau. coba tanya anaknya sendiri. dia sdh besar kok. jd pasti tau gmna bisa
          dia melek lagi" (Jawaban yang terkesan jutek bgt.)

Orang Farisi A : "Katakan yg sejujur2nya, dia itu org berdosa kan? Bersumpahlah demi
           nama Tuhan."

Laki-laki : "Tadi kan sudah ku bilang, kamu ndak dengarkan sih. sekarang mau dengar lagi? Emang    kamu jg mau jd muridnya kayak aku?"

orang FArisi B : (ngejek)
                  "Ngapain aku mau jd murid-Nya? ndak banget deh. Kami kan murid Musa.
                  Musa itu nabi yg besar. Tuhan sdh menampakkan diri kepadanya dan    berfirman langsung sama dia. Lha kalo Yesus? aku ndak kenal."
Laki-laki : "Lucu juga kamu ndak kenal sama Dia padahal kamu udah lihat buktinya, aku.
      Mana ada org brdosa menyembuhkan org sakit? Kalo ndak hidup dalam Tuhan
      manusia ndak bisa berbuat apa2."

orang Farisi A & B : "Kamu mau ngajarin kami?! Dasar org berdosa hina dan bau! Pergi dari sini!            nanti kami tertular bisul berdosamu itu!"

Aneh bin ajaib si Farisi ini. mereka mengharapkan jawaban yg sama utk menentang Yesus
eh malah dijutekin sama mantan orang buta. piye jal?
merasa tersaingi oleh Yesus sehingga pikirannya sdh dibutakan oleh kebodohan mrka sendiri.

"Aku datang ke dunia ini bkn utk mnghakimi. tetapi brang siapa tdk melihat, hendaklah ia melihat. dan barang siapa yng mengatakan dirinya melihat, hendaklah ia menjadi buta," kata Yesus.
perkataan itu didengar oleh orang Farisi, mereka teringgung.
"Jangan bilang kalo maksud-Mu kami buta gitu?!"
"Aku kan ndak ngomong gitu. kalo merasa ya sudah. Tapi seandainya saja kamu ini
beneran buta, kamu ndak akan dihukum krn kamu emang ndak bisa melihat apa yg Ku kerjakan. tapi kalo kamu ini bisa melihat dan ngaku kalo kamu buta ndak bisa melihat pekerjaan-Ku, maka kamu akan di hukum," jawab Yesus.

istilahnya apa? mereka sebenarnya sdh melihat terang itu, tp ndak mau datang. trkesan mereka takut terang. lihatlah mereka ndak mau menyembuhkan org (memberkati) tapi ketika org lain menyembuhkan org (memberkti) langsung memperdebatkannya. memangnya Tuhan Yesus nyembuhin org pake duitnya? Ndak kan?!Tuhan Yesus aja ndak masalah kok.
jadi pelajarannya adalah jgn mengklaim sesuatu yg dikerjakan oleh temanmu mnjd milikmu.
Apalagi hal itu milik Tuhan.
dosanya double! xixixixi.......

God Bless.

September 16, 2014

KU KAGUMI KAU DALAM SECANGKIR KOPI #4 End

Becca dan Emile mengunjungi kampusku hari ini. Mereka sangat ribut sampai-sampai petugas perpustakaan menegur kami agar bisa diam. Betapa memalukannya! Mereka datang untuk meminta Renata menjadi modelnya di tugas peragaan busana mereka berdua. Dalam tugas ini mereka memerlukan seorang peraga agar pakaian yang mereka buat benar-benar bisa dinilai secara keseluruhan. Karena Renata pernah mengikuti lomba modeling, akhirnya dia dipilih oleh Becca dan Emile.

“Kalian kenal cowok itu?” tanya Emile tiba-tiba menunjuk seseorang dengan dagunya di deretan bangku paling ujung.

“Oh, itu Nathan. Kenapa? Kau juga tertarik sama dia?” tanyaku sambil terus membaca ensiklopedia di depanku.

“Dia lumayan keren. Dia pasti tertarik padaku kalau nggak terus-terusan melihat ke arahmu, Stevie,” jawab Emile menyenggolkan sikunya ke pinggangku. Kusipitkan mataku memastikan perkataan Emile. Aku nggak salah dengar? Ngapain Nathan melihatku? Ada-ada saja. Lagi pula yang kulihat dia sedang asik membaca dan tidak sedang melihat siapa-siapa.

“Sudah kuduga sejak awal. Tapi Stevie nggak percaya,” sahut Renata. Kenapa dia seantusias ini membicarakan aku sementara aku jelas-jelas ada di depannya sekarang? Selain cantik dan pintar, ternyata dia juga memiliki kebiasaan aneh; membicarakan orang lain ketika orang itu ada di depannya. “Aku sudah sering mangawasi Nathan sejak dia datang ke kampus ini beberapa bulan yang lalu. Dia sering duduk tepat di belakang Stevie kalau di kelas.”

“Darimana kamu tau? Kamu masuk ke kelasku ya?” tanyaku sedikit curiga.

“Aku sering lewat mengantarkan pesanan Giselle, teman sekelasmu itu. Awalnya aku nggak memikirkannya. Tapi karena terlalu sering kulihat dia sengaja pindah tempat duduk di belakangmu, makanya aku jadi memperhatikannya,” kata Renata semangat. “Aku juga sering melihatnya mengawasimu dimana pun dia melihatmu. Entah itu hanya kebetulan atau memang sengaja, tapi berani taruhan deh kalau dia memang sedang melihatmu.”

“Wah, ada yang punya secret admirer nih,” ejek Becca mengedipkan matanya padaku.

“Kalian ini senang sekali mengurusi kehidupan orang lain ya? Biarkan saja melihat siapapun yang dia ingin lihat. Lagipula aku juga tidak yakin dia melihat ke arahku. Pasti ada orang lain yang sedang dia lihat,” jawabku menolak pendapat Renata. Saat itu Renata cemberut menatapku karena merasa dirinya hanya dianggap berbohong.

“Haish, bagaimana bisa kamu nggak merasa senang dilihat sama cowok keren kayak dia?” tanay Emile dengan nada tidak percaya.

“Apa untungnya hanya dilihat sama cowok keren saja?” jawabku sambil memutar mata pura-pura tidak menghiraukan mereka.

“Benar-benar! Lalu maumu apa kalau tidak ada untungnya jika hanya dilihat saja? Sudah untung ada yang mau lihat. Begitu pun masih minta lebih,” sahut Becca menutup buku yang sedang kubaca.

“Hei! Bukan begitu maksudku. Sudahlah berhenti membicarakan dia. Bicarakan saja fashion show yang kalian rencanakan untuk tugas kalian,” sahutku sedikit dengan nada jengkel. Aku memang tidak ingin membicarakan Nathan dengan mereka. Karena mereka pasti membuatku semakin penasaran orang seperti apa Nathan itu. Setelah itu aku pasti akan mencari tau tantang dia, terlalu peduli kehidupan Nathan, nggak fokus belajar dan akhirnya bisa dibayangkan aku pasti jadi gila karena nilaiku turun semua! Siapa peduli apa yang mereka katakana tentangku. Meskipun aku juga sedikit mengagumi Nathan dan ingin tau apakah dia benar-benar sedang melihatku. Ah, sudahlah.

**

Sejak Renata bilang Nathan sering memperhatikanku diam-diam, aku jadi berpikir yang aneh tentang dia. Maksudku, aku jadi berpikir kalau waktu itu dia sengaja jadi partnerku untuk mendekatiku. Lalu dia sengaja mengajakku mengerjakan tugas di Express Café supaya lebih leluasa dan membuat suasana menjadi berbeda. Uhm, tapi bukankah aku yang menawarkan tempat itu untuk kerja kelompok? Dasar! Entah apapun yang sedang kupikirkan, yang jelas aku jadi lebih sering memperhatikannya dan aku sendiri tidak melihat tanda-tanda kalau dia juga memperhatikanku. Anehnya lagi aku jadi menjauh dari Nathan. Apanya yang sedang kujauhi? Aku benar-benar merasa aneh sekarang.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Nathan sengaja mengambil posisi duduk di belakangku.

Aku menoleh dan tersenyum kikuk padanya. Memang benar-benar canggung setelah Renata menceritakan hal-hal tidak masuk akal itu padaku. “Aku baik-baik saja. Apa aku terlihat sedang sakit?”

“Bukan begitu. Hanya saja sepertinya kamu sedikit menjauhiku,” jawabnya menatapku.

Oh, matanya itu! Jangan biarkan aku menatapnya terlalu lama atau aku akan berlubang karena tatapannya itu. “Ah, itu hanya perasaanmu saja. Aku tidak menjauhi siapapun. Buat apa aku menjauhimu? Apa alasanku menjauhimu?” jawabku sekaligus bertanya padanya (atau mungkin aku sedang bertanya pada diriku sendiri).

“Itulah yang ingin kutanyakan padamu,” sial jawabannya membalikkan pertanyaanku. Aku merasakan darah di seluruh tubuhku tiba-tiba berkumpul di kepalaku sampai aku merasa pusing tiba-tiba. Aku bisa merasakan mukaku memerah saat ini. Apa yang harus kulakukan?

Mr. Ronald menyelamatkanku dengan kedatangannya. Aku merasa sedikit lega karena tidak perlu menoleh ke belakang ke arah Nathan. Meskipun aku masih merasa nggak nyaman, seolah aku bisa melihat kalau Nathan masih memandangku. Rasanya jam dinding itu nggak bergerak sama sekali. Kenapa waktu begitu berjalan dengan lambat? Mr. Ronald membagikan tugas kami minggu lalu. Skor A- yang kudapat nggak terlalu buruk juga rasanya. Teman yang duduk di depanku memberikan tugas Nathan supaya aku mengoper kepadanya. Di ujung makalah itu tertulis A+. Aku langsung mengopernya ke belakang.

“Nggak mau lihat isinya?” tanya Nathan mencondongkan badannya ke depan. Aku hanya menggelengkan kepala. “Nggak penasaran?” tanyanya lagi kemudian kembali ke posisi duduknya yang semula. Aku menoleh ke belakang, dia membuka halaman terakhir tugasnya itu.

“Nggak deh,” jawabku menggelengkan kepala lagi. Tentu saja aku penasaran setengah mati! Tapi mana mungkin aku meminjamnya dari Nathan hanya untuk membaca tentang diriku yang ditulis olehnya. Entah ekspresi macam apa yang Nathan tunjukkan padaku sekarang. Mungkin dia sedikit terkejut, bingung atau malah kecewa. Aku nggak tau.

Dia berdiri dari tempat duduknya, “Aku mau ke belakang dulu.” Dia berjalan keluar ruang kelas dan membiarkan tugasnya itu terbuka begitu saja. Aku penasaran apa sih yang dia tulis di dalamnya? Kugeser tugas itu supaya aku bisa membacanya, biarpun nggak semuanya paling tidak bagian kesimpulannya sudah cukup untuk merangkum semua tulisannya.

"Stevie is special, but she does not realize that. The only weakness she has is she's not confident with herself. Stevie just needs to see herself as people see her. So, she will understand that she is braver, stronger, and more beautiful than she can imagine. When she finds her confidence, there is no other Lorena in this world that will see Stevie as a pity cat, but as a strong lioness."

Aku terbelalak membaca kalimat terakhir dari tugas Nathan itu. Benarkah aku sesempurna itu? Dia menganggapku cantik? Apa itu yang Nathan tulis tadi? Aku segera mengembalikannya saat kulihat Nathan sudah muncul di depan pintu kelas. Sebelum dia duduk, dia terenyum padaku seperti biasa gayanya. Sial! Nathan pasti menyadari aku sudah membaca tugasnya. Aku nggak sadar sudah meletakkannya ke arah yang berlawanan dari posisi semula. Ceroboh sekali!

“Hanya perlu meminta saja, pasti kupinjamkan tugasku sama kamu,” celetuknya dengan sedikit tersenyum simpul. Dia pasti menyadari mukaku memerah saat ini. Aku benar-benar nggak bisa bergerak rasanya.

“Kamu yakin nggak menulis yang aneh-aneh di tugas itu?” tanyaku mencoba menemukan kalimat yang pas dan semoga nggak membuatku kelihatan tambah aneh di depannya.

“Nggak lah. Mana mungkin aku sejahat itu. Semua yang kutulis disini adalah yang paling jujur yang kulihat dari dirimu,” jawabnya dengan menatapku. Aku benar-benar membeku sekarang. Maksudmu, kamu jujur bilang aku istimewa atau cantik? Bukan karena kamu mau dapat nilai A+ itu?


Sejak saat itulah aku mulai menggumi Nathan. Dia nggak pernah menunjukkan sikap yang berlebihan padaku, tapi aku tau dia memang sering memperhatikanku seperti yang pernah Renata bilang. Meskipun aneh, tapi aku cukup menikmatinya saat ini mengetahui bahwa ada seseorang yang mengagumimu secara diam-diam. Entah akan berjalan sampai kapan, yang jelas saat ini aku dan Nathan sama-sama saling mengagumi tanpa pernah berbicara satu sama lain lagi. Cukup tau saja, asalkan senyuman dan matanya itu masih ditujukan untukku. Biarkan dalam keheningan ini rasa itu berbicara.

THE END.


September 09, 2014

KU KAGUMU KAU DALAM SECANGKIR KOPI #3

Sabtu sore ini aku menemani Dad berbelanja kebutuhan kami. Mom sedang pergi mengurus bisnisnya di luar negeri. Aku bersyukur karena untuk kali ini Dad sedang tidak ada proyek kerja sehingga bisa menemaniku di rumah. Orang tuaku memang selalu sibuk dengan pekerjaannya, tapi mereka selalu menyiapkan waktu istimewa buatku paling tidak sebulan sekali. Mungkin karena itu juga aku tidak punya saudara. Mom dan Dad tidak akan sempat mengurusi aku dan saudaraku jika aku benar-benar punya saudara.

“Bagaimana dengan kuliahmu, Stevie?” tanya Dad sembari memilih-milih sayuran yang akan kami beli.

“Baik. Hanya saja aku sedikit kerepotan dengan tugas-tugas yang harus ku kerjakan. Sementara pelajaran yang kuambil hampir semuanya membosankan dan tidak terlalu penting untuk bidangku.”

“Kenapa bisa begitu?” tanya Dad agak sedikit terkejut.

“Aku sudah mengambil semua mata kuliah inti di dua semester terakhir yang lalu. Kali ini hanya perlu memenuhi nilai yang harus kuambil saja. Bagaimana kalau aku magang kerja di tempat Dad saja?” tanyaku memberi pendapat. Aku memang berharap segera mendapat pekerjaan setelah lulus nanti. Apa salahnya belajar lebih banyak di perusahaan tempat Ayahku bekerja? Malah lebih bagus dari pada aku hanya mendapatkan teori di ruang kelas.

“Tidak bisa. Dad kan selalu memintamu fokus belajar saja. Dad dan Mom masih bisa menanggung biaya hidupmu. Masalah kerjaan akan datang sendiri mencarimu, kamu ini anak yang cerdas,” aku tau jawabannya akan selalu seperti itu. “Lagi pula Dad berharap kamu dapat posisi yang lebih bagus daripada Dad. Satu hal lagi Dad tidak akan merekomendasikan kamu bekerja di perusahaan Dad.”

“Haish, setahuku setiap orang tua ingin anaknya mewarisi semua usaha mereka. Kenapa Dad malah melarangku? Benar-benar sulit dipercaya” sahutku asal. Kemudian Dad menjitak kepalaku.

“Itu berlaku bagi keluarga CEO dan jajarannya. Kedudukan apa yang bisa Dad tawarkan padamu? Makanya kalau kamu ingin mewariskan kedudukan untuk anakmu nanti maka jadilah pemilik perusahaan, jangan jadi pegawai.”

“Ah, malas sekali. Kalau begitu aku mau jadi anak kuliahan saja terus. Hidupku bisa kalian jamin selamanya hahaha….” Ejekku. Aku sangat menyukai ekspresi Dad saat aku mengganggunya. Dia adalah salah satu dari sekian banyak Ayah yang keren di dunia ini. Orang tuaku bukan hanya sekedar jadi orang tua saja, tapi juga bisa jadi sahabat, saudara dan bahkan rival yang terbaik untukku.

“Dasar anak nakal. Apa gunanya hidup kalau begitu? Aku menyekolahkanmu tinggi-tinggi supaya kamu bisa mendapat pekerjaan yang lebih baik dariku. Sehingga Mom dan Dad bisa segera beristirahat untuk menikmati masa tua kami. Atau paling tidak menikahlah dengan anak sorang pengusaha kaya biar kamu bisa langsung naik pangkat dan membahagiakan Dad mu ini,” ujar Dad setengah melotot. Aku tau dia hanya bercanda. Dia selalu mengatakannya setiap kali aku mengelak untuk mengerjakan sesuatu.

“Sekalian saja aku menikah dengan Pengusaha kaya raya yang tua bangka, jadi akan lebih cepat buatku untuk menguasai hartanya. Dasar, lebih bagus biarkan saja aku bekerja untuk sementara waktu ini supaya aku bisa mengurangi pengeluaranmu, Dad.” Dia hanya menggelengkan kepala. “Nanti malam aku akan pergi mengerjakan tugas dengan temanku. Mungkin aku akan pulang terlambat malam ini. Jadi makan malamlah dulu, jangan menunggu aku.”

“Dengan Renata?” tanya Dad tidak terlalu menanggapi perkataanku. Astaga, Dad pikir hanya Renata saja temanku? Mungkin Dad pikir anaknya ini termasuk anak yang kuper di kampus. Mana mungkin seperti itu. Lagipula Ranata dan aku berbeda jurusan.

“Bukan, temanku yang lain. Namanya Nathan.”

Dad agak terkejut mendengarku menyebutkan nama cowok. Yah, aku memang jarang menceritakan teman-teman cowokku pada Dad. Dia hanya tau Hans saja karena memang selama satu semester ini aku “terpaksa” bekerja sama dengannya. “Nathan? Oh, jenis teman seperti apa itu?”

“Hahaha…. Dia hanya sejenis manusia spesies kita.”

“Baiklah, memang terdengar sedikit aneh. Uh-oh Stevie punya pacar!” ejek Dad.

“Oh, sudahlah. Dia hanya teman kelompokku saja,” jawabku nyengir. Aku tidak berniat membicarakannya lagi dengan Dad soal ini.

**

Nathan sudah duduk di salah satu pojok café saat aku tiba disana. Dia sedang asik mendengarkan sesuatu di iPod-nya. Kelihatanya dia hanya mebawa satu buku catatan, bolpoin, dan laptop yang sudah dia letakkan diatas meja café. Rupanya dia sudah memesan minuman duluan. Jadi aku tinggal pesan minumanku terlebih dulu sebelum aku datang menemuinya.

“Hai, Nathan.”

“Hai, Stevie,” sahutnya lalu mematikan iPod yang dipegangnya sedari tadi. “Apa kabarmu?”

“Sangat baik,” jawabku sambil meletakkan Coffee Hot Chocolate-ku diatas meja.”Sudah lama ada di sini?”

“Sejak setengah jam yang lalu. Aku sengaja datang lebih dulu untuk menikmati suasana café ini,” ujarnya sambil mengangkat gelas kopinya dan meminum sedikit.

“Ngomong-ngomong kopi apa yang kamu pesan?” tanyaku sedikit penasaran. Kata orang ‘kopi yang kamu minum mencerminkan pribadi yang seperti apa kamu’. Makanya aku sedikit ingin tau juga kopi jenis apa yang dia minum. Aku agak banyak tahu filosofi tentang kopi. Paling tidak aku bisa menebak kelas seseorang dilihat dari selera meminum kopinya.

Mint mocha-chip frappycap affogato style.”

Frappycap affogato style?” ulangku, hampir terdengar sedikit curiga dan nggak percaya. Nggak semua pecinta kopi yang mengerti artinya affogato. Sebenarnya, affogato adalah sejenis frappycap dengan espresso yang mengapung diatasnya. Baiklah, aku mulai tertarik dengan selera Nathan. Biasanya penyuka kopi jenis ini orangnya sangat asik dan susah ditebak. Kita lihat saja apa Nathan memang seperti yang kupikirkan.

“Iya, kenapa? Memangnya ada yang salah?” tanya Nathan.

“Enggak kok. Nggak sama sekali. Hanya sedikit terkejut saja,” jawabku canggung. Aku bisa merasakan semua darahku merayap ke muka sehingga rasanya sedikit panas. Bisa taruhan pasti mukaku memerah saat ini. Seandainya ada kaca! Kenapa tempat ini jadi lebih indah dari biasanya ya? Hanya perasaanku saja atau karena aku datang kesini dengan dia? Pikiran aneh dari mana ini?

“Kadang-kadang kamu ini aneh lho, Stevie,” sahutnya.

Aku hanya mengiyakannya saja. Aku memang seperti itu kok. Kami mulai mengerjakan wawancara ini. Banyak hal yang diceritakan Nathan tentang dirinya. Dan aku lebih tertarik bertanya tentang masa lalunya. Dia bercerita tentang masa kecilnya yang sangat usil. Jadi waktu itu dia dan temannya bernama Mike sedang bermain misi mengerjai orang-orang yang lewat di depan rumah mereka dengan menyemprotkan air dari water gun. Tentu saja banyak yang memarahi mereka, tapi tetap saja mereka melanjutkan kenakalannya itu. Sampai tiba-tiba ada orang gila yang tanpa sengaja ikut tersemprok air oleh mereka. Spontan si orang gila yang kaget itu mengejar mereka berdua yang berlari sambil menangis minta tolong. Sejak saat itulah Nathan tidak mau bermain water gun lagi di depan rumah.

Ternyata memang seperti perkiraanku, asik dan susah ditebak. Bahkan setelah selesai aku mewawancarainya, masih ada rasa ingin tahuku yang sebenarnya masih mau kutanyakan. Tapi aku takut dikira sok dekat. Jadi kuurungkan saja niatku itu.

“Ada satu hal lagi yang ingin ku tanyakan padamu sebelum menutup wawancaraku,” kataku sedikit serius untuk kali ini. “Sebelum pindah kesini kamu kan tinggal di Amerika dan belajar disana. Kenapa kamu pindah kesini?”

“Pertanyaan yang bagus,” dia memuji. “Dari kecil aku sudah ada disana. Bahkan seolah aku ini berkewarganagaraan Amerika. Sampai titik kemarin sebelum aku memutuskan pindah kemari, aku merasa harus kembali ke negaraku. Selain karena aku ingin berkumpul dengan keluargaku.”

“Jadi selama disana kamu nggak tinggal dengan orang tuamu?”

“Nggak. Aku tinggal di apartemen yang sudah mereka siapkan untukku. Lima bulan sekali mereka datang ke sana untuk menemuiku. Kalau masalah pendidikan, ada sekretarisku yang mengurusi semuanya,” jelasnya. Wow, sejak kecil dia sudah punya sekretaris pribadi. Orang kaya level berapa dia ini? Tapi kasihan juga. Bisa dibilang dia adalah anak sekretasisnya bukan anak Mom dan Dadnya. Aku tertawa sendiri dalam hati memikirkannya.

Tiba-tiba muncul sesosok cewek penyihir yang sama sekali nggak ingin aku temui dari pintu masuk café. Lorena! Ngapain dia kesini sementara aku juga sedang ada di sini? Benar-benar hari yang tidak bagus buatku. Nathan melihat bingung ke arahku. Dia pasti menyadari ekspresi muak yang tiba-tiba dari raut mukaku. “Kamu kenapa?”

“Tiba-tiba aku nggak enak badan.”

“Kamu mau ke belakang dulu?” Nathan bertanya. Dia pasti berpikir kalau aku sedang terserang diare atau semacamnya.

Sebelum sempar aku mengelak pergi, Lorena sudah buru-buru datang menghampiriku. “Stevie!” serunya seperti kami ini teman dekat aja. Aku memalingkan muka memasang ekspresi ingin muntah saat dia mendekati mejaku. “Sedang apa kamu disini? Apa ini masih jadi tempat favoritmu dulu?”

“Sudahlah, Lorena. Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu malam ini. Kamu lihat aku sedang sibuk sekarang,” jawabku ketus. Nathan hanya memandangi bingung antara aku dan Lorena.

“Wah, dia sangat lucu ya?” katanya menoleh ke Nathan. “Kamu siapa? Pacar barunya Stevie ya? Kok mau sih sama cewek tukang ketut kayak dia? Dia kalau kentut bau banget lho. Mendingan hati-hati, mungkin kentutnya itu bervirus yang bisa bikin kamu diare seminggu penuh.”

“Apa?” tanya Nathan melihat ke arahku bingung. Aku merasa mukaku benar-benar merah padam sekarang. Oh, Lorena beraninya kau mempermalukan aku di depan Nathan! Benar-benar akan ku bunuh kamu malam ini! Ya ampun, aku bersumpah akan segera membalas perlakuanmu ini. Aku menunduk membaca catatanku sambil berdoa agar Lorena cepat pergi dari sini atau aku akan benar-benar menyiramnya dengan minumanku.

“Oh, baiklah. Sayang sekali aku tidak bisa lama-lama disini. Aku ada KENCAN sebentar lagi dan teman kencanku tau kalau aku tidak suka kentut sembarangan,” kata Lorena sambil melirikku sinis. Kemudian dia pergi sambil menggoyangkan pinggulnya. Aku yakin dia sedang menggoda Nathan tapi malah terlihat seperti cewek lebay yang perlu terapi kejiwaan.

“Siapa sih dia?” tanya Nathan padaku dengan ekspresi keheranan. Aku menarik nafas dalam-dalam mencoba menetralkan emosiku yang dikacaukan lorena barusan.

“Dia cuma cewek yang perlu operasi kepribadian waktu aku masih sekolah dulu.”

“Kelakuannya seperti nenek sihir,” ucap Nathan agak mengernyitkan alisnya.

“Oh…. Aku sangat setuju,” kataku sambil berkacak pinggang melihat keluar mengamati Lorena yang menyebrang jalan. Kami sama-sama mengamati Lorena sampai dia menghilang di antara kerumunan orang di seberang sana. “Benar-benar menjengkelkan.”

“Kenapa kalian bisa begitu?” tanya Nathan.

“Dia punya misi untuk menyiksaku di sekolah menengah dulu. Saat kami sudah lulus kukira semua sudah berakhir. Tapi ternyata dia menemukanku lagi!” jawabku jengkel. Kemudian aku menceritakan kenapa aku bisa dipanggil Stevie si Tukang Kentut oleh Lorena. Dia tertawa mendengar ceritaku, tapi jelas itu bukan ekspresi yang merendahkan. Aku juga menceritakan beberapa cerita memalukan yang kualami gara-gara ulah Lorena. Seperti waktu guru bahasa Perancis memintaku meminjam pensil pada Lorena. Entah bagaimana aku malah menyebut Lorena “babi”. Dan dari situlah situasi bertambah buruk buatku.

“Kenapa nggak kamu hajar saja dia?” tanyanya sambil menaikkan alis mata kanannya.

“Hajar dia?” tanyaku malas. “Entahlah. Seandainya aku cowok. Aku juga belum pernah memukul seseorang. Lagipula kalau di depannya, seberapa percaya diri pun diriku dalam 15 detik pasti berubah menjadi seekor kucing yang basah kuyub tersiram air comberan. Tiba-tiba saja semua keberanianku seperti hilang.”

“Aku hanya bercanda, Stevie,” ujar Nathan tersenyum memandangiku menjawab pertanyaannya dengan konyol. “Sudah pernah mencoba berbicara dengan Lorena? Maksudku hanya kalian berdua?”

Berbicara dengan Lorena itu malah terdengar seperti ‘membuang-buang waktu’ atau ‘nggak penting untuk dikerjakan’. Aku menarik nafas dalam-dalam, “Nggak akan pernah bisa. Lihat saja tadi, setiap kali dia bertemu denganku maka hal itulah yang akan dia lakukan dari awal sampai akhir. Mempermalukanku.”

“Ya, siapa tau aja sih,” lanjut Nathan kemudian meminum frappycap affogato-nya. Lalu tangannya sibuk membuat coretan.

“Yang tadi itu rahasia. Jangan masukkan sebagai bahan makalahmu,” kataku. Aku punya firasat buruk kalau dia mungkin akan menulis semua cerita memalukanku tadi kedalam tugasnya.

“Entahlah, kita lihat saja nanti,” jawabnya enteng dengan senyum (yang manis seperti biasanya) mengembang di wajahnya.

“Awas saja kalau kau berani!”

**

“Hei, apa saja yang kalian lakukan kemarin Sabtu?” Renata nggak sabar menunggu ceritaku tentang Nathan. Aku tidak tau apa yang para cewek-cewek ini lihat dari Nathan sehingga membuat mereka tergila-gila. Astaga, aku merasa nggak normal sendiri jika melihat cewek-cewek ini. Nathan memang keren, tapi aku nggak tertarik sama sekali sama dia (minimal untuk saat ini).

“Ya ngerjain tugas. Memangnya mau ngapain lagi?” jawabku cuek.

“Astaga, kamu ini nggak bisa memanfaatkan kesempatan. Semua cewek-cewek di kampus ini pengen bisa jalan dengan Nathan, tapi nggak pernah ada kesempatan. Sementara kamu kesempatan terbuka lebar malah mengabaikannya begitu saja,” jelas Renata. Dasar cewek! “Eh, mungkin Nathan tertarik padamu. Dari sekian banyak teman di kelasmmu kenapa dia mau berpasangan denganmu. Itu kan aneh.”

“Kamu yang aneh. Pikiranu terlalu tidak masuk akal. Maksudmu dia tertarik padaku sehingga menjadikan aku sebagai partnernya? Lalu bagaimana denganku yang sering berpartner dengan Hans? Kau juga berpikir aku tertarik padanya?”

“Bukan begitu. Dari tatapannya padamu juga sudah aneh.”

“Kamu yang aneh, bukan dia. Sudahlah…. Ayo cepat ke kampus. Aku harus mengumpul laporanku sama Ma’am Vernie pagi ini,” sahutku. Renata segera memacu mobilnya menyusuri jalanan yang kebetulan tidak terlalu ramai. Cuaca hari ini juga sedang asik, tidak terlalu panas

Sesampainya di kelas aku langsung duduk di meja paling belakang. Supaya kalau aku tidur nggak kelihatan sama dosennya. Mata kuliah hari ini sama sekali nggak menarik sih. Tiba-tiba Nathan duduk di sebelahku. Awalnya aku nggak sadar, sampai salah seorang cewek di kelas menatap aneh ke arahku. Astaga! Cowok ini rupanya yang membuatku jadi kelihatan aneh di kelas?

“Sejak kapan kamu datang?” tanyaku sedikit terkejut.

“Dari tadi. Kamu saja yang nggak sadar aku sudah duduk disini,” jawabnya santai sambil meletakkan buku catatan dan bolpoinnya di meja. Dia ini mahasiswa yang paling irit sepertinya. Buku catatannya cuma satu. Bolpoin pun isinya tinggal untuk menulis satu kalimat lagi. Baju bermerek begitu mana mungkin nggak mampu beli bolpoin satu biji? “Kenapa memandangiku? Ada yang salah?”

“Mana mungkin aku memandangimu? Aku hanya kasihan saja melihatmu tidak punya bolpoin cadangan. Padahal baju bermerek.”

“Kenapa bolpoinku jadi masalah buatmu?” tanyanya datar. “Apa tugas bahasa inggrismu sudah jadi?”

“Sudah. Aku langsung menyelesaikannya sehabis kita mengerjakannya di café hari itu juga. Apa punyamu sudah selesai juga?” tanyaku ganti.

“Tentu. Akan ku kumpulkan hari ini.”

“Mau ngumpulin bareng nggak? Uhm, boleh lihat?” tanyaku sambil melirik tugas bahasa inggrisnya yang dia sempat buka di beberapa halaman secara acak.

“Nanti ku kumpulkan sendiri. Kalau mau lihat nanti saja kalau sudah dikoreksi sama Mr. Ronald,” jawabnya melarangku menengok makalah itu.

“Kamu nggak penasaran dengan ceritamu yang kutulis di tugasku ini?” tanyaku kembali sambil menyodorkan padanya tugasku.

“Aku nggak penasaran,” jawabnya datar banget. Benar-benar dasar anak aneh. Bagaimana mungkin dia tidak penasaran dengan apa yang aku tulis tentangnya? Memangnya apa yang dia tulis di dalam tugasnya itu? Pasti hal-hal yang aneh tentangku. Aku hanya sempat membaca ada beberapa nama yang tertulis disana. Ada nama Lorena juga. Awas saja kalau dia benar-benar menulis ceritaku dengan Lorena yang nggak sengaja aku ceritakan kemarin.


**

To be continued.